"Ivy nggak sengaja ketemu sama kamu dan Nabilah. Kamu--sabtu kemarin itu--ketemuan kan sama Nabilah di Rainbow Caffee?!"
Sempet ada jeda sebentar, yang akhirnya Matias berbicara juga. "I-iya, t-tapi a-aku ng-nggak ka-kayak yang kamu pikirin. Aku sama Nabilah pun nggak ada hubungan apa-apa. Murni ketemuan sebagai temen. Aku cuman cinta sama kamu, Ke."
Ternyata Kezia masih mau memaafkan Matias. Berlanjutlah kisah cinta mereka. Hanya saja, jalan di hadapan mereka berdua semakin terjal.
Berikutnya, tidak hanya tentang Matias dan Kezia. Ada juga kisah Martin Winter dan Vanessa Rondonuwu. Pun, kisah-kisah lainnya. Kisah yang sama manisnya.
Terima kasih banyak yang sudah menyimak season one RAINY COUPLE di tahun 2020 silam. Kali pertama aku menulis novel di platform.
NOVEL INI PERNAH MELEDAK DI NOVELTOON DI TAHUN 2020 SILAM!
Season 1 Rainy Couple
(https://noveltoon.mobi/id/share/102447)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kapan Menikahi Kezia?
“Matias, Matias,” ujar Juan sambil menggeleng-gelengkan kepala dan menepuk bahu si pelukis muda. “Udah pacaran hampir sepuluh tahun, yah, lo? Kok belum nikah juga?”
Pertanyaan itu dilontarkan dengan nada santai, tapi membuat Matias tersedak sedikit jus alpukat yang baru saja ia seruput. Beby langsung memutar bola matanya, sementara Matias hanya bisa menyeringai kikuk.
“Eh… ya gitu, Bang. Pelan-pelan aja, lah.”
“Pelan-pelan?” Juan menaikkan alis. “Itu Kezia bukan waiting list KPR, Bro. Sepuluh tahun pacaran, lo nunggu apaan lagi?”
Matias menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, lalu tertawa hambar. “Iya juga, sih, Bang. Tapi gue belum ketemu waktu yang pas. Banyak pertimbangannya.”
Juan menyesap lagi espresso-nya. “Kezia Menado, lo Batak?”
“Iya, gitu, Bang. Kenapa?”
Juan bersandar di kursinya, menatap Matias dengan wajah penuh minat, seperti seorang pengacara yang sedang mengejar kesaksian penting. “Keluarga lo udah terima Kezia yang Menado?”
Matias mengangguk cepat. “Udah. Nggak ada masalah sama sekali. Nyokap gue malah suka banget sama Kezia. Katanya Kezia bisa nyambung ngobrol. Kata nyokap, Kezia alim dan cukup religius. Tapi..."
Juan mengangguk-angguk, lalu mencondongkan tubuh. “Tapi?”
Matias menghela napas panjang. “Tapi kakaknya Kezia yang nomor dua belum bisa terima gue.”
“Waduh,” gumam Juan. “Kenapa? Spill out-in aja."
“Namanya Thalia Chrissandra Kaunang,” ucap Matias, pelan tapi jelas. “Tiap Kak Thalia ketemu gue, bawaannya emosi mulu. Nggak pernah senyum, selalu kayak nyari kesalahan.”
“Gara-gara lo Batak?”
Matias mengangkat bahu. “Nggak tahu, Bang. Mungkin iya. Mungkin juga karena gue komikus freelance, bukan profesi jelas kayak yang dia mau buat adiknya. Atau, karena gue lebih muda dari Kezia. Katanya Kezia tuh pantasnya sama yang kerja kantoran, punya penghasilan tetap, ada karier, bukan yang cuma bisanya gambar komik.”
Juan bersiul pelan. “Wah, Kak Thalia ini kayak tokoh antagonis sinetron.”
Beby menyikut suaminya, tapi tertawa juga. “Kak Thalia emang galak, Juan. Aku pernah satu ketemu sama dia, auranya kayak kepala HRD yang baru dapet laporan fraud.”
“Ortunya Kezia?” tanya Juan lagi.
“Udah meninggal dua-duanya,” jawab Matias. Nada suaranya sedikit lebih lembut kali ini. “Ayahnya meninggal waktu Kezia masih SMA, ibunya nyusul kemudian. Sejak itu, Kezia tinggal serumah sama keluarga Kak Thalia.”
“Oh...” Juan mengangguk pelan. “Berarti yang jaga Kezia sekarang kakaknya itu?”
