NovelToon NovelToon
Memiliki Bayi Bersama Pria Yang Kubenci

Memiliki Bayi Bersama Pria Yang Kubenci

Status: tamat
Genre:Tamat / Nikahmuda / Single Mom / Nikah Kontrak / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Jenar dan Gena bertemu di Pantai Pangandaran. Mereka sedang terluka hatinya dan saling menyembuhkan satu sama lain. Namun di hari terakhir Gena mendengar pembicaraan Jenar dan sahabatnya di telepon. Jenar mengatakan bahwa Ia hany mengisi hatinya dan tidak menganggap serius. Gena sakit hati karena Ia menyukai Jenar. Pergi tanpa mengatakan apapun. Jenar merasa juga dibodohi Gena. Lalu memang takdir tak bisa ditolak, Kakak mereka jodoh satu sama lain dan akan menikah mereka diperkenalkan sebulan sebelum pernikahan sebagai calon ipar. Walaupun saling membenci, mereka tahu bahwa ini demi kebahagian Kakak yang mereka sayangi. Berpura-pura tidak saling mengenal. Tanpa berkata apapun. Sembilan bulan kemudian saat musibah terjadi, saat Kakak mereka kecelakaan dan meninggalkan seorang bayi. Mereka mau tidak mau harus bersama, mengurus keponakan mereka. Dan saat itulah cinta mereka bersemi kembali. Apakah ini sebuah takdir dengan akhir bahagia atau hanya luka lama yang terbuka lagi? -You Never Know What Happen Next-

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 - Ide Gila

“Bagaimana kalau kita mencari orang tua asuh untuk Jihan?”

Sederhana, tapi ide konyol itu membuat Gena tercengang. Wajahnya berubah kesal dalam hitungan detik. Lelaki itu tak habis pikir, kenapa Jenar menawarkan ide gila tersebut? Apa gadis itu sudah tidak mau merawat Jihan bersama-sama dengannya?

“Kamu bercanda, kan?” Hanya itu respon Gena. Ia jauhkan tangannya dari Jenar hingga membuat gadis itu menegakkan kepala dari bahunya.

“Nggak, aku serius.”

“Jadi maksud kamu, kamu udah nggak mau ngerawat Jihan? Kamu mau kasih dia ke orang lain?”

Jenar cukup terkejut mendengar tuduhan Gena. Padahal ia hanya memberikan solusi karena tahu mereka sama-sama sibuk mengurus pekerjaan, ditambah status mereka yang masih jomblo dan tidak memungkinkan tinggal satu atap dalam waktu yang lama.

“Ge, aku nggak bermaksud gitu,” sanggah Jenar. “Aku cuma kasihan sama Jihan diurus sama dua orang yang enggak berpengalaman kayak kita. Kamu nggak kasihan?”

“Kamu kasihan sama Jihan atau nggak mau direpotin? Semuanya jelas, Je. Aku bilang, aku bakal urus Jihan. Terus gunanya aku di sini apa?”

“Gena, aku—“

“Kalau kamu nggak mau ngerawat dia, bilang. Arah omongan kamu tuh ke sana!”

Jenar merasa sakit hati dituduh seperti itu. Padahal maksudnya bukan begitu. Jenar tidak pernah berpikiran tidak mau merawat Jihan. Duh, kenapa lelaki ini main tarik kesimpulan sendiri?!

“Kamu kebiasaan narik kesimpulan sendiri. Semuanya sesuai mau kamu aja. Gak pernah dengerin orang lain berpendapat!” sembur Jenar.

Gena terdiam dengan bahu naik turun. Maniknya menatap Jenar tajam. Ya, itulah kelemahan Gena. Suka main tarik kesimpulan sendiri sesuai kemauannya. Contoh besarnya yang terjadi di pantai Pangandaran waktu itu. Gena pergi sebelum meminta penjelasan pada Jenar dan membenci gadis itu tanpa sebab.

