Istri Kedua

Istri Kedua

Bagian 1

DIPAKSA NIKAH

***

Athar Ibrahim,  pria berusia dua puluh lima tahun itu berdiri di depan cermin besar. Menatap wajahnya yang mulai kusam, rambut sedikit panjang tak terurus. Kelopak matanya pun menghitam.

Kegiatan yang ia lakukan enam bulan terakhir ini selain bekerja adalah menjaga sang istri di rumah sakit. Itu membuat tubuhnya kelelahan. Setiap pulang bekerja ia sempatkan untuk mampir ke rumah sakit, sekedar melihat, atau mengajak bicara sang istri. Berharap istrinya mendengar lalu sadar. 

Malam ini ia merasa cemas, entah kenapa pikirannya kalut. Bayangan mamanya yang mengancam akan membunuh sang istri selalu melintas. Tiap hari ia selalu berpesan pada orang rumah jika mamanya keluar,  segera beritahu dirinya.

Tok tok tok.

Tiba-tiba suara ketukan pintu mengejutkannya. Ia menoleh dan melangkah ke arah suara. Dibukanya perlahan pintu kamar. Seorang wanita tua dengan napas tersengal dan wajah cemas menatapnya.

"Ada apa, Bik?" tanya Athar.

"Ga-gawat, Mas.  Ibu,  I-ibu barusan keluar," jawab wanita tua itu gugup.

"Mama bilang dia mau ke mana?"

"Nggak,  Mas. Tapi, I-ibu ...."

Brak!!

"Suara apa tuh,  Bik?"

"Ibu bawa mobil,  Mas."

"Apa?"

Kedua bola mata Athar membulat. Secepat kilat ia keluar dari kamarnya dan menuju ke arah suara yang terdengar tadi.  Ia berharap tidak terjadi apa-apa dengan mamanya.  Karena Hilda tak pernah bisa mengendarai mobil.

Athar tiba di halaman rumahnya,  tak didapati mamanya di sana beserta mobil yang biasa ia gunakan. Jantungnya mulai berdebar hebat.

Dilihatnya orang-orang berlarian lewat depan pagar rumahnya yang tertutup sebagian. Ia pun keluar. Ternyata para warga itu mendatangi sebuah mobil yang baru saja menabrak pagar rumah warga yang berada tepat lima rumah dari seberang rumah Athar.

Athar mengenali mobil tersebut. Mobil miliknya yang dikendarai oleh Hilda.  Ia lalu berlari ke sana. Menerobos kerumunan warga.  Seorang security berhasil mengeluarkan Hilda dari dalam mobil yang sudah penyok bagian depannya. Sementara pagar rumah yang ditabrak itu ambruk.

"Mas,  kok bisa sih Mamanya dibiarkan nyetir sendirian?"

"Iya,  Mas. Duh kasihan."

"Tau nih,  Mas Athar. Untung nggak kenapa-kenapa."

Ucapan warga membuatnya semakin cemas. Hilda dibaringkan di atas trotoar. Athar mencoba membangunkan sang mama dengan menepuk-nepuk pipi. Namun,  sepertinya mamanya pingsan.

Ia meminta tolong warga untuk membantunya membopong ke rumah.

***

.

"Mama kenapa nekat kaya tadi sih? Kalau kenapa-kenapa gimana?" ujar Athar seraya duduk di samping ranjang Hilda. Mamanya.

Setengah jam yang lalu Hilda nekat menyetir sendiri sampai menabrak pagar rumah orang.  Hilda melengos,  menatap ke arah jendela.

"Lebih baik Mama mati saja. Dari pada harus tinggal sama anak yang nggak sayang sama orang tuanya."

"Mah,  maksud Mama apa? Kalau aku nggak sayang sama Mama, aku nggak akan tolongin Mama tadi." Athar berusaha meraih tangan Hilda.

Hilda menepisnya.

"Mah,  Mama kenapa sih? Mama mau apa?" Suara Athar mulai melemah.

Ia melihat ujung mata mamanya mulai basah,  perlahan air bening itu meluncur ke pipi yang mulai terlihat kerut keriput.

