Winda Hapsari, seorang wanita cantik dan sukses, menjalin hubungan kasih dengan Johan Aditama selama dua tahun.
Sore itu, niatnya untuk memberikan kejutan pada Johan berubah menjadi hancur lebur saat ia memergoki Johan dan Revi berselingkuh di rumah kontrakan teman Johan.
Kejadian tersebut membuka mata Winda akan kepalsuan hubungannya dengan Johan dan Revi yang ternyata selama ini memanfaatkan kebaikannya.
Hancur dan patah hati, Winda bersumpah untuk bangkit dan tidak akan membiarkan pengkhianatan itu menghancurkannya.
Ternyata, takdir berpihak padanya. Ia bertemu dengan seorang laki-laki yang menawarkan pernikahan. Seorang pria yang selama ini tak pernah ia kenal, yang ternyata adalah kakak tiri Johan menawarkan bantuan untuknya membalas dendam.
Pernikahan ini bukan hanya membawa cinta dan kebahagiaan baru dalam hidupnya, tetapi juga menjadi medan pertarungan Winda.
Mampukah Winda meninggalkan luka masa lalunya dan menemukan cinta sejati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Revi menggigit bibir bawahnya, menahan amarah yang hampir meledak. Dengan tangannya yang gemetar ia mengambil ponselnya yang tersimpan di dalam tas selempangnya. Jari-jarinya gemetar saat ia menghubungi nomor pengelola apartemen.
Tersambung. Dengan suara yang bergetar karena emosi, ia menjelaskan situasi yang terjadi.
Tak lama kemudian, dua orang petugas apartemen, dua orang pria mengenakan seragam rapi, dan sebuah berkas di tangan, datang menghampiri nya. Melihat kedatangan mereka, emosi Revi memuncak.
“Kenapa barang-barangku ada di luar?! Dan kenapa pintu kamarku tidak bisa dibuka?!” teriak Revi, suaranya menggema di lorong apartemen yang sepi. Matanya berkilat karena marah. Ujung jarinya menunjuk ke arah tas dan kopernya yang tergeletak bertumpuk bersandar pada dinding di sisi pintu apartemennya.
Salah seorang petugas melangkah maju, berusaha menenangkan Revi dengan nada sopan. “Nona revi, Kami akan menjelaskan semuanya.”
Petugas itu kemudian membuka berkas yang ia bawa. “Berdasarkan data yang kami miliki, unit ini atas nama Nona Winda Kusuma. Dan Nona Kusuma telah menjual kembali apartemen ini kepada pihak developer.”
Kalimat itu seperti pukulan telak bagi Revi. Ia terhuyung mundur, tubuhnya terasa lemas. Dijual? Bagaimana bisa?
“Apa… apa maksud kalian?!” Revi terbata-bata, suaranya hampir tak terdengar. Pikirannya kalut. Ia baru ingat, Winda yang dulu membeli apartemen ini untuknya. Semua berkas pembelian tetap ada pada Winda, dia hanya menempatinya. Lalu sekarang kalau apartemen ini dijual, bagaimana dengan dirinya? Dimana ia akan tinggal? Bagaimana dengan barang-barangnya?
“Maaf, Nona,” petugas itu melanjutkan dengan nada simpati. “Semua barang-barang Nona telah kami keluarkan sesuai prosedur. Sebelumnya Kami telah mencoba menghubungi Nona berkali-kali, tetapi tidak ada respon.”
“Jika Nona ingin menempati kamar ini kembali, Nona bisa menghubungi pihak developer untuk membeli atau bisa juga hanya menyewa.” Petugas yang satunya maju untuk menambahkan.
Emosi Revi kembali meledak. Ia mengabaikan penjelasan petugas dan mulai memaki-maki Winda dengan kata-kata kasar yang terlontar tanpa kendali. Amarah dan rasa frustrasi yang luar biasa menghantamnya.
“Hrraaa…. Kurang ajar kau Winda! Kenapa Kamu melakukan ini semua! Brengsek! Kamu benar-benar keterlaluan. Lihat saja, Aku pasti akan membalas semua ini!” Revi menendang pintu apartemen dengan ujung kakinya.
Dua orang petugas itu hanya bisa saling berpandangan, tak mampu berkata apa-apa.
“Awas kau, Winda …!” Revi kembali berteriak sambil menendang-nendang pintu.
Salah seorang petugas segera menarik tangannya agar menjauh dari pintu. “Mohon untuk tidak membuat keributan, Nona Revi!” bentaknya. Dia tidak mau apa yang dilakukan Revi mengganggu kenyamanan penghuni apartemen lainnya.
“Silakan pergi! Atau jika memang Anda masih ingin tinggal di apartemen ini, mari ikut kami ke kantor untuk melakukan pembayaran dan penandatanganan kontrak.”
Revi melotot geram ke arah dua petugas itu. Dengan marah dia menarik kopernya menghentakkan kaki lalu meninggalkan tempat itu.
Sesampai di luar area apartemen, Revi segera memesan taksi online. Duduk menunggu di dekat pos sekuriti. Sedikit kesal, karena taksi yang ditunggu tiba-tiba cancel, padahal sebelumnya mengatakan sudah berada di dekat lokasi. Terpaksa harus memesan yang lain. Kekesalan bertambah saat taksi itu lama baru datang.
“Kenapa lama sekali? Sebenarnya kau itu butuh uang tidak?” Langsung marah begitu membuka pintu. Marah, karena seolah seluruh dunia sedang mempersulitnya.
“Nona ingin ingin jalan tidak? Saya tidak keberatan kalau Anda ingin turun lagi!”
