Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Kembali Kerja
Pagi itu, aroma kaldu dan rempah khas masakan Rusia memenuhi dapur apartemen. Karenin berdiri di depan kompor dengan wajah serius, mempersiapkan makanan khusus untuk Shanaira. Ia telah mencari tahu menu yang cocok untuk ibu hamil—kaya gizi, ringan di perut, dan tentunya lezat. Hari ini, ia menyiapkan bubur gandum lembut dengan topping potongan buah segar dan sedikit madu, serta roti panggang isi keju rendah garam.
Saat langkah kaki terdengar dari arah kamar, Karenin menoleh dan mendapati Shanaira muncul dengan pakaian rapi. Blazer krem, rok span, rambut disisir rapi. Tampaknya ia bersiap untuk bekerja.
“Kamu sudah bangun,” ujar Karenin ringan, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. “Aku buat sarapan khusus buat kamu. Cocok untuk ibu hamil—aku cari di internet semalam.”
Shanaira tampak sedikit terkejut, tapi ia melangkah mendekat dan duduk di kursi. “Terima kasih,” ucapnya singkat namun tulus.
“Kamu kerja di mana?” tanya Karenin sambil menyajikan makanan.
“Hotel Renault, bagian marketing,” jawab Shanaira tanpa banyak ekspresi. “Hari ini mulai masuk lagi.”
Alis Karenin sedikit terangkat. “Hotel Renault?”
Shanaira mengangguk. “Udah dari dulu, sebenarnya. Aku kerja di sana sejak sebelum... yah, sebelum semua ini.”
“Oh.” Karenin tak bertanya lebih jauh. Ia tahu, ada batasan yang tak seharusnya disentuh terlalu cepat. “Karena kamu kerja di situ kita bisa berangkat bersama."
Shanaira tersenyum tipis. “Ya.”
“Nah, sebelum itu, kamu harus sarapan dulu.” Karenin menunjuk mangkuk yang baru saja ia siapkan. “Aku masak ini khusus buat kamu. Aman untuk bayi katanya.”
Shanaira terdiam sejenak, lalu berjalan pelan menghampiri meja. Ia duduk dan mulai menyendok perlahan.
“Terima kasih,” ucapnya pelan, tulus.
Karenin hanya mengangguk sambil kembali ke dapur, pura-pura sibuk membersihkan alat masak. Tapi dari ujung matanya, ia sempat mencuri pandang ke arah perempuan yang kini jadi istrinya itu.
*****
Pagi itu, suasana kantor bagian marketing Hotel Renault terasa hangat dengan obrolan santai para staf yang baru datang. Aroma kopi dari dispenser menyatu dengan suara ketikan keyboard dan derai tawa kecil dari sudut ruangan.
“Aku masih nggak percaya deh, kemarin itu yang datang ke sini istrinya Pak Ethan,” ujar seorang staf wanita dengan nada penuh rasa ingin tahu. “Claira, kan? Adik tirinya sendiri...”
“Iya, iya! Dan dulu yang semua orang kira bakal jadi istri Pak Ethan itu si Shanaira, kan?” sahut rekannya sambil menyeruput kopi. “Tapi malah sekarang, dia menikah sama adik tirinya sendiri. Kayak drama banget nggak sih?”
“Banget! Dulu mereka kelihatan cocok banget. Eh, malah gitu ending-nya.”
Tepat saat itu, Shanaira melangkah masuk ke lorong kantor. Langkahnya pelan namun mantap, sepatu haknya beradu lembut dengan lantai. Ia mendengar jelas setiap kata yang diucapkan, namun tetap memasang wajah datar. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Ia hanya melewati mereka dengan kepala tegak, seolah kata-kata itu tidak menyentuh hatinya.
Namun di balik tatapan tenangnya, ada semburat luka lama yang tersibak kembali.
Seorang karyawan melihat Shanaira datang langsung mengingatkan dan mereka langsung diam dan kembali ke tempat duduk masing-masing.
Shanaira baru saja meletakkan tas tangan di sisi meja dan menyalakan komputer saat sebuah suara terdengar dari ruangan kaca di ujung lorong.
“Shanaira, bisa ke ruangan saya sebentar?” panggil suara pria tegas namun ramah—Pak Darmin, atasannya di bagian marketing.
Shanaira segera berdiri, merapikan sedikit blazer-nya, dan melangkah menuju ruangan itu. Ia mengetuk pelan, lalu membuka pintu setelah dipersilakan masuk.
“Silakan duduk,” ujar Pak Darmin sambil menatap layar laptopnya sejenak, lalu menutupnya. “Saya ingin membicarakan soal proyek promosi untuk Valentine bulan depan. Kamu pasti tahu itu salah satu momen besar bagi hotel.”
Shanaira mengangguk tenang. “Tentu, Pak. Apakah saya akan dilibatkan secara langsung?”
