Syahila dinyatakan koma semenjak kecelakaan yang menimpanya.
Sementara Athar, suami Syahila dipaksa menikah lagi oleh ibunya dengan seorang wanita pilihan sang ibu.
Berbagai cara dilakukan oleh Hilda, mamanya Athar, agar sang putra kembali memiliki istri yang bisa merawat dan melayani putranya.
Thifa, wanita berusia dua puluh tahun yang dijodohkan dengan Athar adalah seorang pengajar di sebuah pesantren. Karena baktinya pada orang tua, ia pun menerima pinangan Hilda. Tanpa mengetahui kenyataan bahwa istri pertama Athar masih hidup.
Di tengah perjalanan pernikahan Athar dan Thifa, Syahila siuman dari komanya.
Bagaimana dengan kelanjutan kisah mereka?
Siapakah yang akan dipilih Athar untuk tetap menjadi istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inka Aruna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 18
🌸🌸🌸
Hari ini adalah hari pertama Thifa kembali mengajar di kelas. Ia masuk di kelas 1 Madrasah Tsanawiyah. Dengan mengenakan gamis berwarna coklat dan jilbab cream. Melangkah keluar rumah dengan semangat baru.
Beberapa hari yang lalu hubungannya dengan sang suami dinyatakan pisah. Meskipun hatinya terasa sesak, ia sadar memang mungkin ini jalan yang terbaik. Tak ada lagi yang harus disesali, karena semua sudah menjadi suratan takdir.
Talak satu yang diucapkan sang suami bukan berarti membuat hidupnya berhenti berjalan. Rasa sayang dan cintanya pada Athar masih ada. Tak akan mudah hilang begitu saja. Kesan mendalam yang diciptakan oleh Athar membuatnya semakin kuat dan lebih dewasa, dalam menjalani kehidupan ini.
Thifa melangkah ke gerbang pesantren. Lalu lalang santriwati terlihat menuju ke kelas masing-masing. Ia berjalan ke arah kantor terlebih dahulu. Mengisi daftar kehadiran dan menyapa para pengajar yang lain.
Tak ada satu pun orang yang mengetahui tentang hubungannya dengan Athar yang sudah bercerai. Bahkan orang tuanya pun tak ia beritahu. Thifa hanya mengatakan kalau mereka sedang berpisah sementara waktu sambil mencari jalan keluar.
"Assalamualaikum, Ustadzah." Sebuah sapaan lembut menyapa Thifa saat tiba di depan mejanya.
Thifa melihat sekilas pria yang menyapanya itu.
"Waalaikum salam, Tadz."
Pria itu melempar senyum, lalu kembali menatap sebuah kertas di mejanya. Thifa meletakkan tas di meja lalu duduk. Seorang wanita memakai gamis biru muda mendekatinya.
"Assalamualaikum, Ustadzah. Wah, aku pikir kamu nggak akan ngajar lagi, Fa." Wanita itu berdiri di sebelah meja Thifa.
"Waalaikumsalam. Ngajar dong, kasihan nanti kamu kelimpungan sendiri gantiin aku," ucap Thifa seraya tersenyum pada sahabatnya itu.
Thifa dan sahabatnya yang bernama Dahlia tersebut melangkah keluar kantor, setelah selesai mengisi daftar hadir. Bel masuk pun sudah terdengar. Sementara di belakang mereka pria berpeci putih mengekor.
Mereka berjalan di koridor menuju ke kelas.
"Tadi kamu diantar suami kamu, Fa?" tanya Dahlia.
Thifa terdiam, bingung harus menjawab apa.
"Eum, enggak. Kebetulan dari kemarin aku nginap di rumah Abi."
Dahlia mengernyit heran. "Loh kalian nginep tow? Wah tau gitu aku main, Fa."
Thifa hanya tersenyum kecil. Tak ingin menanggapi lebih jauh lagi. Karena bisa menimbulkan keingintahuan yang lebih nanti bagi Dahlia.
"Aku masuk ya, Fa." Dahlia masuk ke kelas 1B.
"Iya."
Kelas satu terbagi menjadi tiga. Thifa mengajar di kelas 1A. Ia melanjutkan langkah. Namun, tiba-tiba ia merasa kepalanya sedikit pening. Sejak dua hari yang lalu ia sering mengalami itu, bahkan tiap pagi perutnya terasa mual.
Thifa menghentikan langkah, tangannya satu memegang dinding sementara tangan satunya memijit kening.
"Maaf, Ustadzah nggak apa-apa?" tanya pria yang sedari tadi berjalan di belakangnya.
Thifa hanya menggeleng lemah. "Saya baik-baik saja, Ustadz. Makasih perhatiannya."
"Tapi saya merasa kalau Ustadzah kurang sehat."
Thifa kembali menegakkan tubuhnya, menarik napas pelan. Ia tak ingin berlama-lama bersama pria di sebelahnya itu. Karena bisa menimbulkan fitnah, dan rasa cemburu jika sang adik melihat.
"Saya masuk kelas dulu, Ustadz," ucap Thifa seraya belok ke dalam kelasnya.