“Sekarang terserah kamu, deh. Kalau kamu nggak setuju ya nggak masalah. Kamu pikir cuma kamu yang sayang sama Jihan? Aku juga. Jangan karena aku belum biasa urus bayi kamu mikirnya ke sana,” kata Jenar dengan mata berkaca-kaca.

Kini sorot mata Gena melunak, ingin membujuk Jenar, ia malah gengsi. Lagian, apa yang mau dibujuk? Bagi Gena, ia tetap benar di sini. Jenar yang terlalu egois karena mementingkan diri sendiri, pikirnya.

Jenar berdiri dari dudukannya, berniat meninggalkan sofa. Buru-buru Gena tangkap pergelangan tangannya sebelum gadis itu hengkang dari hadapannya.

“Mau ke mana?”

Jenar menjawab pelan. “Siap-siap ke kantor. Mau cek pekerjaan yang terbengkalai. Kamu mau halangin aku?”

Perlahan, cekalan Gena mengendur. Ia lepas tangan Jenar seraya mengucapkan. “Ya, silakan.”

Tepat setelah mengatakan itu, Jenar kabur ke kamar. Gena memandangi kepergian gadis itu sampai akhirnya menghilang di balik pintu. Lelaki itu mencengkram rambutnya frustrasi. Pikirannya terasa berat saat ini. Masalah kantor, masalah Jihan, dan sekarang masalah dengan Jenar. Selalu saja mereka bertengkar untuk hal sepele. Gena merasa dirinya ikut kekanakan gara-gara berdebat dengan Jenar yang usianya jauh di bawahnya.

“Dia selalu begitu. Nggak pernah berubah,” celetuk Gena.

Jenar tidak berbohong dengan mengatakan dirinya pergi ke kantor. Sejujurnya, belakangan ini para karyawan banyak mengeluh tentang permasalahan perusahaan sejak Leknor meninggal. Satu persatu klien pindah ke perusahaan lain karena tidak lagi memercayai perusahaan mereka. Mereka hanya percaya dengan Leknor. Maka, kalau Leknor meninggal, banyak pula yang pindah haluan.

Setidaknya itulah salah satu masalah yang Jenar urus saat ini. Belum lagi omset perusahaan yang menurun, para karyawan yang protes karena upah mereka terlambat diturunkan. Semua itu sekali meledak membuat kepala Jenar terasa hendak pecah.

Jenar sadar dirinya tidak bisa sepenuhnya bekerja. Ada Jihan di hidupnya yang harus ia urus. Jenar mengerti hal itu. Maksudnya mencari orang tua asuh semata karena ingin yang terbaik untuk Jihan. Tapi Gena tidak mengerti kegelisahannya. Jenar sedih, ia jadi tidak fokus melakukan apa pun sejak tadi.

Apa iya gue keterlaluan? Gena kenapa, sih, ngambil kesimpulan sesuai pikirannya sendiri?

“Permisi, Bu. Pak Alex sudah kembali ke kantor.”

Ucapan Megan, sekretaris Leknor yang kini otomatis menjadi sekretarisnya membuat lamunan Jenar terhenti. Gadis itu mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Barulah setelahnya ia pergi ke ruangan kerja Alex.

Alex, lelaki itu adalah rekan kerja Leknor. Mereka dulunya mendirikan perusahaan ini berdua. Hanya saja, Leknor yang lebih banyak menanamkan modal. Jadi Leknor lah yang berhak menjadi direktur utama perusahaan ini.

Dua tahun belakangan, perusahaan mereka berkembang pesat. Akhirnya Alex diberi kepercayaan oleh Leknor untuk menjadi direktur di kantor cabang perusahaan mereka yang saat ini masih dalam proses pembangunan. Untuk itu Alex bolak-balik ke lokasi untuk meninjau sejauh mana pembangunan tersebut. Jenar berniat bicara hal serius dengan Alex perihal kekosongan jabatan. Dirinya sudah mengajukan cuti tiga bulan. Jadi, tidak mungkin Jenar bisa terus-terusan berangkat ke kantor setiap hari. Jihan masih sangat kecil untuk ditinggalkan dan dititip ke sembarang orang.

