Arshaka Beyazid Aksara, pemuda taat agama yang harus merelakan hatinya melepas Ning Nadheera Adzillatul Ilma, cinta pertamanya, calon istrinya, putri pimpinan pondok pesantren tempat ia menimba ilmu. Mengikhlaskan hati untuk menerima takdir yang digariskan olehNya. Berkali-kali merestock kesabaran yang luar biasa untuk mendidik Sandra, istri nakalnya tersebut yang kerap kali meminta cerai.
Prinsipnya yang berdiri tegak bahwa pernikahan adalah hal yang sakral, sekeras Sandra meminta cerai, sekeras dia mempertahankan pernikahannya.
Namun bagaimana jika Sandra sengaja menyeleweng dengan lelaki lain hanya untuk bercerai dengan Arshaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Flou, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENIKAHI NING NADHEERA
"Assalamualaikum, Kang Arsha."
Arshaka menyenggut pada para santri putra yang menyapanya. "Waalaikumssalam warahmatullahi wabarakatuh," jawabnya dengan tanpa senyum sedikitpun.
Sungguh keramahtamahan sikapnya, lembut nada bicaranya hanya ia pergunakan untuk keluarganya saja serta jika ia bicara dengan orang yang lebih tua darinya atau orang yang ia hormati.
Seperti saat ini kesopanannya kembali ia gunakan ketika berhadapan dengan Yaseer Ar Rafiq, pimpinan pondok pesantren As-Shobirin. Duduk di sisi kanannya Ahmed Firdaus Ar Rafiq, putra sulung Yaseer dengan Habibah.
"Terima kasih sudah datang memenuhi pesan Abah, Nak," ucap Yaseer.
Arshaka tersenyum ramah. "Suatu kehormatan buat saya, Abah. Saya senang datang kemari bersilaturahmi dengan Abah, Umi, dan yang lain."
"Di mana barang bawaanmu? Biar Abah minta santri putra untuk mengambilnya."
"Abah, tidak perlu repot-repot. Saya nanti singgah di kamar Akbar saja. Kebetulan tadi saya sudah bertemu dengannya." Ia merasa tak enak hati, paham maksud Yaseer yang akan menyiapkan tempat untuknya beristirahat.
Yaseer membuang napas pendek seraya geleng-geleng kepala. "Baiklah, Abah tidak akan memaksa. Sebaiknya kita diskusi setelah jamaah saja. Hampir masuk waktu maghrib, Nak. Sembari itu ishoma dulu sejenak untuk melepaskan penatmu."
"Izinkan aku bicara dengannya lebih dulu sampai adzan, Abah," ucap Ahmad meminta izin.
"Silakan."
Arshaka dan Ahmad undur diri dari hadapan Yaseer dan Habibah. Keduanya melangkah menuju area privasi Ahmad.
"Gus Lutfi mencintai adikku ...," beritahu Ahmad.
"Alhamdulillah, semakin banyak yang mencintai semakin banyak yang mendoakannya Gus. Saya senang mendengarnya." Arshaka menjawab dengan sangat santai seolah tidak terusik sama sekali dengan informasi yang Ahmad berikan.
Sudut bibir Ahmad berkedut mendengar jawaban Arshaka. Pemuda itu selalu tenang, bahkan ketika dulu ia membuatnya sekarat, Arshaka masih menebarkan senyum serta tatapan tulusnya.
"Dia ingin menikahinya. Aku restui kalau kamu mau menikahinya lebih cepat jika kamu tidak ingin adikku dinikahi beliau."
Arshaka kali ini terdiam dalam waktu cukup lama, dua menit lebih kurang. Matanya memandang lurus, tak lupa bahwa dirinya saat ini sudah menjadi milik gadis lain. Akan tetapi tidak menampik, hatinya perih.
