NovelToon NovelToon
Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / CEO / Janda / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.

Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.

Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.

“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5. Arunika Sakit

“Kamu nggak ada rencana menikah, Ren?” tanya Sekar tiba-tiba, suaranya lembut tapi cukup membuat Daren menghentikan kunyahannya.

Alis Daren berkerut.

Pertanyaan itu bukan hal biasa datang dari sang ibu.

Selama ini, Sekar justru dikenal tidak pernah ikut campur urusan percintaan anak sulungnya. Tapi kali ini… ada sesuatu yang terasa berbeda.

“Belum ada rencana, Ma,” jawab Daren santai, sambil mengambil sepotong biskuit dan memasukkannya ke mulut. “Kenapa emangnya?”

Sekar tersenyum kecil. “Pacar kamu ada, kan? Atau jangan-jangan… lagi jomblo nih?”

Daren mengangkat alis, menatap ibunya dengan ekspresi heran. “Belum ada, Ma. Tumben banget Mama nanya gitu. Biasanya Mama malah nyuruh aku fokus kerja.”

“Ya, Mama cuma nanya aja,” jawab Sekar pelan, nada suaranya mengandung sesuatu yang sulit ditebak. “Soalnya Mama kepikiran… gimana kalau Mama jodohin Selena sama Alvaro, sepupumu itu? Kayaknya mereka cocok, deh. Alvaro juga tipe yang sabar dan sayang anak—pas buat jadi ayah buat Arunika.”

Daren langsung menoleh, menatap ibunya cepat. “Apaan sih, Ma? Jangan jodohin orang sembarangan gitu, kasihan Selena.”

Sekar terkekeh pelan. “Lho, kenapa nggak bisa? Alvaro anaknya baik, bertanggung jawab. Lagi pula, Selena juga butuh seseorang yang bisa jagain dia dan Aru, kan? Masa kamu nggak setuju?”

“Nggak tahu, Ma. Yang jelas jangan maksa orang. Jodohin orang itu bukan mainan. Takutnya nanti malah ada yang tersakiti,” balas Daren datar, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang berbeda—entah kesal, atau… takut.

Tanpa menunggu tanggapan, ia berdiri dan melangkah menuju kamarnya, meninggalkan Sekar yang kini hanya tersenyum tipis.

Tatapan Sekar mengikuti punggung anaknya sampai menghilang di balik pintu.

“Jadi benar, ya… Mama nggak salah lihat,” gumamnya lirih. “Dari dulu, kamu memang nggak benar-benar berhenti memandang Selena.”

Senyumnya berubah samar, menyimpan rahasia seorang ibu yang tahu lebih banyak dari yang ditunjukkan.

Sebenarnya Sekar tak benar-benar berniat menjodohkan Selena dengan Alvaro.

Ia hanya ingin tahu reaksi Daren—dan ternyata, reaksi itu sudah cukup menjawab segalanya.

 

“Assalamualaikum, Aden,” suara lembut Bi Nana terdengar dari telepon.

“Waalaikumsalam, Bi. Iya, ada apa?” tanya Daren heran.

Jarang sekali bibi yang bekerja di rumah Selena meneleponnya langsung.

“Lagi sibuk nggak, Den?” tanya Bi Nana, suaranya terdengar hati-hati.

“Enggak, Bi. Kenapa, ya? Ada apa?” Daren semakin bingung.

“Emm… Aden jangan bilang Non Selena kalau saya yang kasih tahu, ya,” ucap Bi Nana pelan, seolah takut didengar seseorang.

“Iya, Bi. Ada apa, sih?” Daren mulai merasa tak enak.

“Sebenarnya, hari ini Non Aru sakit, Den. Sekarang dia dirawat di rumah sakit,” ucap Bi Nana akhirnya, suaranya terdengar khawatir.

“Apa?” Daren refleks berdiri. “Sakit? Perasaan kemarin waktu main sama saya sehat-sehat aja, Bi!”

“Mungkin kecapekan, Den. Soalnya kemarin kan seharian di acara sekolah,” jawab Bi Nana pelan.

Daren menarik napas panjang, wajahnya langsung tegang. “Astaga… ya sudah, Bi. Makasih ya udah ngabarin. Saya langsung ke sana sekarang.”

