Yunita, siswi kelas dua SMA yang ceria, barbar, dan penuh tingkah, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis saat orang tuanya menjodohkannya dengan seorang pria pilihan keluarga yang ternyata adalah guru paling killer di sekolahnya sendiri: Pak Yudhistira, guru Matematika berusia 27 tahun yang terkenal dingin dan galak.
Awalnya Yunita menolak keras, tapi keadaan membuat mereka menikah diam-diam. Di sekolah, mereka harus berpura-pura tidak saling kenal, sementara di rumah... mereka tinggal serumah sebagai suami istri sah!
Kehidupan mereka dipenuhi kekonyolan, cemburu-cemburuan konyol, rahasia yang hampir terbongkar, hingga momen manis yang perlahan menumbuhkan cinta.
Apalagi ketika Reza, sahabat laki-laki Yunita yang hampir jadi pacarnya dulu, terus mendekati Yunita tanpa tahu bahwa gadis itu sudah menikah!
Dari pernikahan yang terpaksa, tumbuhlah cinta yang tak terduga lucu, manis, dan bikin baper.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13— Rahasia Kecil di Meja Makan
Suasana rumah keluarga Yunita sore itu terasa seperti pesta kecil. Angin lembut dari taman belakang membawa aroma bunga melati yang sedang mekar, sementara tawa Papa dan Mama Yunita masih terdengar dari ruang makan.
Yunita, yang duduk di samping Yudhistira, terus memainkan sendoknya dengan gelisah. Pipinya masih merah setelah “serangan bertubi-tubi” dari Mama soal cucu dan kehidupan rumah tangga.
“Pak, ini gak lucu tau,” bisiknya pelan, menatap Yudhistira dengan tatapan memelas.
Yudhistira hanya tersenyum, suaranya rendah tapi terdengar hangat. “Aku gak ketawa kok.”
“Keliatan banget ketahan tawa!”
“Yun, kalau kamu terus marah-marah gini, Mama kamu makin yakin kalau kita udah kayak pasangan beneran.”
Yunita terdiam. Wajahnya makin panas. “Y-ya kan emang kita pasangan beneran…”
Yudhistira menatapnya sebentar, senyum lembut muncul di wajah dinginnya. “Iya, benar juga.”
Seketika Yunita mengalihkan pandangannya ke piring, pura-pura sibuk memotong ayam goreng. Hatinya berdebar. Setiap kali Yudhistira bicara dengan nada seperti itu tenang tapi penuh makna, jantungnya seperti tidak tahu cara kerja normal lagi.
“Yunita sayang, sini bantu Mama di dapur sebentar,” suara Mama Yunita memecah suasana.
“Eh? Oh, iya Ma!”
Yunita berdiri tergesa-gesa, senang bisa kabur dari tatapan menantang Papa dan senyum misterius suaminya. Tapi ia tidak tahu bahwa percakapan yang menunggunya di dapur jauh lebih menegangkan.
Begitu pintu dapur tertutup, Mama langsung menatapnya dengan pandangan penuh selidik.
“Yunita, sini deh, duduk.”
Yunita langsung merasa jantungnya berdentum. “M-Mama kenapa?”
“Cuma mau nanya…” Mama mencondongkan tubuh, nada suaranya pelan tapi tajam. “Kamu bahagia, kan?”
Pertanyaan itu sederhana, tapi menusuk langsung ke dalam dada Yunita.
Ia menatap jari-jarinya sendiri sebelum tersenyum kikuk. “Eheh… ya bahagia, Ma.”
“Beneran?”
“Ya iya lah, Ma. Yudhis itu orangnya baik, sopan, tanggung jawab banget. Walau agak kaku…”
“Agak kaku?” Mama mengangkat alis, pura-pura kaget.
“Eh, maksudnya… dingin tapi lembut gitu, Ma.”
“Hooo… jadi kamu udah tahu bagian lembutnya juga ya?” goda Mama sambil tersenyum nakal.
“MAAA!!”
Mama Yunita tertawa terbahak, sementara Yunita menutup wajahnya dengan kedua tangan, malu luar biasa. “Astaga, Ma, jangan ngomong gitu dong. Aku bisa kabur nih.”
“Ya sudah-sudah,” kata Mama sambil menepuk bahu anaknya. “Mama cuma pengen tahu kalau kamu baik-baik aja. Mama tahu pernikahan kalian unik. Kamu masih sekolah, dia guru kamu… tapi Mama percaya Yudhis bisa jaga kamu.”
Mendengar itu, mata Yunita melembut. Ia menunduk pelan. “Yudhis baik banget, Ma. Aku malah kadang merasa gak seimbang… dia dewasa banget, sementara aku masih kayak anak kecil.”
