“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter: 34
Pria yang dia tangisi setiap malam sebelum tidur, kini bisa dilihatnya lagi. Dipandangi puas tanpa takut setelah membuka mata maka sosoknya sudah gak ada lagi.
Lelaki telah dinyatakan sudah meninggal dunia, ternyata masih hidup – sekarang jarak mereka bukan lagi bumi dan alam lain, tapi hanya terbentang satu langkah.
Meutia lebih mendekat, sampai berdiri tepat di sisi ranjang pasien.
Ada kerinduan pada sorot matanya. Tak berkesudahan dirinya memandang wajah terlelap kekasih hatinya. Ingin rasanya memeluk, merasakan dekapan hangat, tapi urung.
“Abang.” Dia langsung membekap mulut kala suaranya terdengar nyaring di ruangan sunyi bercahayakan temaram, sebab lampu utama dimatikan.
“Akhirnya keyakinanku terbukti, Bang. Beribu kali mereka mengatakan kalau engkau telah tiada, tetap diriku keukeuh mempercayai kalau Abang masih hidup. Alhamdulillah, Allah yang maha pengasih … mengabulkan doaku. Mempertemukan kita dengan cara tak disangka-sangka,” bisiknya pelan sekali.
Tangannya menggantung kala keinginan menggebu menggenggam jemari di sisi tubuh tertidur pulas itu nyaris tak dapat ditahan.
Meutia mengepalkan jemarinya, untuk sekarang biarlah seperti ini. Meskipun tidak cukup, paling tidak sosok Ikram nyata bukan berwujud bayangan maupun hasil dari imajinasi semata.
“Abang ….”
Setetes air mata terjatuh disela-sela jari tangan Ikram. Meutia langsung panik, ingin menghapus atau berlari keluar kamar rawat inap ini.
“Siapa dirimu?” suara serak itu disertai kelopak mata terbuka.
Meutia terkejut, tubuhnya menegang. Dia mengangkat sedikit wajahnya sampai pandangan mata mereka bertemu.
Ritme jantung Ikram meningkat, hatinya berdesir, dari sorot mata penuh, sampai memicing mencoba mencari-cari sosok bersimbah air mata di hadapannya ini dalam memori otaknya.
Ikram menahan tubuh menggunakan siku sampai duduk dengan kaki berselonjor, jemarinya menekan saklar lampu utama di dinding samping ranjang.
Penerangan langsung terang benderang. Sosok yang tadi seperti bayangan dikegelapan kini terlihat sangat jelas.
Pria tampan itu menatap lama, padahal sebelumnya dia anti memandang wajah wanita di kelurahan Sampan, pun terhadap Arinta.
Namun, seakan ada magnet yang membuatnya tak bisa berpaling dari wajah sedikit tirus, netra basah dan tatapan sendu itu. “Siapa dirimu?” tanyanya ulang.
Meutia terlebih dahulu mengusap buliran air mata, tersenyum dengan getar pada bibir. Dia mundur sedikit, memberikan akses penuh suaminya untuk memandangnya.
“Kalau kukatakan, bahwa diri ini pernah membuatmu seperti orang kurang kerjaan mengikuti setiap kegiatanku – selama tiga tahun lamanya, apa kau percaya?” ia tetap mempertahankan senyum, walaupun air matanya mulai terjatuh lagi.
Alis Ikram hampir menyatu, ada kerutan pada keningnya. “Apa kau orang dimasa laluku?”
“Apa engkau mengharapkan cuma di masa lalu, tidak dengan saat ini dan masa depan, bang Ikram?” tanyanya berpura-pura memasang ekspresi kesal.
Reaksi tubuh sang pria diluar kendalinya, seperti terkena setrum kejut. “Maaf kalau kata-kataku kurang tepat.”
“Dimaafkan.” Dia mengangguk-angguk. Berusaha menekan rasa membuncah. “Entah sudah berapa kali kita saling memaafkan, tidak cukup lagi jari-jemari menghitungnya selama belasan tahun hidup dalam naungan atap yang sama.”
“Istri?” tanyanya tanpa disadari.
Anggukan itu membuatnya termangu. Wanita ini terlihat tidak asing, diapun tidak risih memandang lama, mencoba membaca raut wajah, gesture. Ada satu yang membuatnya tidak nyaman yakni, jatuhnya air mata.
“Kenapa? Apa Abang berpikir aku seorang penipu?”
“Tidak, bukan, cuma ….”