Sesampainya di ruangan Alex, Jenar langsung menceritakan semua permasalahannya pada Alex, berharap Alex bisa mengerti posisinya yang menjadi ibu sambung Jihan saat ini.

“Jadi mau kamu apa, Je? Kamu mau tetap cuti? Atau mengundurkan diri?”

Jenar menggeleng, “Bukan, Mas. Aku cuma minta kamu sementara gantiin posisi Mas Leknor dulu. Aku nggak bisa handle semuanya sekarang. Baby masih kecil. Cuma aku yang dia punya di dunia ini. Aku Tantenya.”

Alex berdeham seraya merapikan kerah kemejanya. “Kalau itu saya juga tahu, Je. Tapi, bukan berarti kamu mencampur adukkan masalah perusahaan dengan pribadi. Aku nggak bisa urus semuanya sendiri. Aku bakal jadi direktur di cabang perusahaan yang baru. Itu pun sebulan lagi perkiraan kantornya dibuka. Banyak berkas yang harus aku persiapkan. Belum lagi masalah promosi. Semua ini nggak segampang yang kamu pikir.”

“Aku nggak menggampangkan sesuatu, Mas. Aku cuma minta tolong.”

“Tetap nggak bisa, Je. Aku nggak bisa mimpin dua perusahaan sekaligus. Perusahaan baru itu hasil kerja kerasku sendiri. Aku mau mengembangkan potensi diri di sana. Karena kantor ini punya Leknor. Semua visi misi di sini, dominan menggunakan ide-ide Leknor. Aku juga punya visi dan misi sendiri.”

Jenar mengembuskan napas pasrah. Tampaknya tidak ada jalan lain selain ia tetap datang ke sini memantau pekerjaan karyawan. Padahal maksud Jenar, ia ingin mengambil cuti dengan tidak datang ke kantor ini selama masa cuti berlangsung. Nyatanya, memang benar urusan pekerjaan tidak bisa dicampur dengan urusan pribadi.

“Atau .... kenapa kamu nggak menikah aja, Je? Dengan begitu bisa mengasuh anaknya Mas kamu bersama-sama kan?”

Jenar terbatuk mendengarnya. Menikah? Ya bisa aja sih. Tapi kan calon aja Jenar enggak punya. Memang siapa yang mau menikahi wanita beranak satu sepertinya? Ah, Jenar merasa jadi janda tanpa harus menikah....

Jenar pulang ke rumah, dan ternyata rumah sedang sepi. Ia langsung menghubungi Gena dan menanyakan di mana Jihan. Ternyata jawabannya—

Aku lagi ke kafe sebentar. Aku bawa Jihan, ya.

Ia menghela napas panjang membaca chat yang dikirimkan Gena itu. Benar dugaannya, kan? Gena memiliki kesibukan tersendiri yang juga tidak bisa ditinggalkan.

Akhirnya mereka main balas-balasan pesan—

Jenar: Kamu bisa mengurus dia di situ? Yakin dia nggak rewel?

Gena: Dia anteng sama aku. Jangan khawatir. Atau kamu aja yang asuh? Mau kamu bawa ke kantor?

Jenar: ENGGAK!

Jenar menyimpan kembali ponselnya. Ia tidak memberitahu jika sekarang ia sudah sampai di rumah. Minimal hari ini saja ia bisa me time tanpa ada Jihan di sisinya. Bukannya jahat. Jenar juga butuh menghibur dirinya sendiri.

Bertepatan dengan itu, ponsel Jenar kembali berdering. Kali ini buka dari Gena, melainkan Hana.