“Yunita,” kata Mama lembut. “Justru itu yang bikin pernikahan bisa indah. Kalian saling melengkapi. Yang satu dewasa, yang satu ceria. Yang penting saling jaga dan saling percaya.”
Yunita terdiam sesaat. Lalu ia mengangguk dengan senyum kecil. “Iya, Ma. Aku janji bakal belajar jadi istri yang baik.”
“Bagus. Tapi…” Mama menatapnya lagi dengan tatapan jahil. “Kalau udah siap, kasih Mama kabar ya. Mama udah siap jadi nenek cantik.”
“MAA!!!”
Suara Yunita menggema sampai ke ruang makan. Dari sana, Yudhistira dan Papa Yunita spontan menoleh, dan keduanya saling tersenyum.
“Kayaknya Mama-nya mulai nanya-nanya hal sensitif,” kata Papa sambil menyeruput teh.
Yudhistira tersenyum kecil. “Saya sudah menduga, Pa.”
“Tenang aja. Mama-nya cuma usil, tapi hatinya lembut. Kalau kamu tahan godaannya, berarti kamu lulus.”
“Lulus ujian mertua, gitu, Pa?”
“Tepat sekali.”
Keduanya tertawa pelan. Hubungan Yudhistira dan Papa Yunita memang cukup akrab — mereka sering bicara soal pendidikan, karier, bahkan strategi menjaga rumah tangga. Yudhistira yang pendiam dan sopan membuat sang mertua sangat menghormatinya.
---
Beberapa menit kemudian, Yunita keluar dari dapur sambil membawa sepiring puding cokelat. Pipi merahnya masih belum hilang.
“Wah, puding buatan Mama kamu nih,” ujar Papa. “Favorit papa dari dulu.”
“Iya Pa,” sahut Yunita datar, mencoba menghindari kontak mata dengan siapa pun.
Namun begitu ia duduk, Yudhistira mencondongkan diri sedikit dan berbisik di telinganya.
“Wajah kamu merah banget. Mama kamu ngomong apa?”
“Jangan tanya,” jawab Yunita cepat.
“Tentang cucu lagi ya?”
“Pak, diem!”
Yudhistira tertawa pelan. Ia tahu istrinya sedang malu setengah mati, dan reaksi polos Yunita itu justru membuatnya makin gemas.
Setelah makan, Mama mengajak mereka berfoto di taman belakang.
Yunita berdiri di samping Yudhistira, dan tanpa sadar tubuh mereka saling bersentuhan. Saat Mama berkata, “Dekat dong, kayak pasangan beneran!”, Yunita spontan menoleh ke arah Yudhistira dengan wajah protes.
Namun Yudhistira, dengan tenang dan sedikit nakal, melingkarkan tangan di pinggangnya.
Klik!
Flash kamera berbunyi tepat saat Yunita tersentak dan berusaha melepaskan diri.
“Mamaa!! Hapus fotonya!”
“Lho kenapa? Bagus kok. Nih, liat deh, kalian cocok banget!” Mama menunjukkan hasil foto di ponselnya Yudhistira tampak gagah dengan senyum tipis, sementara Yunita, walau kaget, terlihat lucu dan alami.
“Yunita, lihat deh ekspresi kamu,” kata Yudhistira pelan, menahan senyum.
“Pak! Aku gak mau liat!”
“Tapi ini lucu.”
“Enggak!”
“Oke, aku simpen aja deh buat koleksi pribadi.”
“Pak, jangan gitu! Aku bisa ngamuk!”
Yudhistira menatapnya lembut. “Kalau ngamuk pun tetap lucu kok.”
Dan sekali lagi, wajah Yunita merah padam.
Sore itu mereka berpamitan pulang. Mama dan Papa Yunita melambaikan tangan di depan pagar sambil tersenyum bahagia.
Begitu mobil melaju menjauh, suasana di dalam kabin berubah hening sejenak. Yunita bersandar di kursi, memandangi jalanan yang mulai diselimuti cahaya senja.
“Pak…” panggil Yunita pada Yudhistira
“Hm?”
“Terima kasih, ya.” ujar Yunita
“Untuk apa?” tanya Yudhistira
“Udah nutupin semua hal aneh tadi. Kalau Bapak gak jawab dengan tenang, Mama pasti udah curiga.”
Yudhistira menatap ke depan, matanya hangat. “Aku janji jaga kamu, Yun. Itu termasuk melindungi kamu dari ‘interogasi Mama’.”
Yunita tersenyum kecil. “Hehe… iya juga sih.”
Lalu, dengan suara nyaris berbisik, ia menambahkan, “Tapi… aku seneng tadi.”
“Senang?”
“Iya. Rasanya kayak keluarga beneran. Mama, Papa, Bapak… semuanya bareng di meja makan. Gak tau kenapa, hangat banget.”
