HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Libur yang Menyakitkan
Hari Minggu.
Dewanga memutuskan libur—setelah tujuh hari berturut-turut berjualan tanpa henti. Tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Punggungnya sakit. Kakinya bengkak. Tangannya penuh lecet dari spatula yang panas.
"Tini... hari ini aku libur. Aku mau ajak kamu dan Eka ke rumah Ibu. Udah lama gak kesana," kata Dewanga pagi itu—berusaha terdengar riang meski hatinya lelah.
Tini sedang sisiran di depan cermin kecil di kamar. Ia melirik Dewanga sekilas. "Yaudah. Tapi cepetan. Gua gak mau lama-lama di rumah ibumu. Gua gak nyaman."
Dewanga mengangguk—meski kata-kata itu menyakitkan. "Iya. Sebentar aja."
Pukul sepuluh pagi, mereka berangkat.
Dewanga, Tini, dan Eka naik angkot menuju kampung tempat Rini tinggal. Perjalanan sekitar empat puluh menit—melewati jalan berlubang, sawah-sawah kering, dan kampung-kampung kumuh.
Eka duduk di pangkuan Dewanga—gadis kecil itu tersenyum kecil, sesekali melihat keluar jendela dengan mata penuh rasa ingin tahu.
"Om Dewa... rumah nenek jauh ya?" tanya Eka polos.
Dewanga tersenyum—senyum pertamanya dalam beberapa hari ini. "Lumayan, Dek. Tapi nanti Eka ketemu nenek. Nenek baik lho."
Eka mengangguk. "Eka suka nenek..."
Tini duduk di sebelah mereka dengan wajah datar—menatap keluar jendela tanpa ekspresi. Tidak ada percakapan. Tidak ada kehangatan.
Hanya diam yang canggung.
Mereka tiba di rumah Rini sekitar pukul sebelas siang.
Rini sedang menyapu halaman—menggunakan sapu lidi tua, punggungnya sedikit membungkuk. Saat melihat Dewanga turun dari angkot, wajahnya langsung cerah.
"Dewa!" Rini meletakkan sapunya, berjalan cepat menghampiri. "Ibu kangen, Nak!"
Dewanga memeluk ibunya erat—pelukan yang sudah ia rindukan sejak lama. "Ibu... aku juga kangen."
Rini mengusap punggung anaknya—merasakan tubuhnya yang semakin kurus. "Kamu... kamu kurus, Dewa. Gak makan dengan baik ya?"
"Makan, Bu. Biasa aja." Dewanga tersenyum lemah—berbohong demi tidak membuat ibunya khawatir.
Rini melepas pelukan, lalu menatap Tini dan Eka yang berdiri canggung di pinggir pagar. "Tini, Eka, masuk. Jangan berdiri di luar. Panas."
Tini hanya mengangguk singkat—tidak ada senyum. Ia berjalan masuk dengan langkah malas, Eka mengikuti di belakangnya.
Rini menatap punggung menantunya dengan pandangan yang sulit dijelaskan—ada sesuatu yang mengganjal, tapi ia tidak bisa menjelaskannya.
Di dalam rumah, Rini sudah menyiapkan makan siang sederhana—nasi putih, sayur asem, ikan asin goreng, tempe bacem, dan sambal terasi.
"Maaf ya, seadanya. Ibu gak tau kalian mau datang," kata Rini sambil menuangkan air putih ke gelas.
"Gak papa, Bu. Terima kasih." Dewanga duduk dengan penuh rasa syukur—sudah lama ia tidak makan masakan ibunya.
Tini duduk dengan wajah datar—menatap makanan di atas meja dengan tatapan... meremehkan.
"Eka, makan ya, sayang." Rini menyendokkan nasi untuk Eka dengan senyum hangat.
"Terima kasih, Nenek." Eka tersenyum manis—satu-satunya senyum tulus di meja itu.
Mereka mulai makan.
Rini sesekali melirik Dewanga—melihat cara anaknya makan dengan lahap, seolah sudah lama tidak makan dengan tenang.
"Dewa... di rumah kamu makan dengan baik kan?" Rini bertanya hati-hati.