"Ini kabar baik, Gus. Yang mencintainya adalah lelaki yang sangat baik. Ilmunya lebih tinggi daripada saya. Ketaatannya jauh lebih indah. Gus Lutfi akan menjadi imam yang baik untuknya. Senang hati saya akan datang memenuhi undangan jika kalian mengundang saya dalam cara pernikahan keduanya."
"Telah habis cintamu untuk Nadheera?" Terangkat tinggi alis Ahmad menatap Arshaka.
Tersenyum, Arshaka menegakkan tubuh. Kemudian kembali menjawab dengan tenang.
"Seperti Gus Ahmad yang pernah begitu ikhlas melepas Ustadzah Arsy saat Beliau ingin menikah, saya pun demikian. Karena mencintai, ikhlas harus selalu menyertai sebab kita tahu bahwa cinta pada manusia akan selalu melemahkan hati. Lagi pula, saya sangat sadar diri bahwa Ning terlalu istimewa jika bersanding dengan saya. Bagai pungguk merindukan bulan, sedari awal itulah saya, Gus."
"Kamu yang selalu dia sebut namanya dalam doa, Arshaka!"
"99% manusia berusaha, 1% lagi Allah yang menentukan. Usaha kita akan kalah manakala Allah berkehendak lain, Gus. Cinta yang saya miliki adalah milikNya yang Maha Cinta. Saya tidak ingin menentang ketetapanNya."
Jeda dalam dalam. Keduanya saling menatap, tatapannya berpendar berbeda. Ahmad menangkap maksud lain pun tatapan Arshaka yang nanar.
"Arshaka Beyazid Aksara, aku lebih rela melepas Nadheera untukmu daripada Gus Lutfi walau ilmunya jauh lebih tinggi darimu." Redup Ahmad menilik wajah Arshaka.
Arshaka tertegun, Ahmad pernah begitu menentang perasaannya pada Nadheera apalagi pada saat puncak fitnah itu ia dapatkan. Bahkan sampai saat ini Ahmad masih berada di antara merestui dan tidak.
"Adakah yang salah dari Gus Lutfi? Beliau orang yang baik agamanya, luhur budinya, tampan parasnya, keluarganya pun terkenal dengan orang-orang alim. Barang kali Gus Ahmad keliru dalam menilai."
"Tidak!" Cepat Ahmad menjawab. "Tidak ada yang salah dari Gus Lutfi. Beliau lelaki yang baik. Tapi demi Allah aku tidak rela melepas Nadheera pada Gus Lutfi. Sebelumnya tidak ada yang tahu jika beliau sudah memiliki istri tanpa dikaruniai anak kandung. Beberapa hari lalu beliau datang bersama istrinya, meminta Nadheera untuk menjadi madu."
Kian terpengkur Arshaka mendengarnya. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang sampai-sampai telapak tangannya dingin dan tubuhnya sedikit gemetar. Adakah lelaki yang rela melepas cintanya bersanding dengan pria beristri? Demi Tuhan, tidak ada yang rela.
Andaikata diberi pilihan antara melepas dia bersama pria beristri atau ia menanggung luka sepanjang hidup demi senyumnya. Maka dia akan memilih opsi kedua.
Akan tetapi, Arshaka juga tidak berdaya. Dia sudah menjadi suami atas Sandra. Terlepas bahwa ia pernah mengatakan tentang poligami, dia tidak ingin melakukannya tanpa alasan yang bisa diterima akal sehat atau menambahkan opsi menceraikan Sandra demi memperistri Nadheera. Ia tidak ingin melakukan itu. Perceraian adalah hal yang sangat tabu di keluarganya walau tidak ada yang melarang untuk berpoligami selagi sanggup adil.
"Aku lebih senang disebut orang jahat tidak berhati setelah lima ratus kali cambuk kulayangkan padamu juga adikku sebab kesalahpahaman itu, daripada mendengar ajakannya untuk beribadah panjang dengan Nadheera."
"Mohon untuk tidak dilanjutkan, