Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Masalah yang Menyenangkan
Pagi itu di ruang makan, Rumi baru saja menyusun dua piring sarapan ketika suara pintu depan terbuka. Radit masih di kamar mandi, jadi ia menyambut sendiri tamu yang datang.
Langkah kaki berdecit halus di lantai marmer. Lalu muncul sosok perempuan paruh baya yang elegan dan berwibawa—Bu Widya.
“Di mana putra saya?”
Rumi langsung tersentak. “Mas Radit lagi mandi, Ma. Mungkin sebentar lagi turun. Eh, silakan duduk, Ma. Aku siapkan teh hangat.”
Selang beberapa menit, Radit muncul dari lorong dengan kaus pendek dan celana panjang santai. Karena memang, Radit tidak ke kantor hari ini. Ia merasa kepalanya sedikit nyeri entah karena apa.
“Mama?” tanyanya heran. “Ada apa pagi-pagi ke sini?”
“Mama cuma mau pastikan kamu baik-baik saja setelah tinggal dengan perempuan miskin ini," jawab sang ibu, menatap sinis ke arah Rumi.
"Ma, Rumi ini istriku." Radit membela. Dia tidak suka jika ada yang menyebut Rumi seperti itu.
"Kalau dia istrimu, maka buatlah dia hamil, Radit. Sudah hampir dua bulan, tapi sama sekali tak ada tanda-tanda. Mama ini sudah tua, Radit. Mama memaksamu menikah, bahkan sampai menjodohkanmu dengan Reva bukan tanpa alasan. Mama menginginkan seorang cucu."
Radit terdiam. Sorot matanya berubah. Ia memandang Rumi sejenak—perempuan yang duduk kaku di kursi dan sama sekali tidak membalasnya tatapannya.
“Mama, urusan anak itu urusan kami berdua. Kami yang tahu waktu terbaiknya.”
“Jangan-jangan ... perempuan miskin ini mandul lagi."
“Sudah, Ma. Aku yang bertanggung jawab. Jangan tekan Rumi.”
Mama Radit menghela napas tajam, lalu berdiri. “Baik. Tapi Mama cuma ingin yang terbaik.”
Setelah sang ibu pergi, Rumi perlahan mengangkat wajahnya. Ia meremat tangannya kuat-kuat. Menyalurkan rasa yang tak bisa ia jelaskan pastinya.
"Jangan pikirkan apa kata Mama. Mama hanya tidak tahu tentang kontrak kita."
Rumi mengangguk. Sudut hatinya sedikit terluka.
Siang itu di ruang tamu, Rumi baru saja selesai meneguk segelas air dingin. Lantaran Radit tidak ke kantor, Rumi pun ikut cuti sehari dari pekerjaannya. Dia hanya ingin memastikan suami kontraknya itu baik-baik saja setelah semalam meracau tak jelas.
Radit duduk santai di sofa, membaca dokumen yang dikirim dari kantor. Suasana rumah cukup tenang. Sampai tiba-tiba suara pintu digedor keras dari luar.
Duk! Duk! Duk!
Radit mengangkat alis. “Kamu nunggu tamu?”
Rumi menggeleng. Tapi wajahnya tiba-tiba pucat begitu mendengar suara teriakan.
“RUMI! WOI, RUMI! BUKA PINTU!”
Radit langsung berdiri. Tapi Rumi lebih dulu berlari ke pintu, membukanya buru-buru—dan di sana berdiri seorang pria paruh baya dengan wajah kasar dan napas memburu, Anwar.
“Apa-apaan ini, Pak?” Rumi berbisik panik.
"Maaf, Bu. Kami sudah menahan Bapak ini dari gerbang. Tapi dia ngamuk-ngamuk ingin masuk," lapor seorang satpam yang terlihat memegangi lengan Anwar, menahannya untuk pergi lebih jauh.
"Nggak apa-apa, Pak. Biar saya urus. Terima kasih," jawab Rumi dan satpam itu pun pergi.
Si bapak langsung melangkah masuk tanpa izin, seolah rumah itu miliknya. “Kamu kira setelah kawin sama orang kaya kamu bisa lepas dariku? HAH?”
"Pak, jangan di sini, Pak. Ada Mas Radit. Malu ...."
Radit berjalan mendekat, matanya menajam. “Pak Anwar?"
“Apa?" jawab pria itu kasar. “Anak ini belum lunasin tanggung jawabnya. Dia hidup seenaknya, tanpa mikirin aku sebagai bapaknya."
Rumi berdiri kaku. Matanya berkaca-kaca. “Pak, aku udah ngirim uang bulan lalu. Apa itu kurang?"
“Itu buat apaan? Hah? Buat bayar utang? Jangan egois kamu, Rumi. Kamu udah jadi istri orang kaya, seharusnya kamu memikirkan aku juga!”
Radit mengepalkan tangan. “Cukup.”