“Yup. Thalia tinggal sama suaminya, terus dua sepupu mereka juga numpang di situ. Si Martin Winter sama Melisa Tabitha Kaunang.”
Juan mendelik. “Eh, buset. Sampe ingat nama lengkapnya. Cinta mati sama Kezia.”
Matias langsung tersipu, mengangkat gelas jus alpukatnya dan meneguk dengan kikuk.
“Udah sepuluh tahun, Bang,” jawabnya akhirnya, setelah menurunkan gelas. “Nama-nama itu udah kayak keluarga sendiri. Kadang gue jadi tahu ulang tahun mereka, hobi mereka, bahkan makanan favorit mereka. Itu karena Kezia cerita semua.”
Beby tersenyum simpul, lalu bertanya pelan, “Terus... lo serius, Yas? Maksudnya... sama Kezia?”
Matias menatap ke arah mural bunga di dinding atas tangga, yang sebagian sudah tertutup rak buku kecil. Senyuman lembut mengembang di wajahnya.
“Serius, Beb. Banget malah. Gue... gue tuh nggak bisa ngebayangin hidup tanpa Kezia. Tapi gue juga nggak mau maksa. Gue ngerti posisinya susah. Apalagi kalau harus berhadapan sama Kak Thalia. Makanya, gue lagi nabung. Gue pengin buktiin, gue bisa stabil, bisa tanggung jawab. Walaupun gue cuma komikus.”
Juan mengangguk, lalu bersandar ke kursinya. “Lo tahu nggak, Yas? Gue dulu juga nggak punya apa-apa waktu nikahin Beby.”
Beby menoleh. “Ehem. Waktu itu kamu lagi bangun usaha kamu, kan? Yang usaha apparel?"
“Ya kerja sih kerja, tapi rumah belum ada, tabungan mepet, dan mobil masih cicilan. Tapi gue nekat. Gue bilang ke Beby, ‘Kalau lo tunggu gue kaya dulu, kita nggak akan nikah-nikah. Tapi kalau lo mau bareng gue dari nol, kita bisa bangun segalanya sama-sama.’”
Matias diam mendengarkan.
“Dan sekarang?” Juan menoleh ke arah istrinya, tersenyum penuh rasa syukur. “Kami bangun Pan Lova ini bareng-bareng. Inisiatifnya emang dari Beby. Tapi ada sumbangan dana dari gue juga. Dari uang bonus, dari kerja keras, dari jenuh dan capek dan ribut juga. Kami jalani sama-sama.”
Beby mengangguk. “Yang penting niatnya jalan. Sisanya kita hadapi satu-satu.”
Matias mengangguk pelan. “Gue ngerti. Dan gue juga percaya sama Kezia. Cuma kadang berat aja kalau niat baik kita ditanggapi dengan curiga dan sinis. Terutama sama kakaknya pacar kita.”
Juan menepuk bahunya lagi. “Lo udah tahan sepuluh tahun. Satu langkah lagi nggak bakal ngerontokin kaki lo, Yas.”
Matias menghela napas panjang, tapi kali ini dengan senyum. “Thanks, Bang, Beb.”
Di saat itu juga, suara langkah kaki dari arah tangga terdengar.
Kezia muncul dengan wajah bingung. “Eh, kalian pada ngobrolin apa sih, serius banget?”
Beby langsung menjawab, setengah bercanda. “Soal pernikahan. Matias katanya mau nikahin lo tahun depan!”
Kezia melotot ke arah Matias. “Serius, Matias?”
Matias hanya nyengir. “Aku tunggu persetujuan ketua HRD yang di rumah kamu dulu."
Kezia mengernyitkan dahi. Ia awalnya bingung. Kadang perempuan itu suka telat mikir. Ia mungkin benar-benar menyangka ada semacam kantor di rumahnya. Padahal maksud Matias, HRD dalam arti konotasi.
"Maksudnya pacar lo itu, kakak lo itu, Kak Thalia. Bukan ketua HRD betulan. Lo kadang suka lemot bin telmi, Zia."
Kezia spontan tertawa.
Semua tertawa. Di tengah tawa itu, ada kehangatan yang tak bisa disangkal. Bahwasanya cinta yang bertahan bukan cuma tentang lamanya waktu, tapi tentang keberanian untuk terus memilih hari demi hari.
"Aku nggak buru-buru minta kamu nikahin. Slow aja, Matias. Nanti pasti ke sana juga."