"Iya, Bu. Makan." Dewanga menjawab cepat—tidak berani menatap mata ibunya.
Rini tahu anaknya berbohong. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
Hening sejenak.
Lalu terdengar suara dari luar—suara orang berbincang di teras. Suara yang familiar.
Rini terdiam. Wajahnya sedikit berubah—ada kekhawatiran di sana.
"Ibu... siapa di luar?" Dewanga bertanya.
Sebelum Rini menjawab, pintu terbuka.
Seorang wanita masuk—usia sekitar dua puluh lima tahun, wajah cantik dengan kulit putih, rambut panjang diikat rapi, pakaian sederhana tapi bersih. Di belakangnya, seorang pria paruh baya dan seorang wanita paruh baya—orangtuanya.
Aisyah.
Dan orangtua Aisyah—Bapak Hasan dan Ibu Siti.
Dewanga terpaku. Sendok di tangannya hampir jatuh.
Aisyah juga terpaku—matanya membulat melihat Dewanga duduk di meja makan bersama seorang wanita dan anak kecil.
Hening panjang.
Hanya suara angin yang bertiup pelan dari jendela.
Ibu Siti—ibu Aisyah—yang pertama kali bicara. Ia menatap Rini dengan wajah bingung. "Bu Rini... ini... Dewanga sudah...?"
Rini mengangguk pelan. Wajahnya sedih. "Iya, Bu. Dewanga sudah menikah. Dua minggu yang lalu."
Ibu Siti terdiam. Wajahnya pucat. Ia menatap Aisyah—anak perempuannya yang berdiri dengan tubuh kaku, mata berkaca-kaca.
Bapak Hasan—ayah Aisyah—menatap Dewanga dengan pandangan penuh penyesalan. "Dewa... kami... kami datang untuk..."
Ia tidak melanjutkan. Suaranya tercekat.
Dewanga berdiri perlahan. Tangannya gemetar. "Pak... Bu... ada apa?"
Ibu Siti menarik napas panjang—suaranya bergetar saat bicara. "Kami datang untuk... untuk minta maaf, Dewa. Dan untuk... untuk merestui kamu dengan Aisyah."
Hening.
Dunia Dewanga seolah berhenti berputar.
"Aisyah... anak kami... dia tidak bisa melupakanmu, Dewa." Ibu Siti melanjutkan dengan suara serak. "Sejak kamu ditolak waktu itu, dia tidak pernah bahagia. Dia menolak semua pria yang kami kenalkan. Dia terus bilang... dia cuma mau kamu."
Aisyah menunduk—air matanya jatuh, membasahi lantai.
"Kami salah, Dewa. Kami salah menilai kamu. Kami pikir kamu tidak punya masa depan. Tapi kami salah. Kamu... kamu laki-laki yang baik. Laki-laki yang bekerja keras. Laki-laki yang tulus." Bapak Hasan berbicara dengan suara berat. "Makanya kami datang hari ini... untuk minta maaf... dan untuk... untuk menyegerakan pernikahan kalian."
Hening panjang.
Dewanga tidak bisa bicara. Bibirnya bergetar. Dadanya sesak.
Ia melirik Tini—istrinya duduk dengan wajah merah, tangan mengepal erat di atas meja.
Lalu ia melirik Aisyah—wanita yang dulu ia cintai, wanita yang menolaknya, wanita yang kini berdiri di hadapannya dengan wajah penuh penyesalan.
"Pak... Bu..." Dewanga akhirnya bicara—suaranya parau, hampir tidak terdengar. "Saya... saya sudah menikah."
Ibu Siti terdiam. Wajahnya semakin pucat.
"Saya sudah menikah dua minggu yang lalu. Dengan Tini." Dewanga menunjuk Tini yang duduk dengan wajah dingin.
Aisyah mendongak—menatap Dewanga dengan mata penuh air mata. Bibirnya bergetar. "Dewa... kenapa... kenapa kamu tidak bilang..."
"Karena aku tidak tahu kalau kamu masih... masih mengingatku." Dewanga menunduk dalam-dalam. "Maafin aku, Aisyah. Maafin aku, Pak, Bu. Tapi... tapi aku sudah terikat."