Semua mata menoleh ke Radit.
“Bapak datang tanpa izin, masuk rumah saya tanpa sopan santun, dan bicara seperti tanpa etika. Rumi bukan mesin ATM. Kalau Bapak butuh bantuan, bicaralah baik-baik. Jangan datang ke sini seperti pemalak jalanan.”
Si bapak menatap Radit dengan amarah, tapi lalu mengalihkan pandangannya ke Rumi. “Ingat, ya, Rumi. Karena aku juga, kamu sampai menikah dengan orang kaya. Jangan lupakan itu atau aku akan memberikan pelajaran untukmu."
Lalu, tanpa pamit, pria itu keluar dan membanting pintu di belakangnya.
Rumi masih berdiri membeku, air mata jatuh tanpa suara.
"Maaf, Mas. Bapak udah membuat keributan di sini."
"Jangan nangis. Aku akan urus semuanya."
"Mas Radit mau apa?"
"Apa lagi? Memberikan apa yang bapakmu minta."
Rumi menggeleng kuat, air matanya kembali berjatuhan. "Jangan, Mas. Jangan kasih Bapak uang. Bapak akan semakin larut dalam meja judi dan minuman-minuman haram. Atau, lebih buruk lagi, dia bisa kembali terlilit hutang."
Radit menatapnya dalam, rahangnya mengeras. "Dan kamu akan terus dihantui sepanjang hari?" Suaranya terdengar telak, nyaris menohok. "Aku tahu apa yang Pak Anwar lakukan. Aku tahu dia sering mendatangimu ke sekolah, bahkan menyakitimu seperti waktu itu."
Rumi menunduk, tubuhnya gemetar.
"Selama kita masih terikat kontrak," lanjut Radit, langkahnya mendekat perlahan, "semua masalahmu adalah tanggung jawabku. Mengerti?"
"Tapi ... bukankah dalam perjanjian kontrak dilarang untuk saling mencampuri urusan pribadi?"
Radit berhenti tepat di depannya. Sorot matanya menusuk. Rumi menahan napas, gugup, tangannya mengepal di sisi tubuh.
"Lupakan poin itu," katanya pelan namun tegas. "Mulai hari ini, kamu akan selalu aku lindungi. Entah itu dari keluargaku, keluargamu, atau bahkan dari siapa pun yang mencoba menyakitimu."
Rumi terdiam. Ada gejolak yang aneh di dadanya—takut, lega, dan entah perasaan apa lagi yang sulit ia pahami.
Ia tak tahu, beberapa saat sebelumnya, Radit menerima pesan dari Nauval. Katanya, Reva sempat mendatangi Rumi beberapa hari lalu. Mengancamnya.
Dan dari sanalah semuanya berubah.
Perasaan ingin melindungi itu muncul. Kuat. Mengakar.
Dan sialnya, Radit tidak menyesali hal itu. Sedikit pun tidak.
...****************...
Radit menyandarkan punggungnya ke kursi mobil. Hujan tipis di luar menciptakan irama tenang yang entah kenapa justru membuat pikirannya makin gaduh. Lampu dashboard menyala redup, tapi layar ponselnya terang—menampilkan pesan terakhir dari Nauval.
Jadi kamu beneran mau buka hati ke Rumi, Dit?
Jari Radit mengetuk-ngetuk setir. Tak ada balasan.
Dia mengembuskan napas panjang. Dalam hening, bayangan wajah Rumi muncul jelas di benaknya. Mata gadis itu yang basah, suara gemetar yang menolak, dan bagaimana tubuhnya menegang saat dia mendekat.
“Kenapa aku kayak gini, sih,” gumamnya.
Seharusnya ini hanya kontrak. Seharusnya semua serba jelas. Aturan, peran, dan batas. Tapi sejak kapan batas itu kabur?
Mungkin sejak Rumi tak menjauh saat dia berkata ingin melindungi. Atau sejak dia tahu Reva menemuinya diam-diam dan mengancamnya. Atau mungkin, sejak gadis itu menatapnya dengan takut, tapi juga percaya.
Radit mengusap wajahnya. Frustrasi.
"Apa aku terlalu masuk ke dalam permainan ini?" tanyanya pada diri sendiri.
Dulu, ia berpikir tidak mungkin jatuh cinta lagi. Tapi sejak Rumi hadir—dengan kesederhanaannya, kejujurannya, dan luka yang tak pernah ia tunjukkan terang-terangan—semuanya berubah.
Ponselnya kembali menyala. Kali ini panggilan masuk dari Nauval.
Radit hanya menatap nama itu sebelum mematikan layar.
Tidak. Bukan sekarang.
Biar saja Nauval berpikir ia sedang tenggelam dalam masalah. Karena memang iya.
Masalah yang namanya Rumi.
Masalah yang entah kenapa ... ingin terus ia jaga.