jhos pria sukses yang di kenal sebagai seorang mafia, mempunya kebiasaan buruk setelah di selingkuhi kekasih hatinya, perubahan demi perubahan terjadi dia berubah menjadi lebih kejam dan dingin, sampai akhirnya dia tanpa sengaja membantu seorang gadis mungil yang akan menjadi penerang hidupnya. seperti apakah kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Jhos keluar dari kamar adiknya dan melangkah menuju ruang makan. Di sana, makanan sudah tersaji rapi, disiapkan oleh pembantu rumah. Ia duduk dan mulai menyantap makanannya dengan santai. Namun, baru beberapa suapan, pikirannya melayang ke satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang: Anita. Sejak pagi, ia belum melihat wanita itu.
"Ke mana perginya dia?" gumam Jhos pelan. Ia meletakkan sendok, lalu berdiri dan bergegas ke kamarnya untuk mengambil ponsel. Niatnya hanya satu—menghubungi Anita. Namun, sebelum sempat membuka daftar kontak, panggilan masuk dari nomor Anita muncul di layar.
Tanpa pikir panjang, Jhos langsung mengangkatnya.
"Halo?" sapanya cepat.
Namun suara di seberang bukan milik Anita. "Apa ini keluarga Nona Anita?"
Jhos mengernyit. "Ya, saya. Ada apa? Siapa ini? Di mana Anita?" tanyanya, nada suaranya langsung berubah panik. Hatinya mencelos, firasat buruk menyergap.
"Maaf, Tuan. Saya menemukan Nona Anita tak sadarkan diri di dalam mobilnya. Dia menabrak tiang listrik di jalan raya. Saat ini sedang dirawat di rumah sakit. Saya yang membawanya ke sini," jelas suara laki-laki itu.
Tubuh Jhos seketika tegang. Tangannya gemetar, dan jantungnya berdegup tak karuan. Firasatnya benar—sesuatu yang buruk telah menimpa Anita.
"Terima kasih, Tuan. Saya akan segera ke sana. Tolong, pastikan dia tetap selamat sampai saya tiba," ucap Jhos cepat, suaranya diliputi kekhawatiran.
Setelah menutup telepon, Jhos segera menuju kamar Sisi dan menghampiri Nisa.
"Nisa, tolong jaga Sisi. Aku harus ke rumah sakit sekarang. Anita kecelakaan dan tak sadarkan diri. Aku mohon, jaga dia untukku," katanya terburu-buru. Tanpa menunggu balasan, Jhos langsung pergi dengan ekspresi panik.
Nisa terpaku di tempat. Walaupun ia dan Sisi tidak begitu menyukai Anita, kabar itu tetap saja mengguncangnya. Bagaimanapun, Anita adalah sosok yang penting bagi Jhos.
"Apa yang Kakak bilang tadi? Wanita itu kecelakaan? Astaga... sejak kapan dia keluar rumah? Bukankah tadi masih di sini?" tanya Sisi, terkejut.
Nisa mengelus punggung adiknya pelan. "Tenang, Sisi. Dia pasti baik-baik saja. Tadi setelah sarapan, dia pergi. Kakak pasti bisa menanganinya."
Sementara itu, Jhos mengemudi seperti orang kesetanan. Ia menerobos lampu merah, mengabaikan klakson dari mobil lain. Tak peduli pada keselamatannya sendiri, pikirannya hanya dipenuhi kekhawatiran pada Anita.
Anita bukan hanya sekadar wanita dalam hidupnya. Ia adalah orang yang pernah mengorbankan nyawa demi menyelamatkannya—menjadi tameng hidup ketika peluru diarahkan pada Jhos. Anita koma selama lima bulan kala itu. Sejak saat itu, Jhos bersumpah pada ayah Anita untuk menjaganya seumur hidup.
Sesampainya di rumah sakit, Jhos keluar dari mobil tanpa mempedulikan tempat parkir. Ia berhenti di sembarang tempat, membuat seorang petugas rumah sakit menghampiri dan menegurnya. Namun, tanpa peringatan, Jhos melayangkan pukulan ke arah petugas tersebut.
Petugas itu mundur kaget dan hanya bisa menggeleng, membiarkan Jhos berlari ke dalam rumah sakit seperti orang kesurupan.
Di depan ruang operasi, ia melihat seorang pria berdiri gelisah. Jhos langsung menghampirinya.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Jhos, napasnya terengah-engah.
"Dokter sedang menangani dia. Luka di kepalanya cukup parah, jadi langsung dibawa ke ruang operasi. Saya menemukannya di dalam mobil yang dipenuhi asap. Mobilnya hampir meledak, untung saya tiba tepat waktu dan menariknya keluar," jelas pria itu.
Mendengar penjelasan itu, wajah Jhos semakin muram. Ia mengepalkan tangan, berusaha menahan emosi dan rasa bersalah yang bergolak di dalam dadanya.
Pria itu lalu bercerita lebih rinci. Saat itu ia sedang melintasi jalan dan melihat mobil berhenti dengan asap tebal keluar dari dalamnya. Ketika didekati, ia melihat seorang wanita tak sadarkan diri di kursi pengemudi. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu dan menggendong wanita itu keluar—Anita.