Hening.
Tidak ada yang bicara.
Hanya suara isak tangis Aisyah yang terdengar—tangis yang pecah, yang penuh penyesalan.
Ibu Siti memeluk anaknya—menangis bersama.
Bapak Hasan menatap Dewanga dengan pandangan penuh belas kasihan—bukan marah, tapi... sedih. Sedih karena ia tahu, keputusannya dulu telah menghancurkan dua kehidupan sekaligus.
Lalu Tini berdiri—dengan wajah merah penuh amarah.
"JADI INI?! INI YANG DIMAKSUD CINTA MASA LALU LO?!" bentaknya keras—suaranya memenuhi seluruh rumah.
Dewanga terkejut. "Tini, bukan gitu—"
"LO BOHONG! LO BILANG LO UDAH LUPAIN DIA! TAPI TERNYATA?! TERNYATA DIA MASIH MAU SAMA LO! DAN LO?! LO PASTI MASIH SUKA SAMA DIA KAN?!"
"Tini, kumohon... jangan di sini—"
"KENAPA?! MALU?! MALU SAMA KELUARGA MANTAN LO?! ATAU MALU SAMA IBU LO?!"
Rini berdiri—mencoba menenangkan. "Tini, tolong... jangan kayak gini di rumah Ibu—"
"IBU DIEM! INI URUSAN KAMI! IBU GAK USAH IKUT CAMPUR!"
Rini terdiam—air matanya jatuh. Ia tidak sanggup bicara lagi.
Aisyah menatap Tini dengan wajah pucat—melihat wanita yang kini menjadi istri Dewanga, wanita yang membentak dengan kasar, wanita yang tidak ada kehang
atan di matanya.
Bapak Hasan meraih tangan istrinya. "Ayo, kita pulang. Kami salah datang."
Ibu Siti mengangguk—masih menangis. Ia menatap Dewanga terakhir kali. "Maafin kami, Dewa. Semoga... semoga kamu bahagia."
Lalu mereka pergi—membawa Aisyah yang masih terisak, meninggalkan rumah Rini dengan langkah gontai.
Pintu tertutup.
Hening.
Tini menatap Dewanga dengan mata penuh kebencian. "LO MENYESAL KAN?! MENYESAL NIKAH SAMA GUA?!"
"Tini, aku tidak—"
"BOHONG! GUA LIAT DARI MATA LO! LO MASIH SUKA SAMA DIA!"
"AKU TIDAK!" Dewanga berteriak—untuk pertama kalinya ia berteriak pada Tini. "AKU SUDAH PILIH KAMU! AKU SUDAH NIKAH SAMA KAMU! AKU GAK AKAN NINGGALIN KAMU!"
Tini terdiam—terkejut dengan teriakan Dewanga.
Lalu ia tertawa—tawa sinis yang dingin. "Oh... jadi lo berteriak sekarang? Lo berani bentak gua?"
Dewanga menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Ia langsung menunduk. "Maaf... aku tidak bermaksud—"
"CUKUP!" Tini berbalik, menarik tangan Eka yang masih duduk bingung. "Ayo, Eka. Kita pulang. Gua gak mau di sini lebih lama lagi."
"Tini, tunggu—"
Tapi Tini sudah keluar—membawa Eka, meninggalkan Dewanga berdiri sendirian di tengah rumah ibunya.
Rini duduk di kursi—menangis tersedu-sedu, tangannya menutupi wajahnya.
Dewanga berlutut di hadapan ibunya—memeluk kaki ibunya erat. "Maafin aku, Bu... maafin aku..."
Rini mengusap kepala anaknya—menangis semakin keras. "Dewa... Ibu gak tau harus bilang apa, Nak... Ibu cuma... Ibu cuma sedih liat kamu kayak gini..."
"Aku juga sedih, Bu... aku juga... aku gak tau harus gimana..."
Mereka berdua menangis—seorang ibu yang kehilangan anaknya pada jalan yang keliru, dan seorang anak yang tahu ia sudah terlambat untuk kembali.
Dan di luar, langit mulai mendung—pertanda hujan akan datang.