Sibuk nggak lo? Ketemuan yuk? Gue kangen nongkrong sama lo.

Awalnya Jenar ingin menolak. Tapi, mengingat dirinya juga kangen pada Hana, maka akhirnya Jenar menerima tawaran itu.

Oke. Kita ketemuan di mana?

Dan setelahnya Hana mengirimkan share location.

Jenar kembali pergi dari rumah menuju alamat Kafe yang Hana kirimkan padanya. Maaf untuk Gena. Jenar tidak bermaksud melalaikan tugasnya merawat Jihan. Hanya sekali saja, kok. Tidak akan sering-sering.

“Jadi lo ngasuh Jihan sama Jenar, cewek yang udah jadiin lo pelampiasan itu?”

Di kedai kopi, Gena curhat pada Fadlan setelah pekerjaan mereka beres. Sebagai informasi, Fadlan untuk sementara waktu yang mengurus seluruh urusan pekerjaan. Beruntung Gena dan Fadlan sudah dekat dari lama. Jadi mereka bisa saling bahu membahu. Gena juga tidak sungkan minta tolong karena selama ini Fadlan merupakan tangan kanannya. Meski sempat mereka bertikai dulunya karena salah paham.

Jihan berada di gendongan Fadlan. Lelaki itu merupakan duda anak satu, jadi, selain curhat urusan pekerjaan, Gena juga menjadikannya tempat bertanya tentang urusan mengasuh anak.

“Ya gitu. Gak ada pilihan lain selain tinggal serumah. Jenar kesusahan ngerawat Jihan sendirian. Jadi gue mutusin untuk tinggal bareng dia.”

Fadlan menjawab, “Lo nggak baper kan?”

“So... what? Baper?” Gena mengulangi perkataan Fadlan.

“Ya. Dia pernah nyakitin lo, dan sekarang kalian tinggal bareng. Apa lo nggak baper sama dia?”

Gena dengan cepat menggeleng. “Ya enggak lah. Gue ke dia murni sebagai rasa tanggung jawab ke Jihan. Kami udah jadi ipar sekarang. Cuma kami orang tua asuh yang Jihan punya.”

“Ya bagus, deh. Gue cuma mau ingatin dulu dia gimana ke lo. Jangan sampai lo jatuh ke lubang yang sama.”

Gena terdiam. Kejadian di Pantai Pangandaran waktu itu berputar di kepala. Walau mengaku tidak ada rasa, tapi hati Gena selalu sakit mengingat peristiwa itu. Apalagi saat melihat kebersamaan Jenar dan Hanif tadi.

“Hah? Kalian tinggal berdua?!”

Jeritan Hana membuat Jenar memukul tangan sahabatnya itu. Ia malu karna kini seluruh atensi pengunjung kafe tertuju pada mereka.

“Lo kalau ngomong pelanin suara, dong. Gue yang malu!”

Hana terkekeh. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. “Sorry, sorry... gue kelepasan. Habisnya gue kaget kenapa kalian bisa tinggal serumah? Apa nggak diburu warga?”

“Ya gue ada alasan kuat. Lagian, kami itu ipar. Wajar-wajar aja tinggal serumah. Apalagi ada Jihan di antara kami. Mudah-mudahan warga komplek rumah gue bisa ngerti.”

“Mudah-mudahan artinya belum tentu ngerti kan?”

Jenar menghela napas. Ya... benar juga.

“Lo harus ingat. Dulu, cowok itu yang mainin lo. Dia ninggalin lo gitu aja tanpa ngasih kepastian. Jangan sampai lo berharap sama dia untuk kedua kalinya. Itu aja pesan gue.”

“Siapa juga yang berharap ke dia? Gue sama sekali nggak berharap.”

Sama seperti Gena, Jenar mencoba menyanggah ucapan sahabatnya.

