Nayla Arensia hanyalah gadis biasa di kota Valmora hingga suatu malam, dua pria berpakaian hitam datang mengetuk pintunya. Mereka bukan polisi, bukan tamu. Mereka adalah utusan Adrian Valente, bos mafia paling kejam di kota itu.
Ayah Nayla kabur membawa hutang seratus ribu euro. Sebagai gantinya, Nayla harus tinggal di rumah sang mafia... sebagai jaminan.
Namun Adrian bukan pria biasa. Tatapannya dingin, kata-katanya tajam, dan masa lalunya gelap. Tapi jauh di balik dinginnya, tersembunyi luka yang belum sembuh dan Nayla perlahan menjadi kunci untuk membuka sisi manusiawinya.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari ancaman dan rasa takut?
Atau justru Nayla akan hancur sebelum sempat menyentuh hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bakwanmanis#23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Secercah Harapan
Langit pagi di kediaman Nayla memancarkan semburat jingga yang hangat, seolah menyambut keteguhan hatinya yang baru saja pulang dari wilayah selatan. Udara masih menyimpan aroma debu pertempuran dan keringat perjuangan, namun bagi Nayla, ini hanya satu bab dari banyak kisah yang belum selesai.
Di kantor pusat organisasi mafia yang kini dipimpinnya, deretan mobil mewah dan sepeda motor klasik berjejer rapi. Para penjaga berdiri tegak, memberikan hormat ketika Nayla melangkah masuk, dengan langkah yang mencerminkan wibawa dan luka yang tersembunyi.
Hari itu adalah hari penerimaan anggota baru. Gedung kantor tampak lebih hidup daripada biasanya. Suara tawa, gugup, dan rasa ingin tahu bercampur menjadi satu. Anak-anak muda dari berbagai wilayah datang, sebagian karena ambisi, sebagian karena ingin berlindung dalam kekuatan organisasi yang kini dikenal sebagai kekuatan mafia global.
Nayla menaiki tangga menuju lantai dua, tempat ia biasa menyendiri dan mengamati keadaan. Saat ia melintasi balkon dalam gedung dan menatap ke aula utama di bawah, matanya tiba-tiba terpaku pada seorang pemuda berjaket hitam, berdiri dengan postur yang sangat familiar. Gerakan bahunya, cara dia memegang berkas, bahkan sorot matanya yang mengawasi sekeliling dengan waspada namun tenang, membuat dada Nayla sesak.
Dia mengerjapkan mata, mencoba menepis bayang-bayang masa lalu. Namun ketika pemuda itu menoleh sedikit, dari sudut pandang Nayla, wajahnya muncul... begitu mirip dengan seseorang yang sudah lama meninggalkannya Adrian.
"Adrian...?" gumam Nayla nyaris tanpa suara. Napasnya tercekat.
Kepalanya berputar, berpikir cepat. Tidak mungkin. Adrian sudah mati. Dia sendiri yang melihat jenazahnya, meski tidak sempat mengucap selamat tinggal. Tapi pria itu… bahkan caranya berdiri terlalu identik.
Nayla segera menuruni tangga, langkahnya cepat namun tetap tenang agar tidak menimbulkan kegaduhan. Ketika ia sampai ke lantai dasar, pria itu telah menghilang dari tempat tadi. Dengan mata tajam, ia menyapu seluruh ruangan. Wajah-wajah baru menatapnya dengan kagum, tapi Nayla tidak peduli. Matanya hanya mencari satu sosok.
“Ada yang aneh?” tanya Reza, salah satu orang kepercayaannya yang menemani peninjauan hari itu.
“Tidak... mungkin hanya bayangan masa lalu,” jawab Nayla sambil menahan detak jantung yang menggila.
Namun pikirannya terus mengulang kejadian itu. Wajah itu… tidak bisa ditampik. Jika memang bukan Adrian, maka siapa dia? Kenapa bisa semirip itu?
Sorenya, Nayla memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh. Ia memanggil tim verifikasi data untuk semua anggota baru. Ternyata nama pria itu terdaftar sebagai Rian Satriyo, berasal dari wilayah utara, dan baru mendaftar pagi itu dengan dokumen yang sangat lengkap dan valid.
Namun, semakin Nayla membaca, semakin tidak masuk akal. Tanggal lahirnya persis dengan Adrian. Golongan darahnya pun sama. Bahkan bekas luka kecil di jari telunjuk kiri yang seharusnya hanya dimiliki Adrian terlihat jelas di foto identifikasi.
“Aku butuh rekaman CCTV hari ini. Dari semua sudut,” perintah Nayla. Suaranya tegas, tapi ada getar yang tidak bisa disembunyikan.
Beberapa jam kemudian, Nayla menatap layar monitor dengan penuh emosi. Gerakan tubuh, senyum singkat, cara memutar pena di antara jari semuanya terlalu akurat.
Pikirannya melayang kembali ke hari ketika jenazah Adrian ditemukan. Hanya sedikit yang bisa dikenali, wajahnya rusak karena luka bakar sebagian. Saat itu, Nayla terlalu larut dalam kesedihan dan kemarahan untuk benar-benar mempertanyakan kemungkinan lain.
Malam harinya, Nayla duduk sendirian di ruang kerjanya. Secangkir teh tak tersentuh, dan laporan-laporan penting dibiarkan terbuka. Yang ada dalam pikirannya hanya satu hal jika itu benar Adrian, mengapa dia menyamar? Mengapa dia tidak langsung datang padanya? Apa yang ia sembunyikan?
Tapi satu hal yang pasti jika Adrian masih hidup, maka semuanya belum berakhir.
Keesokan paginya, Nayla menyiapkan dirinya lebih awal dari biasanya. Hari ini, ia tidak hanya akan menjadi pemimpin, tapi juga penyelidik. Ia ingin menghadap Rian Satriyo secara langsung. Ia ingin melihat mata itu dari dekat, mata yang pernah mencintainya, dan mungkin kini menyembunyikan rahasia yang lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan.
Saat melangkah menuju ruang pelatihan anggota baru, ia membisikkan dalam hatinya, “Jika kamu benar-benar Adrian… maka bersiaplah. Aku akan memecahkan misterimu. Bahkan jika harus membongkar masa lalu yang kita kubur bersama.”
Langkahnya mantap, dan untuk pertama kalinya setelah dua tahun... Nayla merasa jantungnya kembali berdebar karena harapan, bukan hanya luka.