“Bingung ya? Maaf, Dalam satu hari, sangat banyak kejutan yang kami beri ke Abang.” Meutia tidak lagi mampu menahan rasanya. Dia berjongkok dengan tangis terisak-isak, wajah bersembunyi di lipatan tangan.
“Maaf bila mengejutkanmu, membuat Abang bertambah bingung … Tia mohon, beri kesempatan diri ini menangis penuh rasa syukur. Belasan bulan lamanya, aku selalu menyembunyikan air mata kala teringat tentangmu, kenangan kita. Rasanya … rasanya, masih seperti tidak nyata. Engkau yang ku rindukan disetiap hembusan napas, kini bisa membalas, menjawab pertanyaanku. Bukan lagi sosok bayangan, maupun yang cuma hadir di malam mimpi.”
Ikram turun dari tempat tidur, ada keinginan sulit ditahan – ingin sekali dia memeluk sosok yang menangis tersedu-sedu, tapi takut. Merasa kurang pantas, takut dikira lancang.
Yang dia lakukan cuma bersimpuh berjarak tiga langkah, menunggu sampai si wanita tenang dengan sendirinya.
Beberapa menit berlalu dalam kesunyian. sang pria tidak mengalihkan pandangan dari wanita berhijab yang kepalanya tertunduk, masih terus menangis.
Helaan napas Meutia terdengar panjang, sampai bahunya naik turun. Dari berjongkok, dia duduk memeluk lutut. Sebelah tangan mengusap lelehan air mata menggunakan ujung lengan baju.
Meutia mengangkat dagu sampai sejajar dengan wajah suaminya yang memandang sendu.
“Abang … terima kasih telah bertahan. Entah bagaimana caranya, tapi kurasa pasti itu sangat menyakitkan.”
“Maaf, aku tak bisa mengingat apapun, bahkan nama saja tidak tahu,” ada sesal di hatinya.
‘Seandainya saja Abang tahu telah memiliki seorang putra, dan tak ada disaat dia terlahir ke dunia – aku yakin, kau tak mampu menanggung rasa penyesalan itu.’ Meutia cukup bijaksana untuk tidak mengatakan semuanya pada sekali waktu.
Dia tahu betul bagaimana sifat suaminya. Pria itu ingin terlibat, mengetahui, ada di setiap momen perjalanan rumah tangga mereka.
“Tak apa. Asal Abang bisa Tia pandangi, tak lagi bayangan buram dan tiba-tiba menghilang dalam kabut tebal … aku ikhlas membersamaimu dalam masa penyembuhan ini,” suaranya serak, hari ini dia sama seperti belasan bulan lalu, saat mendapat kabar berita kecelakaan bus di tumpangi Ikram Rasyid.
“Walaupun hasilnya belum pasti, entah kapan amnesia ini sembuh. Bisa jadi bertahun-tahun lagi, apa kau tetap bersedia menemaniku …?” hatinya meragu, dia mengerti membersamai pria tanpa ingatan masa lalu bukanlah hal mudah, butuh kesabaran ekstra.
“Tahukah Abang ….” Dia tertawa kecil sebelum melanjutkan kalimatnya. “Dulu, ada seorang pria – sudah ditolak puluhan kali tetap maju mendekat. Dimanfaatkan, bukannya marah malah senang, karena merasa berguna dan dibutuhkan. Diusir setelah hadiah pemberiannya diterima, dia tak jerah … keesokan hari membawa lebih banyak lagi buah tangan, demi bisa menyapa meskipun acap kali di abaikan.”
Dengan sendirinya pipi Ikram menghangat, rona kemerahan merambat hingga daun telinga. Dia tersenyum, walaupun belum dapat menerka, dan tak mengingat apa-apa.
“Apa Abang tak penasaran tentang sosok pria kurang kerjaan itu ….?”
.
.
Bersambung.
suskes trs y kak, dtunggu novel kak cublik yg lain'y 😎🥰
setiap katanya penuh semangat khas "Medan kali" , harapannya kedepan lebih banyak bahasa sehari-hari warga Medan atau Langkat khususnya digunakan mbak jadi kesannya memang benar kisah nyata.
Pemirsa pembaca yang Budiman masih menunggu kelanjutan kisah dari desa jamur luobok yang lain. Mungkin kisah si three Musketeers from desa jamur luobok " ayek dkk" .
🙏🙏🙏
terimakasih kaka.. ditengah gundah gulana kaka akan kabar keluarga di tanah air yg terkena musibah, tapi kaka tetap menulis sampai akhir kisah meutia ini. semoga semua karya kaka bisa jadi ladang pahala untuk kakaa.. salam sayang online dari jauh 🤗🤗🥰🩷