Revi terdiam. Dia kaget karena sopir taksi berani membantah ucapannya. Dia harus menahan diri, jangan sampai sopir taksi memaksanya untuk turun. Dia harus segera pergi ke tempat Johan. Itulah satu-satunya tempat yang bisa dia tuju saat ini.
*
*
*
*
Detik demi detik berlalu, mengubah hari menjadi pagi. Di atas ranjang di sebuah kamar mewah, tanpa seorang wanita menggeliat meregangkan otot-otot tangannya. Kelopak mata yang terpejam mulai bergerak sedikit demi sedikit, hingga akhirnya terbuka sempurna.
Menghentikan gerakan tubuhnya ketika menyadari dirinya tak hanya sendirian di atas tempat tidur. Ada makhluk tampan di sampingnya ketika ia pertama kali membuka mata. Diamatinya wajah itu penuh kagum, rahang tegas, hidung mancung, alis tebal, bibir penuh dan terlihat… seksi. Sungguh pahatan yang sempurna. Dan pemilik wajah tampan itu, adalah suaminya.
Winda memegang dadanya yang berdegup kencang. Wajahnya bersemu merah ketika si pemilik wajah meraih telapak tangannya dan menempelkan pada wajah yang tadi dia kagumi.
“Kamu boleh menyentuhnya kalau suka. Tidak perlu mencuri pandang diam-diam.”
Wajah Winda semakin merah, mata pria ini masih terpejam, dari mana tahu kalau dia sedang memandangnya. Dia seperti pencuri yang terciduk.
“Apa sih?” Winda menarik tangannya yang masih bertengger di atas pipi Ardan. Ardan tergelak singkat lalu kembali memejamkan matanya. Bergegas Winda menyibak selimut lalu segera turun dari ranjang. Mencuci muka sebentar gosok gigi lalu keluar dari kamar.
Sesampai di lantai bawah, dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Rumah ini begitu luas. Dia ingin pergi ke dapur, Tetapi arah dapur ke sebelah mana? “Aku tidak akan tersesat kan?”
Mengandalkan ketajaman insting, Winda berjalan mengikuti aroma harum masakan yang menyapa hidungnya. Menyesali diri kenapa kemarin ketika datang tidak meminta Ardan untuk menemaninya melihat-lihat rumah ini. Saat makan pun semua sudah terhidang di meja dan dia hanya tinggal duduk menikmati saja.
“Nyonya?” Kepala pelayan Joe tersentak melihat kedatangan Winda. Bahkan para pelayan lain yang mendengar nama Nyonya disebut ikut menghentikan gerakannya.
“Selamat pagi, Nyonya. Apa ada yang Anda butuhkan?”
“Ahh, tidak ada, Paman.” Winda lalu melangkah ke arah kompor. “Kalian masak apa? Apa yang bisa kubantu?”
“Tidak…!”
“Tidak…!”
Para pelayan menjawab serempak, lalu secara serempak pula menutup mulut mereka, menyadari mulut mereka telah lancang berbicara dengan nada keras.
Secara spontan Winda menghentikan gerakan tangannya yang hendak meraih spatula di atas wajan. Apakah dirinya terlalu lancang? Begitu pikirnya.
“Emm, maaf, Nyonya. Maksud kami, jika kami membiarkan Anda bekerja di dapur, Tuan pasti akan menghukum kami.” Joe mendekat dan menunduk hormat menjelaskan situasi yang mereka takutkan.
Oh begitu rupanya? Winda memahami situasi mereka. Tetapi dia juga bukan orang yang biasa diam saja. Memasak sendiri adalah kegemarannya sejak dulu. Bahkan kalau di rumah orang tuanya, dia selalu berkolaborasi dengan mamanya membuat makanan yang mereka inginkan. Walaupun ada banyak pembantu di rumah mereka, tetapi terkadang mereka juga membuat makanan sendiri.
“Kalian tenang saja, suamiku tidak akan marah.”
“Kami mohon, Nyonya. Kami masih ingin bekerja di sini.” Seorang pelayan maju dengan tubuh dan suara bergetar. Keringat dingin bahkan telah membanjiri pelipisnya.
Winda mengerutkan kening lalu menatap ke arah mereka satu persatu yang tampak berdiri dengan sikap tegang. Kepala tertunduk dan tangan masing-masing yang sedang meremas apron. Merasa tak tega sekaligus kesal, akhirnya Winda memilih pergi dari sana, dan berjalan kembali menuju kamarnya.
“Kenapa wajahmu jelek begitu?” Ardan dengan kedua matanya yang masih terpejam bertanya saat Winda menghempaskan tubuhnya duduk di tepi ranjang. “Apa mereka mengusirmu dari dapur?”
Winda menoleh dengan mata mendelik kesal. Apalagi ketika telinganya mendengar pria itu tertawa penuh kepuasan, seolah sedang mengejek dirinya. Wanita itu kembali menghadap ke depan melipat kedua tangannya di depan dada.
***
“Apa kau tidak ingin resign? Kau hanya perlu duduk di rumah dan tak perlu bekerja kalau kau mau. Aku masih sanggup memberimu makan.”
Kini mereka berdua telah duduk di ruang makan, menyantap hidangan pagi yang telah disiapkan oleh para koki.
“Aku masih mau bekerja. Memangnya mau ngapain kalau aku tidak bekerja. Aku tidak terbiasa duduk diam.” Winda menolak usulan suaminya.
“Terserah kau saja.” Ardan tak ingin membatasi pergerakan istrinya. "Kita berangkat bersama. Aku akan mengantarmu lebih dulu."
nama fans nya udah bisa di ganti tuhh..kali aja mau di ganti ArWa🤭 Ardan dan winda
mana mau winda mungut sampah yg sudah dibuang/Right Bah!/
🤔
kalo tuan bagaskara dan nyonya.. berasa terpisah