Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Zavier dan keluarganya tak pernah lagi datang berkunjung. Terakhir kali Selina melihat wajah-wajah mereka hanyalah saat kejadian di rumah sakit waktu itu. Bagi kebanyakan orang, mungkin hal ini akan dianggap sebagai bentuk pengabaian, namun Selina justru sebaliknya, ia bernapas lega.
Ia sama sekali tidak peduli dengan sikap mereka. Mau mereka bersikap baik pada dirinya, atau bahkan tidak memedulikan keberadaan Ian sekalipun, itu sama sekali bukan masalah baginya. Selina justru lebih suka jika mereka tetap menjadi orang asing, agar ia bisa membesarkan putranya tanpa gangguan drama keluarga yang rumit.
“Lin, dipanggil sama Pak Nathan. Si Kim juga ada.”
Selina tersentak saat Emel tiba-tiba menepuk bahunya dari belakang. Sahabatnya itu berbisik pelan tepat di telinganya.
Selina menghela napas berat. Rasanya baru sebentar ia bisa merasa bebas dari bayang-bayang mereka, namun kini ia ditarik kembali. “Mau apa lagi sih mereka?” gumamnya lirih.
“Udah, samperin aja dulu. Nanti Pak Nathan marah kalau kelamaan,” bisik Emel lagi.
Dengan langkah malas dan berat, Selina meletakkan nampan di atas meja pantry. Ia mencoba mengatur raut wajahnya agar tetap datar sebelum melangkah menuju private room milik Nathan. Wanita itu berdiri sejenak di depan pintu, mengetuknya pelan sekali sebelum akhirnya memberanikan diri untuk membukanya.
Di dalam ruangan itu, terlihat Nathan dan Kimberly duduk bersebelahan di sofa kulit. Kim tampak bersandar manja di bahu Nathan.
“Masuk. Duduk sini,” ucap Nathan. Nadanya kali ini terdengar sedikit lebih ramah dari biasanya.
Kim tersenyum manis saat melihat Selina sudah duduk di depan mereka. “Bang Zavi, Mama, sama Papa pulang lebih cepat. Mereka nggak sempat mampir ke rumah kamu, soalnya sebentar lagi Bang Zavi mau menikah. Jadi mereka merasa nggak enak kalau lama-lama di sini. Mereka juga harus menyiapkan pernikahan,” jelas Kim panjang lebar.
Selina hanya menunduk, menatap jari-jarinya sendiri. Dalam hati, ia merasa gerah. Untuk apa Kim memberitahu semua detail itu padanya? Urusan pernikahan Zavier sama sekali tidak ada hubungannya dengan hidupnya. Ia tidak peduli, bahkan justru merasa bagus kalau mereka memang tidak punya waktu untuk datang mengganggunya lagi.
Kim kemudian mencondongkan tubuh sedikit ke depan, wajahnya menunjukkan ekspresi serius. “Aku yang minta kamu ke sini, karena ada hal yang harus aku katakan secara langsung.”
Wanita itu kemudian merogoh sesuatu dan mendorong sebuah amplop cokelat tebal ke arah Selina. Amplop itu tergeletak di meja, tampak mencolok di mata Selina. “Titipan dari Mama sama Papa. Aku harap kamu nggak menolak... karena ini sebenarnya untuk putramu, untuk Ian.”
Selina menatap amplop coklat itu cukup lama. Ia tidak segera menyentuhnya. Ia tahu persis apa isinya tanpa perlu membukanya—uang.
“Mama sama Papa juga berpesan,” ucap Kim dengan suara yang rendah namun tegas, “kalau setelah abangku melaksanakan pernikahan, mereka akan kembali datang ke sini. Mereka ingin membicarakan soal hak asuh Ian.”
Mendengar kata-kata itu, wajah Selina seketika mengeras. Keningnya berkerut dalam. Jantungnya berdegup lebih kencang karena rasa tidak suka sekaligus takut yang bercampur aduk.
Kim, yang menyadari perubahan ekspresi Selina yang menegang, buru-buru menyambung perkataannya, “Kami bukan ingin mengambil Ian sepenuhnya dari kamu. Tapi kamu juga nggak boleh egois dengan membiarkan dia hidup tanpa tahu siapa keluarga besarnya. Ian sudah mengenal kami, dan tugasmu sekarang adalah menjelaskan semuanya kepada dia, karena kamu sendiri yang dulu membawa Ian pergi dari kami.”
Selina menatap Kim dengan tatapan tajam yang tak lagi bisa ia sembunyikan, “Aku membawa pergi putraku tentu ada alasannya.”
“Ya, apa pun alasannya,” sahut Kim cepat, tidak mau kalah, “sekarang kamu nggak bisa mengelak lagi dari kenyataan yang ada. Kalau Bang Zavi atau orang tuaku minta Ian ikut kami, meski cuma sehari atau dua hari saja, kamu nggak berhak melarang kami.”
Selina mendengus sinis, tawa getir lolos dari bibirnya yang pucat. “Orang seperti kalian... dilarang pun pasti tetap akan melanggar. Kalian selalu melakukan apa pun yang kalian mau.”
Kim tersenyum tipis, sebuah senyuman yang tampak sangat percaya diri. “Tepat. Dan kamu tahu sendiri, kami punya kuasa untuk itu. Kalau saja kami tak punya hati nurani, mungkin dari dulu kasus ini sudah kami bawa ke pengadilan untuk mengambil hak asuh itu.”
Kim lalu mendorong amplop coklat itu lebih dekat lagi, hingga hampir menyentuh tangan Selina. “Ambil uang ini. Nanti akan ada uang-uang lainnya yang menyusul untuk biaya hidup Ian. Kudengar juga orang tuaku sudah punya niat untuk memberikanmu rumah yang lebih layak untuk kamu tinggali bersama Ian.”
Mendengar kata-kata itu, Selina merasa harga dirinya tersengat. “Apa kamu pikir kontrakanku itu tidak layak untuk anakku?” tanyanya dengan suara yang sedikit tercekat karena tersinggung.
“Aku nggak bilang begitu,” Kim buru-buru menggeleng. “Aku hanya ingin kamu dan Ian bisa tinggal di tempat yang lebih luas dan nyaman. Biar dia punya kamar sendiri, punya fasilitas yang lebih memadai untuk pertumbuhannya.”
“Pikirkan baik-baik, Selina. Turunkan ego kamu kali ini saja. Daripada kamu harus pusing bayar kontrakan tiap bulan, mending ikuti saran mereka. Mereka sudah menyiapkan semuanya di rumah barumu nanti,” sahut Nathan yang sejak tadi hanya diam menyimak, kini ikut menimpali.
“Kami cuma ingin yang terbaik untuk Ian,” kata Kim lagi. “Ambillah amplop ini dulu. Kalau kamu tetap menolak, aku akan melaporkan ini ke orang tuaku. Dan kamu tahu sendiri, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan jika niat baiknya diabaikan.”
Kim kembali mendorong amplop coklat itu untuk yang ketiga kalinya, kali ini ia menempatkannya tepat di atas pangkuan Selina, memaksa wanita itu untuk menerimanya.
Selina terdiam. Ia menatap lama amplop tebal yang berada di pangkuannya itu. Di balik segala rasa marah, gengsi, dan harga dirinya yang terluka, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia sadar bahwa ia memang sedang membutuhkan uang untuk menjamin hidup Ian.
“Terima kasih,” katanya singkat, suaranya terdengar hampa.
Tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut dari Nathan maupun Kimberly, Selina segera berdiri dan melangkah keluar dari ruangan itu.