Pria berkulit putih itu mengulum senyum, ia masih berdiri di depan pintu hingga memastikan Thifa duduk di kursinya dalam keadaan baik-baik saja. Setelah itu ia melangkah menuju ke arah tangga. Ustadz Fikri mengajar di kelas 3Aliyah. Letak kelasnya berada di lantai tiga. Sedangkan santriwati Tsanawiyah berada di lantai satu. Lantai duanya di isi oleh laboratorium dan juga aula.
🌸🌸🌸
Di tempat lain, Syahila dan Mitha sedang asyik menikmati udara pedesaan. Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan sawah yang hijau. Di bawah mereka sebuah sungai yang airnya terlihat bening. Beberapa anak sedang mandi dan bermain air di sana.
Mereka berdiri tepat di atas sebuah jembatan. Mitha bersandar di pinggir jembatan memandang ke arah bawah.
"La, gue mau ngomong sama loe. Tapi loe jangan marah." Mitha membuka percakapan.
"Ngomong aja sih, Tha. Kaya sama siapa aja."
Mitha tersenyum kecil lalu berbalik badan. "Eum, sorry sebelumnya, kalau gue nggak minta izin sama loe dulu. Soalnya gue gemes banget."
Syahila memandang sahabatnya dengan terkekeh. "Apaan sih, loe?"
"Nyokapnya Athar masuk penjara, gue minta Dhani buat bikin laporan."
"Apa? Loe serius?" tanya Syahila menatap tajam.
"So-sorry, La. Loe marah?"
Syahila mendengkus kesal lalu menggeleng lemah. "Nggak, gue nggak marah. Justru gue berterima kasih sama loe. Selama ini gue nggak pernah dianggap keberadaannya sama dia. Mungkin itu buat pelajaran dia kalau apa yang dia lakukan itu salah dan harus dipertanggung jawabkan dengan hukum. Bisa aja kan kalau loe nggak lapor, trus dia hidup bebas, lalu suatu saat itu kejadian sama siapa gitu. Dia buat itu lagi."
"Iya, La. Loe yang sabar ya. Ngomong-ngomong udah tiga hari Athar nggak jemput loe."
"Biarin aja, La. Mungkin dia lagi senang-senang sama istri mudanya."
"Kenapa sih, loe nggak terima aja madu loe itu? Yang penting kan Athar nggak ninggalin loe. Kalau kaya gini kesannya jadi emang loe yang bawa masalah dan mundur sendiri."
"Emang gue yang bawa masalah, Tha. Udah lah. Gue males bahas itu lagi. Sekarang hati gue lebih tenang. Nggak perlu gue ngemis-ngemis maaf sama mertua gue. Nggak perlu juga ngemis perhatian sama Mas Athar. Begini gue lebih baik."
Mitha menarik napas pelan. Menatap wajah sahabatnya yang terlihat lebih ceria dari pada pertama mereka bertemu.
"Besok gue balik ya, cuti gue cuma seminggu," ujar Mitha.
"Yah, gue sendiri dong?"
"Kan ada bibi, Kang Anton, Fatim."
"Iya, tapi kan nggak ada yang bisa diajak ngobrol."
"Handphone loe?"
Syahila menggeleng. "Gue nggak mau bawa handphone itu. Terlalu banyak kenangannya. Nanti malah bikin gue nggak bisa move on."
"Iya, juga."
Mereka menghabiskan pagi bersama. Arloji dipergelangan tangan Mitha sudah menunjuk ke angka sepuluh pagi. Mereka lalu kembali ke rumah bibinya Syahila.
🌸🌸🌸
Seminggu telah berlalu. Kegiatan Athar kini tak hanya antara kantor dan rumahnya. Melainkan ia juga harus menjenguk mamanya di kantor polisi. Karena jika ia tak menengoknya sehari saja, mamanya akan kehilangan semangat hidup.
Polisi sudah mengumpulkan barang bukti. Hilda dinyatakan bersalah atas tuduhan pemalsuan dokumen. Ia dijerat pasal 263 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), dengan hukuman pidana paling lama enam bulan penjara.
Kini wajah wanita paruh baya itu tertunduk lesu. Ia sudah mengakui semua perbuatannya pada polisi. Ia pun merasa bersalah atas perbuatannya itu. Tak ada perlawanan atau pun tindakan buruk selama ia berada di dalam jeruji besi sambil menunggu sidang.
Athar menatap mamanya yang sedang makan siang. Ia membelikan makanan kesukaan mamanya itu. Namun, tak seperti biasa Hilda memakannya dengan malas.
"Mah, makan yang banyak. Mama harus kuat," ucap Athar menguatkan mamanya.
"Maafin Mama, Thar. Semua gara-gara Mama. Kamu ditinggal Syahila, lalu pisah sama Thifa."
"Sudahlah, Mah. Yang terpenting saat ini bagi aku adalah kebebasan Mama. Mama adalah segalanya buat aku. Aku nggak mau lagi egois memikirkan kebahagiaanku sendiri, sementara Mama menderita karena aku."