Yudhistira melirik sebentar. Ada senyum tulus di wajahnya.
“Karena itu memang keluarga kamu. Dan sekarang, aku bagian dari keluarga itu juga.”
Yunita terdiam. Hatinya mencelos, tapi hangat. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka dimulai, ia benar-benar merasa seperti seorang istri. Bukan hanya karena status atau perjodohan… tapi karena perasaan kecil yang tumbuh diam-diam di dalam dada.
Namun saat mereka hampir sampai di kompleks rumah, ponsel Yunita kembali bergetar. Kali ini nama yang muncul membuat wajahnya tegang.
📱 Reza: “Nita, aku di depan rumah kamu. Mau ngobrol bentar.”
Yunita refleks menutup layar ponsel. “Astaga…”
Yudhistira melirik sekilas. “Kenapa?”
“E-enggak, bukan apa-apa.”
“Reza lagi?” tanyanya dengan nada santai tapi mata tajam.
Yunita menunduk. “Iya…”
Mobil berhenti di depan rumah. Dari balik kaca, terlihat Reza berdiri di depan gerbang, membawa kantong kertas berisi sesuatu mungkin makanan. Wajahnya tampak antusias, seolah menunggu seseorang yang ia rindukan.
“Dia bawa makanan,” gumam Yunita.
“Untuk kamu?”
“Kayaknya…”
Yudhistira menghela napas panjang. Ia membuka sabuk pengaman dan menatap istrinya dengan ekspresi datar. “Baiklah. Aku gak akan marah. Tapi kamu harus tahu batasnya.”
Yunita menatapnya cepat. “Maksud Bapak?”
“Biar aku yang keluar dulu.”
Sebelum Yunita sempat menahannya, Yudhistira sudah keluar dari mobil. Ia berjalan tenang tapi tegas menuju Reza, yang langsung membeku di tempat.
“E—eh, Pak Yudhistira?” sapa Reza kaget. “Loh, Bapak kok di sini, bukanya ini rumah tantenya Yunita?”
“Rumah saya di sini,” jawabnya singkat, lalu menoleh ke arah Yunita yang baru turun dengan wajah pucat. “Dan ini istri saya.”
Reza terdiam. Bibirnya bergetar. “I—Istri…?”
Yunita menunduk dalam, tak sanggup menatap matanya. “Reza… maaf. Aku belum sempat cerita.”
Keheningan menggantung di udara. Suara angin sore berdesir pelan di antara mereka bertiga.
Reza akhirnya tersenyum getir. “Pantas aja kamu berubah dan dekat sekali dengan pak Yudhistira, akhir-akhir ini, Nita. Jadi ini alasannya. aku kira hanya hubungan kekasih biasa”
Yudhistira menatapnya dalam. “Aku harap kamu menghormati keputusan keluarga kami.”
Reza menatap balik, matanya sedikit memerah, tapi ia menahan diri. “Tentu, Pak. Saya cuma… gak nyangka aja.”
Ia menyerahkan kantong kertas itu ke Yunita. “Ini roti yang biasa kamu suka. Anggap aja kenang-kenangan.”
“Reza…”
“Tapi tenang, aku gak bakal ganggu lagi. Kamu bahagia, kan?”
Yunita mengangguk pelan.
“Kalau begitu, aku juga bahagia,” ucap Reza sebelum berbalik pergi, meninggalkan keduanya dalam senja yang hening.
Begitu Reza menghilang di tikungan, Yunita memejamkan mata, menahan perasaan campur aduk antara lega dan sedih.
Yudhistira diam beberapa detik, lalu berkata pelan, “Kamu masih sayang dia?”
“Enggak, Pak… Aku cuma gak suka bikin orang sedih.” jawab Yunita
Yudhistira menatapnya, lalu menepuk kepalanya lembut. “Kamu memang terlalu baik.”
Yunita menatap balik, sedikit tersenyum. “Bapak cemburu ya?”
“Sedikit.” jawab Yudhistira
“Sedikit banget?” tanya Yunita
“Kalau kamu terus godain aku gini, bisa jadi banyak.” ujar Yudhistira
Yunita tertawa kecil. “Pak… ternyata Bapak lucu juga, ya.”
“Cuma kalau sama kamu.” jawab Yudhistira
Dan di antara cahaya oranye senja, mereka berjalan masuk ke rumah untuk pertama kalinya tanpa perasaan canggung seperti dulu.
Karena kini, Yunita tahu: rumah ini bukan sekadar tempat tinggal. Tapi tempat di mana cintanya pada “guru killer” itu mulai tumbuh diam-diam… dan nyata.
Bersambung
yo weslah gpp semangat Thor 💪 salam sukses dan sehat selalu ya cip 👍❤️🙂🙏