Tanpa menunggu lama, Daren menutup telepon, mengambil jaketnya, lalu bergegas turun dari kamar dengan langkah cepat.

Baru saja sampai di ruang tamu, suara Sekar terdengar dari sofa.

“Mau ke mana kamu, Ren?”

Daren berhenti sejenak. “Ke rumah sakit, Ma. Aru sakit.”

Sekar langsung menatapnya kaget. “Aru sakit? Astaga… kenapa Selena nggak bilang apa-apa ke Mama, sih?”

Ia segera berdiri, lalu berjalan cepat menuju kamarnya. “Tunggu sebentar. Mama ikut.”

Daren mengangguk tanpa protes. Ia tahu, seberapa pun keras ibunya terlihat di luar, Sekar sayang sekali pada Arunika dan Selena—bahkan mungkin sudah menganggap mereka keluarga sendiri.

Beberapa menit kemudian, Sekar keluar membawa tas tangannya.

“Ayo, jalan. Jangan buang waktu.”

Daren hanya menjawab singkat, “Iya, Ma,” sebelum mereka berdua bergegas keluar rumah—dengan hati yang sama-sama diselimuti cemas.

 

“Mau Depa… mau Depa…”

Suara kecil itu terus terdengar di kamar rumah sakit. Selena menarik napas panjang, mencoba bersabar. Sejak tadi pagi, Arunika sama sekali tak mau makan, tak mau minum, bahkan menolak obat. Yang ia cari hanya satu—Depa-nya.

“Sayang, Depa lagi sibuk, ya. Nanti kalau Depa udah sempat, Depa pasti datang,” ucap Selena lembut sambil mengelus kepala putrinya yang mulai memerah karena demam.

Namun Arunika hanya menggeleng pelan, air matanya menggenang. “Mau Depa…”

Selena menunduk, perih terasa di dadanya. Ia tahu, mungkin Arunika hanya rindu sosok ayah—seseorang yang bisa menenangkan hatinya seperti Daren selalu lakukan.

Akhirnya, dengan nada menyerah, Selena berbisik, “Oke… Mama telepon Depa, tapi Aru janji harus makan dulu, ya?”

Belum sempat ia meraih ponselnya, suara langkah tergesa terdengar dari luar kamar.

“Arunikaaa…”

Suara itu familiar, hangat, dan membuat Selena sontak menoleh.

“Depa!!” seru Arunika kaget sekaligus senang.

Dengan sisa tenaga, gadis kecil itu langsung turun dari brankar dan berlari kecil ke arah pintu. Selena hanya sempat membelalakkan mata sebelum tubuh mungil itu terangkat ke udara dalam pelukan Daren.

“Depa datang!” teriak Arunika, tertawa lemah tapi bahagia.

Daren mengusap kepala bocah itu, menahan napas lega begitu melihat wajah pucatnya. “Iya, Depa datang. Tapi Aru harus janji, habis ini makan, ya?”

“Janji…” Arunika mengangguk cepat.

Selena hanya bisa terdiam sejenak—antara lega dan haru. Rasanya semua usahanya dari tadi sia-sia, tapi begitu Daren datang… anak itu langsung ceria.

“Gak ya, Mama gak izinin kamu main,” ucap Selena tegas, mencoba mengembalikan wibawanya sebagai ibu.

Namun begitu melihat wajah Arunika yang mendadak sedih, suaranya melembut.

“Sembuh dulu, ya. Nanti baru main sama Depa,” timpal Daren pelan, menatap Selena seolah meminta pengertian.

Sekar yang sejak tadi berdiri di belakang mereka ikut melangkah masuk. “Kenapa gak bilang sama Mama, sayang?” tanyanya, mendekati Selena dengan tatapan lembut.

“Maaf, Mah… aku gak mau repotin Mama,” jawab Selena pelan, matanya tertunduk.

Sekar menggeleng pelan sambil menepuk bahu menantunya itu. “Gak ada yang direpotin, Sayang. Mama juga kan nenek Aru. Tentu Mama pengin tahu cucu Mama sakit.”

Tatapannya kemudian beralih ke sofa di sisi kamar, tempat Daren sedang menyuapi Arunika bubur hangat sambil tertawa kecil setiap kali anak itu menirukan suaranya.

“Lihat itu,” bisik Sekar sambil tersenyum samar. “Kalau dari tadi kamu bilang, mungkin Aru udah semangat dari pagi.”