“Bukan cuma dilibatkan,” ucapnya, kali ini dengan tatapan serius, “Saya ingin kamu yang memimpin proyek ini. Kamu sudah cukup lama di sini, kamu tahu gaya promosi hotel kita, dan... saya percaya kamu bisa membawa sentuhan yang segar untuk kampanye tahun ini.”
Shanaira sempat terdiam. Memimpin proyek sebesar itu bukan hal kecil, apalagi dengan kondisinya sekarang. Tapi ia tak ingin terlihat ragu.
“Saya siap, Pak,” ujarnya mantap. “Saya akan mulai menyusun konsep awalnya.”
Pak Darmin tersenyum. “Bagus. Kita butuh sesuatu yang romantis, elegan, dan bisa menarik tamu dari kalangan muda dan keluarga. Kamu boleh susun tim kecil kalau butuh bantuan. Presentasi konsep awal bisa kamu ajukan akhir minggu ini.”
“Baik, Pak. Terima kasih atas kepercayaannya.”
Saat ia keluar dari ruangan itu, langkah Shanaira terasa lebih ringan. Fokus pada pekerjaan seolah menjadi pelarian yang ia butuhkan, dan proyek ini—tak peduli betapa ironisnya tema valentine di tengah kisah cintanya sendiri—akan ia tangani sebaik mungkin.
*****
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Ruang meeting kecil itu mulai terasa pengap, dan suara perut lapar mulai terdengar dari Reza yang buru-buru menutupnya dengan batuk palsu. Dina tertawa kecil.
“Kayaknya kita udah terlalu semangat, sampai lupa makan,” ucap Dina sambil melihat jam tangannya. “Gimana kalau kita makan siang bareng?”
Shanaira mengangguk, baru menyadari kalau perutnya pun sudah mulai protes. “Boleh juga. Mau ke mana?”
“Ada restoran Jepang baru buka, deket sini. Katanya menunya autentik banget, dan interiornya kece. Kita bisa sekalian refreshing sedikit,” kata Dina dengan antusias.
Reza langsung setuju. “Itu yang di samping coffee shop baru, kan? Katanya sushinya enak.”
Shanaira sempat ragu. Bukan karena tempatnya, tapi karena pikirannya sempat melayang ke restoran Rusia tempat Karenin bekerja, dan yang juga kini miliknya dalam sebuah ikatan takdir yang masih sulit ia cerna.
Tapi kemudian ia menepis pikiran itu. “Oke, aku ikut,” ujarnya sambil menutup laptop.
Mereka pun beranjak keluar bersama, menyusuri lorong hotel menuju restoran Jepang yang baru itu. Di sepanjang jalan, obrolan ringan terus mengalir. Untuk sesaat, Shanaira merasa hidupnya kembali ringan. Tidak seperti seorang istri baru atau calon ibu. Tapi hanya seorang perempuan muda yang kembali bekerja dan mengusahakan keseimbangan hidupnya sendiri.
Restoran sushi itu tampak elegan dengan nuansa kayu hangat dan dekorasi sakura yang menenangkan. Shanaira dan rekan-rekannya duduk di meja dekat jendela, membiarkan cahaya matahari menyusup lembut ke dalam ruang makan.
Pelayan menyodorkan menu, dan mereka mulai berdiskusi soal pesanan.
“Gimana kalau platter sushi aja biar bisa sharing?” ujar Reza.
“Setuju. Tapi jangan yang mentah semua ya, yang matang juga,” tambah Dina sambil melirik ke arah Shanaira. “Shai, kamu oke aja kan?”
Shanaira mengangguk pelan. “Yang matang aja ya… yang mentah aku skip.”
Beberapa menit kemudian, makanan datang. Aromanya menggiurkan, warna-warni sushi tersusun rapi di atas nampan kayu panjang. Namun, baru saja sumpit menyentuh potongan tamago sushi di hadapannya, Shanaira tiba-tiba merasakan mual yang datang begitu cepat dan kuat.
Ia menutup mulutnya dan buru-buru berdiri, membuat teman-temannya terkejut.
“Shai? Kamu kenapa?” tanya Dina khawatir.
“Aku… ke kamar mandi sebentar,” gumamnya sebelum segera melangkah cepat keluar dari area makan, meninggalkan mereka yang saling berpandangan bingung.
Reza mengerutkan alis. “Dia sakit ya? Dari pagi tadi kelihatan agak pucat.”
“Kayaknya,” sahut Dina pelan, menatap arah Shanaira menghilang.
Tak satu pun dari mereka menyadari bahwa bukan sekadar mual biasa yang Shanaira alami—melainkan mual khas seorang calon ibu. Sebuah rahasia yang belum ia bagi pada siapa pun di kantor itu.
shanaria biar ketemu bapak dari adek bayi yang ada diperutnya 😌
baca pelan2 ya sambil rebahan 🤭
salam kenal dari 'aku akan mencintaimu suamiku,' jangan lupa mampir 🤗
jangan lupa mampir jg di Menaklukan hati mertua mksh