"Mama hanya ingin melihat kamu bahagia, Mama hanya ingin di akhir hidup Mama, Mama bisa menggendong cucu dari kamu. Apa Mama salah. Cuma kamu yang Mama punya. Cuma kamu, Thar. Anak satu-satunya kesayangan Mama." Hilda mulai terisak.

Athar menunduk. "Nanti kalau Syahila sadar,  aku akan adopsi anak, Mah."

"Enggak! Anak adopsi itu bukan anak kandung kamu. Dan sampai kapan kamu akan nunggu dia sadar?"

"Tapi, Mah. Dia masih istriku."

"Istri yang tidak bisa melayani suaminya berbulan-bulan, masih bisa disebut istri?" Hilda menatap tajam ke arah Athar.

"Mah,  Syahila koma. Mama nggak kasihan sama dia?"

"Athar, apa keluarga mereka kasihan sama kamu saat itu?  Enggak kan? Mereka hanya menuntut kamu meminta pertanggung jawaban,  tanpa mendengar alasannya. Mereka juga sudah memeras uang Mama." Kedua mata Hilda berkilat,  menahan segala amarah.

Dendam, masih menyelimuti hati Hilda. Meski Athar dan Syahila saling mencintai. Tapi ia tak pernah merestui hubungan keduanya. Terlebih Syahila pernah membohonginya dengan berpura-pura hamil agar mendapat restu darinya.

Sayangnya,  justru Athar yang harus menerima hujatan,  tuduhan  dan sebagainya. Bahkan keluarga Syahila meminta ganti rugi yang begitu besar untuk menutupi masalah tersebut.

Athar menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

"Mau Mama apa?" tanya Athar pasrah.

Ia tak ingin menjadi anak yang durhaka. Hanya Hilda yang ia miliki saat ini. Namun, ia tak tahu harus bagaimana jika Hilda memintanya untuk menikah lagi.

Hatinya menolak karena ia masih sangat mencintai dan menyayangi Syahila. Berharap terus menerus agar sang istri cepat sadar. Namun,  sampai kapan?  Sementara dirinya sebagai laki-laki normal juga masih memiliki hasrat. Hasrat yang ia pendam karena kebutuhan biologisnya tak terpenuhi membuat kepalanya terasa sakit.

"Mama hanya ingin kamu berkenalan dengan wanita pilihan Mama. Kamu berhak memilih melanjutkan atau tidak nantinya." Hilda meraih tangan putra semata wayangnya itu,  dan mengusapnya lembut.

"Lalu bagaimana dengan Syahila dan keluarganya kalau mereka sampai tahu?"

"Kamu tenang saja, tugas kami hanya menurut. Mama yang akan atur semuanya."

Senyum tipis mengembang di wajah Hilda. Namun,  tidak dengan Athar. Ada rasa cemas di dadanya. Membayangkan jika suatu ketika sang istri sadar dan mendapatinya tengah menikah dengan wanita lain.  Entah apa yang akan dilakukan Syahila nanti padanya.

***

.

Ruangan berukuran tak lebih dari 3x3m itu terlihat lengang. Hanya ada sebuah tempat tidur untuk satu orang, dan sebuah lemari pakaian.

Seorang wanita berjilbab putih duduk di tepi ranjang, telapak tangannya basah dan dingin. Pertanda sedang gerogi. Menunggu kedatangan seorang pria yang akan mengkhitbahnya. Sesekali ia menggigit bibir bawah.  Jantungnya berdebar-debar.

Ia tak pernah sekalipun menjalin hubungan dengan pria, seperti layaknya gadis-gadis diluar sana yang menyebutnya dengan kata pacaran. Dua puluh tahun ia hidup di dalam pesantren, di besarkan oleh kedua orang tua yang sederhana. Buku dan Alquran yang menjadi teman hidupnya selama ini.

"Nduk." Sebuah suara memanggilnya.

Ia menoleh ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya berjilbab coklat berjalan menghampiri. Ia pun tersenyum dan berdiri menyambut kedatangan wanita tersebut yang tak lain adalah ibunya.

"Kamu sudah siap, Thifa?" tanya wanita itu seraya meraih kedua tangan sang anak.

"Sudah,  Ummi. Memang orangnya sudah datang?"