Hilda menunduk, matanya yang sejak tadi berkaca-kaca itu kini menumpahkan setetes demi setetes bulir bening ke pipinya.
"Mama ingin minta maaf pada kedua mantu Mama nanti. Harapan Mama kalian bisa bersatu kembali."
"Nggak mungkin, Mah."
"Jujur sama Mama, Thar. Bagaimana perasaan kamu dengan mereka berdua?"
Athar menarik napas dalam, dan mengembuskannya perlahan. Lalu menggeleng.
"Kamu harus memilih, Thar. Kamu harus bertanggung jawab pada mereka."
"Tapi Syahila nggak mau dimadu, sementara Thifa ia rela jadi yang kedua, Mah."
"Kamu temui Syahila, buat kepastian hubungan kalian. Kalau masih bisa rujuk dengan Thifa, kembalilah, Nak."
Athar menunduk lesu. Rasanya ia tak kuat lagi menanggung semuanya. Bukan, bukan bermaksud lari dari masalah. Ia hanya malu, malu karena ia tak bisa menjadi Imam yang baik bagi kedua istrinya itu.
Tiba-tiba ponsel di saku celana Athar berdering. Ia merogoh sakunya dan mengambil benda pipih itu. Keningnya mengernyit saat melihat siapa yang menghubunginya.
"Bu Layla, umminya Thifa telepon, Mah," ucap Athar memperlihatkan layar telepon yang masih menyala itu.
"Angkat, Nak. Jangan-jangan ada yang penting."
Athar menerima panggilan itu.
"Assalamualaikum, Ummi," sapa Athar dengan jantung berdebar-debar.
"------"
"Apa? thifa di rawat?" Suara Athar meninggi.
Hilda yang melihatnya ikut bingung, menerka-nerka apa yang terjadi pada menantunya itu.
"Baik, Ummi. Saya akan ke sana sekarang!"
Panggilan pun terputus. Athar menunduk mengacak rambutnya dan meremasnya. Ujung matanya basah.
"Ada apa?" tanya Hilda cemas.
"Thifa, Mah."
"Iya, Thifa kenapa?"
Athar tak kuat untuk menceritakan semuanya. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan agar tangisnya tak pecah di hadapan mamanya.
"Athar, cepat bilang ada apa?"
"Thifa, sudah tiga hari di rawat di rumah sakit karena keserempet motor."
"Astaghfirullah, lalu dia nggak apa-apa kan?"
"Dia …. mengalami pendarahan."
"Astaghfirullah, apa Thifa hamil? Lalu gimana dengan kandungannya?"
Athar menggeleng lemah, air matanya tak dapat dibendung lagi. Ia pun menangis.
"Semua salah aku, Mah. Semua gara-gara aku." Athar mulai terisak.
"Cepat kamu jenguk dia, dia butuh kamu."
"Tapi, Mah. Aku malu dengan keluarga mereka."
"Kamu laki-laki Athar, kamu harus bertanggung jawab. Kamu harus kuat." Hilda mengusap bahu sang putra.
Athar akhirnya bangkit dari duduk, berpamitan pada mamanya untuk menyusul sang istri ke rumah sakit. Hilda pun kembali ke tempat semula, di balik jeruji besi.
🌸🌸🌸
Tbc
Vote komennya ya.
Maaf gabisa balas komen, sinyal disini lemot banget. Mau ngepost pun muter-muter dulu.
Tapi aku baca kok komen kalian.
Makasih ya.
Ketjup jauh aja deh buat semuanya yang selalu Setia sama Athar, Thifa dan Syahila.
😘😘😘😘😘
MASYARAKAT INDONESIA LBH MALU TRHADAP SSAMA MNUSIA, DRIPADA MALU KPD TUHAN..
MAKANYA BNYK ORTU YG SALAH LGKAH MNIKAHKN ANAK GADISNYA DLM KONDISI HAMIL HNY KRN AIB, DN CELAKANYA BNYK PENGHULU YG DIBOHONGI PIHAK ORTU KDUA MMPELAI, DN BNYK JUGA PNGHULU YG MASA BODOH, YG PTG DPT AMPLOP, PADAHAL TGGUNG JAWAB MRK SANGATLH BESAR DI HADAPN ALLAH, KLO PENGHULU YG SSUAI SYARIAT MRK AKN MNANYAKN KPD ORTU KDUA MMPELAI, APAKH MRK NIKAH MURNI, ATAU NIKAH MBA,, KLO PENGHULU YG TEGAS PEGANG SYARIAT ISLAM, MRK AKN MNOLAK MNIKAHKN PASANGAN YG BRZINAH DLU HINGGA HAMIL, SECARA DLM SYARIAT ISLAM, PELAKU ZINAH DI HUKUM RAZAM.
TTPI YG SSUNGGUHNYA MMG HARAM DINIKAHI, MSKI OLEH LAKI2 YG MNGHAMILINYA, SEANDAINYA ADA LAKI2 LUAR YG INGIN NIKAHI WANITA HAMIL TESEBUT JG TK BSA, TTP HRS NUNGGU BAYI ITU LAHIR, SETELH 40 HRI BRU BOLEH DINIKAHI