Selena ikut menatap ke arah yang sama. Ada sesuatu di dada yang tiba-tiba menghangat. Daren tampak begitu lembut saat menatap anaknya—eh bukan, anak orang lain, ia ingatkan dirinya. Tapi kenapa, rasanya tatapan itu terlalu tulus untuk sekadar perhatian biasa?

Daren mendongak sebentar, mata mereka bertemu. Hanya sepersekian detik, tapi cukup membuat Selena terpaku. Ada rasa yang sulit ia definisikan—campuran antara nostalgia, kerinduan, dan… sesuatu yang tak boleh ia rasakan.

“Pelan-pelan makannya, Aru,” ucap Daren lembut sambil menghapus sisa bubur di bibir kecil itu.

Arunika tertawa kecil, “Depa lucu,” katanya polos.

Dan tawa itu—tawa mungil penuh kehangatan—mampu memecah udara tegang di kamar itu.

Selena menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memanas.

Sekar hanya tersenyum, dalam hati berkata pelan,

“Kamu pikir Mama gak tahu, Ren… dari dulu, yang kamu suka itu bukan cuma Aru, tapi juga ibunya.”

Di luar kamar, hujan mulai turun perlahan, mengetuk kaca jendela seperti mengingatkan sesuatu.

Daren menatap ke arah Selena lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih dalam—seolah tanpa kata, ia berjanji akan tetap ada.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Selena tak berpaling.

 

“Ma… kalau Daren nanti nikah, Aru bisa kayak gini lagi nggak, ya?” tanya Selena lirih tanpa sadar.

Sekar yang berdiri di sampingnya menoleh, menatap menantunya dengan mata teduh.

“Nggak usah mikirin sejauh itu dulu, Sayang,” jawabnya pelan. “Yang penting sekarang Aru sembuh dulu.”

“Tapi aku takut, Mah…” bisiknya. “Aru tuh… udah terlalu sayang sama Daren. Aku juga takut kalau suatu hari Daren punya keluarga sendiri, Aru malah kehilangan sosok yang udah dia anggap ayah.”

Sekar tak langsung menjawab. Ia menatap Selena lama, sebelum akhirnya tersenyum samar.

“Kadang, hidup suka punya cara sendiri buat jawab rasa takut kita, Len. Kamu nggak perlu khawatir dulu. Siapa tahu, Daren memang ditakdirkan untuk tetap di sisi kalian.”

Selena hanya menunduk, jari-jarinya meremas ujung selimut tempat Aru berbaring tadi.

Entah kenapa, kata-kata Sekar itu membuat jantungnya berdebar aneh—antara harapan dan rasa takut yang tak berani ia akui.

 

Sementara itu, Daren masih sibuk menyuapi Arunika.

Anak kecil itu kini duduk di pangkuannya, bersandar nyaman di dada Daren, dengan senyum lebar di wajahnya.

“Depa lucu,” kata Arunika tiba-tiba.

Daren terkekeh. “Aru juga lucu banget.”

“Kalau Aru udah sembuh, Depa ajak ke taman lagi, ya?”

“Boleh. Tapi Aru harus makan yang banyak biar cepat sembuh, oke?”

Anak kecil itu mengangguk semangat, lalu membuka mulut lebar-lebar untuk suapan terakhir.

Selena memperhatikan mereka dari jauh—dan sesuatu di dalam dirinya seperti mencair.

Ada bagian dari dirinya yang selama ini keras, tertutup, penuh ketakutan… tapi melihat dua orang itu bersama, rasanya seperti menatap rumah yang sudah lama hilang.

Daren menatap ke arah Selena, dan sesaat pandangan mereka bertemu.

Tak ada kata, tapi cukup satu tatapan itu saja membuat Selena terdiam.

Tatapan hangat, teduh, dan tulus. Tatapan seseorang yang—mungkin tanpa sadar—selalu hadir setiap kali dunia terasa runtuh.

 

Beberapa jam kemudian, Arunika akhirnya tertidur lelap di pelukan Daren.

Selena perlahan menghampiri, menatap anaknya dengan senyum lega.

“Dia capek,” ucap Selena pelan.

“Iya,” jawab Daren dengan suara yang juga rendah, takut membangunkan anak kecil di pangkuannya. “Tapi kayaknya udah mendingan.”