"Saya benar-benar berterima kasih. Kalau Anda tidak menolongnya, mungkin dia sudah—" Jhos tak sanggup melanjutkan. "Sebagai bentuk terima kasih, izinkan saya memberi Anda uang tunai. Tolong, jangan menolak."
Namun pria itu menggeleng. "Tidak perlu, Tuan. Saya ikhlas. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh sesama manusia. Perkenalkan, saya Darwin. Saya pemimpin perusahaan Bisma Jaya."
Jhos mengangguk. "Saya Jhos, dari Huan Chen."
Darwin terperanjat. "Astaga... Anda Presiden Direktur Huan Chen? Saya benar-benar tidak menyangka. Bisa bertemu Anda saja sudah seperti mimpi. Saya justru merasa terhormat, Tuan."
Jhos tersenyum kecil. "Mungkin kita bisa bertemu lagi untuk membahas kerja sama bisnis."
Dua jam berlalu. Keduanya duduk menunggu dalam kecemasan. Akhirnya, pintu ruang operasi terbuka, dan seorang dokter keluar dengan wajah serius.
"Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Jhos cepat. "Apakah dia selamat?"
Dokter menghela napas. "Operasi berhasil. Tapi... kondisi pasien masih kritis. Luka di kepalanya cukup parah akibat benturan keras. Kami memperkirakan pasien akan koma selama beberapa bulan. Tapi kami tidak bisa memastikan. Semua bergantung pada kondisi tubuhnya... dan Tuhan."
Jhos memejamkan mata sejenak, menahan gejolak di dadanya. Ia tahu perjuangan Anita belum usai—dan ia akan tetap berada di sana, menunggu, dan menjaga... seperti janjinya dulu.
Jhos terdiam mendengar penjelasan dokter. Meski hatinya remuk, ia tetap memohon, “Terima kasih, Dokter. Tolong lakukan yang terbaik untuknya. Berapa pun biayanya, saya akan tanggung, asal dia bisa kembali seperti semula.”
Dokter tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Itu sudah menjadi tugas kami, Tuan. Anda tak perlu khawatir. Jika Tuhan berkehendak, pasien pasti selamat. Untuk sementara, biarkan dia tetap di ruang perawatan. Besok pagi kami akan lakukan operasi kedua. Anda bisa menjenguknya sekarang, tapi jangan terlalu lama. Saya permisi dulu.”
Begitu dokter pergi, Jhos semakin gelisah. Ia berjalan mendekati dinding dan menghantamnya dengan kepalan tangan, meluapkan rasa frustasi dan bersalah. Ia merasa telah gagal menjaga Anita, padahal dulu berjanji pada ayahnya untuk melindunginya. Dalam hati, ia bersumpah akan melakukan apa pun demi kesembuhan Anita.
“Tuan, cukup. Jangan menyalahkan diri sendiri, apalagi sampai menyakiti diri. Ini sudah takdir,” ucap Darwin, mencoba menenangkan Jhos yang terus memukul tembok.
Jhos akhirnya berhenti. Meski rasa bersalah masih menggerogoti, ucapan Darwin sedikit meredakan emosinya. Ia pun masuk ke ruang perawatan, mendekati tempat tidur Anita.
Di sana, ia melihat Anita terbaring lemah. Tubuhnya tak berdaya, wajahnya pucat, kepala dibalut perban. Pemandangan itu menghancurkan hati Jhos.
“Anita… maafkan aku. Aku gagal menjagamu. Bangunlah dan hukum aku kalau perlu. Aku memang bodoh, Anita…” ucapnya lirih, penuh penyesalan sambil menatap wajah Anita yang tak sadarkan diri.
Malam itu, Jhos tidak beranjak dari sisi Anita. Ia duduk di sofa dekat ranjang, menjaga dengan penuh perhatian. Rasa bersalah membuatnya enggan pergi, enggan tidur.
Keesokan pagi, Nisa dan Sisi datang menjenguk. Begitu sampai di ruang perawatan, mereka melihat Jhos duduk lemas di sofa, wajahnya kusut dan jelas tak tidur semalaman.
“Jhos, istirahatlah. Biar aku dan Sisi yang menjaga Anita. Kamu kelihatan sangat lelah,” ucap Nisa lembut.
Namun Jhos hanya menoleh sebentar, lalu kembali menunduk dalam diam.
Nisa melangkah mendekati ranjang Anita. Hatinya miris melihat kondisi sahabatnya yang begitu parah. Ia tahu betul, apa yang dirasakan Jhos saat ini bukan sekadar kelelahan—tapi rasa bersalah yang membebani jiwa.
Sisi, yang sejak awal tak begitu menyukai Anita, juga merasa iba. Tapi wajah Anita yang penuh perban membuatnya takut. “Kak… kita pulang aja, yuk. Aku nggak berani di sini terus. Serem. Ayolah, Kak… aku takut…” ucap Sisi, menarik-narik tangan Nisa.