“Bagus deh. Soalnya dulu gue ikut sakit hati ngelihat lo dipehapein. Jangan mentang-mentang dia tuh adik dari kakak ipar lo, lo jadi kebawa suasana. Kalau dia lakik, dia pasti bakal perjuangin lo. Tapi ini mana? Selama ini dia biasa aja, kan? Malah ngelihat lo kayak orang asing.”

Dada Jenar terasa pengap mendengarnya. Nyatanya, baik ia maupun Gena memang saling menjaga jarak setelah kejadian itu. Bahkan sampai Leknor dan Astri meninggal, mereka sama-sama kehilangan momen dengan kedua kakak mereka hanya karena saling menghindari.

Dan percakapan pun terus berlanjut. Dari yang tadinya tentang Gena, sekarang beralih membahas Hana yang ternyata sedang dekat dengan Fadlan—sahabat Gena.

“Lo serius? Kalian lagi dekat?!” Jenar speechless.

“Iya,” angguk Hana antusias. “Kalau yang ini gue yakin dia cowok baik-baik. Beda sama cowok incaran lo—“

“Bukan incaran gue!”

“Ya intinya beda sama si Gena-gena itu. Mas Fadlan serius sama gue.”

“Dan lo terima dia? Lo suka?!”

Hana tersipu malu. Ia menyibak rambut panjangnya ke belakang telinga seraya mengangguk. “Dia ganteng, baik lagi. Walau dia tuh duda ber—“

“Apa? Duda?!”

Hana mengangguk lagi. Kali ini pipinya tampak memerah. “Iya. Dia duda beranak satu. Dan gue ... naksir sama dia. Status nggak jadi masalah. Gue bisa kok jadi Mommy dadakan.” Gadis itu cengengesan.

Jenar menggeleng-gelengkan kepala dibuatnya. Selama ini Hana diam-diam saja, ternyata sudah berhasil menggebet seorang duda. Jenar merasa seolah baru keluar dari goa karena ketinggalan informasi.

“Lo suka anak-anak? Kok gue baru tau ya?”

“Masalah suka sih urusan nanti. Yang penting gue nikahin dulu bapaknya,” kata Hana seraya terkikik.

“Gila lo!”

“Ya mending gila. Yang penting dicintai secara ugal-ugalan. Daripada lo? Dikasih kepastian aja enggak,” ledek Hana.

Jenar mencebikkan lidah mendengarnya. Lama-lama ia muak mendengar pembahasan tentang Gena. Apa-apa disangkut pautkan ke Gena. Padahal tujuannya bertemu Hana ya karena ingin menenangkan diri sejenak dari Gena!

“Betewe Kakak gue lagi galau tuh,” tiba-tiba Hana menyeletuk.

Jenar mengangkat sebelah alisnya. “Siapa? Mas Hanif?”

“Iya. Cinta pertama lo. Galau dia ditinggal sama tunangannya ke luar negri.”

“Lho, kok bisa?!”

1
Wirda Wati
😇😇😇😇😇😇
Wirda Wati
😭😭😭😭😭😭
Wirda Wati
semoga mereka bersatu
Nur Adam
lnjur
Wirda Wati
😂😂😂😂
Wirda Wati
nikah aja Jenar sama gena kan aman
Wirda Wati
cari baby siter aja....dan pembantu
Wirda Wati
🥰🥰🥰🥰
Wirda Wati
😂😂😂😂😂😂
Wirda Wati
senang dg ceritamu thort
Wirda Wati
semoga baik baik saja
Wirda Wati
😂😂😂😂
Wirda Wati
ya kamu juga sih ngomongnya sembarangan.
hanya mengisi kekosongan dan move on.
siapun pasti kesal dengarnya.
Wirda Wati
sebenarnya mereka serasiii...
Wirda Wati
cepat kali....
cinta atau obsesi
😇😇😇
Wirda Wati
cinta kilat namanya😂
Wirda Wati
semoga hubungan mereka berkelanjutan..
Wirda Wati
kereeen thort
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!