Selena menunduk sedikit, lalu menatap Daren.

“Terima kasih ya, Kak. Kalau kamu nggak datang, mungkin dia masih belum mau makan sampai sekarang.”

Daren menatapnya balik. “Jangan gitu, Len. Aku juga kangen Aru. Lagian… aku nggak bisa tenang kalau tahu dia sakit.”

Ada jeda.

Keduanya terdiam, hanya suara monitor detak jantung yang terdengar lembut di antara mereka.

Dan entah siapa yang mulai duluan, tapi pandangan itu bertahan terlalu lama.

Selena berusaha mengalihkan, tapi Daren masih menatapnya—dengan sesuatu di matanya yang tak bisa ia sembunyikan.

Sekar yang sedari tadi pura-pura sibuk dengan ponselnya, hanya tersenyum kecil dari kursi di sisi ruangan.

Ia tahu betul apa yang sedang terjadi di hadapannya.

Ia tak perlu jadi peramal untuk tahu bahwa hatinya Daren… masih tersangkut pada satu nama yang sama.

Selena.

 

“Ren,” ucap Sekar begitu mereka keluar dari kamar Arunika, membiarkan anak itu tertidur bersama perawat yang berjaga.

“Hm?” sahut Daren pelan.

Sekar menatapnya tajam, tapi suaranya tetap lembut.

“Kalau kamu masih sayang, jangan cuma diam, Nak. Hidup nggak selamanya ngasih kesempatan kedua.”

Daren terdiam di lorong rumah sakit itu, menatap lantai mengilap di bawah kakinya.

Matanya kehilangan fokus, tapi di dalam hatinya, ribuan kenangan lama berputar cepat.

Tentang Selena. Tentang masa lalu mereka yang rumit. Tentang keputusan-keputusan yang ia pikir benar waktu itu—padahal justru meninggalkan luka paling dalam.

“Kadang, Ma,” ucap Daren lirih, “aku nggak yakin aku pantas lagi.”

Sekar tersenyum lembut, menepuk bahu anaknya.

“Kalau kamu masih peduli, kalau kamu masih berjuang buat mereka, berarti kamu pantas.

Yang nggak pantas itu, cuma orang yang nyerah padahal hatinya belum selesai.”

Daren tak menjawab.

Namun dalam diamnya, Sekar tahu—ada sesuatu yang berubah di mata anaknya.

Tatapan yang dulu ragu kini mulai mantap, seperti seseorang yang menemukan kembali arah yang sempat hilang.

Dan malam itu, ketika mereka meninggalkan rumah sakit, Daren menoleh sekali lagi ke arah kamar Arunika.

Melihat bayangan kecil anak itu di bawah lampu redup.

“Tidurlah, Sayang,” bisiknya pelan dari luar pintu. “Depa janji, besok Depa datang lagi.”

Tapi di dalam hatinya, janji itu bukan cuma untuk Arunika.

Ada seseorang lain yang diam-diam juga ingin ia datangi lagi—dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Daren berani mengakuinya.

Selena.

1
Reni Anjarwani
doubel up thor
Itz_zara: besok lagi ya🙏
total 1 replies
Favmatcha_girl
lanjutkan thor💪
Favmatcha_girl
perhatian sekali bapak satu ini
Favmatcha_girl
lanjutkan 💪
Favmatcha_girl
cemburu bilang, Sel
Favmatcha_girl
ayah able banget ya
Favmatcha_girl
cemburu ya🤭
Favmatcha_girl
pelan-pelan mulai berubah ya
Reni Anjarwani
lanjut thor doubel up
Itz_zara: besok lagi ya, belum ada draft baru🙏
total 2 replies
Favmatcha_girl
memanfaatkan orang🤭
Favmatcha_girl
Honeymoon Sel
Favmatcha_girl
Dah lama gak liat sunset
Favmatcha_girl
dramatis banget 🤭
Favmatcha_girl
ikutan dong
Favmatcha_girl
ngomong yang keras
Favmatcha_girl
aw terharu juga
Favmatcha_girl
itu mah maunya lo
Favmatcha_girl
Alasan itu
Favmatcha_girl
kenapa yak setiap cowok gitu😌
Favmatcha_girl
Yeyyyy
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!