"Sudah, keluarga Nak Athar sudah datang. Ayo kita temui mereka."

Wanita itu menggandeng putrinya menuju ke ruang tamu. Tak ada kursi atau pun sofa di ruangan tersebut. Hanya ada lemari besar berisi kitab-kitab milik keluarga Thifa.

Alasnya sebuah karpet untuk mereka duduk. Keluarga Athar yang hanya terdiri dari Hilda, Athar dan seorang pria paruh baya yang tak lain adalah pamannya Athar ikut hadir mengantar.

Athar mengulurkan tangannya ke arah Thifa. Namun, wanita itu menangkupkan kedua tangannya di depan dada seraya tersenyum.

"Ck, salaman aja nggak mau," celetuk Athar sambil berdecak kesal.

Mereka lalu duduk. Thifa beranjak ke dapur untuk membuatkan minuman. Teh manis hangat dipilihnya juga sepiring singkong rebus dan pisang goreng untuk menemani perbincangan di ruang tamu.

Tak butuh waktu lama, semuanya telah siap untuk dibawa ke depan. Karena ternyata umminya sudah menyiapkannya.

Thifa meletakkan satu persatu cangkir berisi teh manis hangat di hadapan para tamu. Dan dua piring makanan di tengahnya. Sesekali ia melirik ke arah Athar yang sibuk dengan ponselnya.

"Maaf, Bu Layla dan Pak Yusuf. Kedatangan kami mendadak." Hilda membuka perbincangan.

"Nggak apa-apa. Kita kan selalu ada di rumah. Tapi, maaf, jamuannya seadanya ini." Ummi Layla tersenyum menanggapi.

"Jadi begini, Bapak, saya sebagai pamannya Athar. Mewakili orang tuanya. Berkeinginan untuk mempererat silaturahim. Menyatukan anak-anak kita yang sudah dewasa." Pria berkacamata itu berbicara serius.

Hilda dan kedua orang tua Thifa manggut-manggut menyimak. Sementara Athar tak peduli. Bahkan ia tak mendengar.

"Saya bermaksud untuk melamar putri Bapak dan Ibu, untuk keponakan saya. Bagaimana, Bu, Pak?"

"Eum, memang Nak Athar sudah siap menikah lagi?" tanya pria paruh baya dengan peci putih di kepala itu menatap ke arah Athar.

Athar bergeming tak mendengar. Hilda lalu menyenggol lengan putranya tersebut. Ia pun kaget dan gelagapan.

"Sudah siap Nak Athar?" tanya Pak Yusuf memastikan.

"Owh, siap, Pak. Saya selalu siap!" Athar menjawab dengan lantang, padahal ia tak mendengar pertanyaannya tadi. Yang ia tahu adalah kedatangannya itu hanya untuk perkenalan saja. Toh pandangan dan kesan pertama pada gadis di depannya itu, ia sama sekali tak tertarik. Ia akan bilang pada mamanya untuk tidak melanjutkan perjodohan itu.

Sayangnya, ia tak menyimak dan mendengarkan. Ucapannya barusan membuat keluarga Thifa mantap menikahkan putrinya pada pria yang mereka kenal adalah putra dari almarhum Bapak Solahudin, yang tak lain adalah salah satu ustadz di pesantren tempat keluarga Thifa tinggal.

"Bagaimana, Nduk?" tanya Yusuf pada putrinya yang kelihatan malu-malu.

"Kalau Ummi dan Abi setuju." Thifa mengangguk.

"Alhamdullillah, lamaran di terima berarti," ucap Hilda sambil menepuk lutut Athar. Dan mengusap kedua wajah dengan telapak tangan.

"Apa? Lamaran?" Kedua bola mata Athar membulat sempurna.

***

Tbc

Vote dan komennya ya gaesss

😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘

Terpopuler

Comments

Fania kurnia Dewi

Fania kurnia Dewi

mampir

2023-07-21

0

kayra _Y.M

kayra _Y.M

aq mampir...semoga kelanjutanya bagus

2020-09-26

0

Salsa Arsyfa

Salsa Arsyfa

. nyimak dulu , sepertinya bagus ...

2020-04-08

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!