Karena paksaan Sisi, Nisa akhirnya memutuskan untuk pulang. Sebelum pergi, ia menoleh ke arah Jhos yang duduk seperti mayat hidup. Ia mendekat, lalu berkata pelan.
“Jhos, jangan lupa istirahat. Kamu juga harus jaga kesehatan. Kalau kamu sampai sakit, siapa yang akan jaga Anita nanti?”
Jhos menoleh. Tiba-tiba, ia menarik tangan Nisa dan bertanya lirih, namun penuh emosi, “Nisa… apa aku masih pantas disebut pria? Apa aku pantas dipercaya untuk menjaga seorang gadis? Aku gagal, Nisa. Aku bodoh karena melupakan janjiku…”
Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir. Ia memeluk Nisa erat, tak mampu lagi menyembunyikan kesedihannya.
“Ini bukan salahmu, Jhos. Ini takdir Tuhan. Sekarang, yang bisa kita lakukan hanya berdoa untuk keselamatannya,” ujar Nisa sambil menepuk bahunya pelan.
Setelah itu, Nisa perlahan melepaskan pelukan Jhos dan berjalan keluar, menyusul Sisi yang masih berdiri tegang di depan pintu.
Nisa memutuskan untuk tidak kembali ke apartemen Jhos. Ia mengajak Sisi pulang ke rumahnya sendiri—sudah beberapa hari ia tak pulang dan belum sempat menemui ayahnya.
“Ini rumah Kakak Cantik?” tanya Sisi dengan antusias saat mereka sampai di rumah sederhana Nisa. Wajahnya berseri, senang sekali bisa berkunjung.
Nisa melihat ayahnya, Ferdinan, duduk santai di teras sambil minum kopi. Ia langsung menghampirinya bersama Sisi.
“Kamu ke mana saja, Nisa? Kenapa baru pulang? Dan itu siapa?” tanya Ferdinan, heran melihat putrinya datang bersama seorang anak kecil.
“Halo, Om! Namaku Sisi. Aku temannya Kakak Cantik. Dia baik banget, jadi aku suka main sama dia,” sahut Sisi dengan semangat, bahkan lebih semangat daripada Nisa sendiri.
“Sisi ya? Nama yang cantik untuk gadis manis seperti kamu,” ujar Ferdinan sambil tersenyum. Ia terhibur melihat gadis kecil yang ceria dan polos itu.
“Dia adik dari majikanku, Yah. Karena kakaknya sedang menjaga orang di rumah sakit, dan dia sendirian, jadi aku ajak ke sini,” jelas Nisa.
“Oh, kukira dia adik pacarmu itu. Dua hari lalu dia mampir ke sini, bilang mau ke luar negeri, dan titip pesan ke Ayah agar jagain kamu. Katanya, jangan sampai selingkuh,” ujar Ferdinan sambil tersenyum menggoda.
“Ayah, dia bukan pacarku! Aku bahkan nggak kenal dekat sama dia!” balas Nisa kesal, memanyunkan bibirnya seperti biasa saat marah.
Sisi langsung menunduk. “Kakak Cantik punya pacar? Tapi Kakakku tampan, loh. Jadi Kakak Cantik nggak boleh terus sama aku dong, kalau pacaran sama orang lain…” ucapnya sedih, memainkan kakinya seperti anak kecil yang sedang ngambek.
“Enggak, sayang. Kakak nggak punya pacar. Kamu tetap sama Kakak kok. Ayah Kakak cuma bercanda,” ujar Nisa cepat-cepat menenangkan.
Ferdinan tersenyum melihat tingkah lucu Sisi. Tapi Sisi salah paham dan mengira Ferdinan menertawakannya. “Tuh kan, Om ketawa. Jadi Kakak Cantik bohong, ya?” cemberutnya.
Ferdinan segera menghampiri dan mengelus kepala Sisi. “Enggak, Om cuma bercanda kok. Sekarang yuk, kita makan siang. Om masak makanan enak hari ini.”
Sisi langsung bersorak senang. “Yes! Jadi aku nggak akan ditinggalin sama Kakak Cantik, kan? Iya, kan?” serunya, memeluk Nisa erat.
Ferdinan mengajak mereka masuk. Ia menyuruh Nisa menyiapkan makan siang, sementara Sisi duduk di ruang makan, memainkan sendoknya sambil menunggu.
“Om, makanannya lama banget. Kakak Cantik pasti tidur di dapur,” gerutunya tak sabar, lalu berlari ke dapur untuk membantu.
Meski berasal dari keluarga kaya, Sisi tidak manja soal makanan. Baginya, makanan apa pun yang dimakan orang yang ia sukai, akan terasa enak juga baginya.
“Sisi, kamu suka makanannya? Maaf ya, Om cuma bisa masak makanan sederhana. Om nggak punya banyak uang buat beli yang enak-enak,” ucap Ferdinan sungkan.
Namun Sisi hanya tersenyum riang. “Enak kok, Om! Apalagi Kakak Cantik yang bawain ke meja. Jadi aku suka!”
Ucapan polos itu membuat Ferdinan dan Nisa tersenyum lega.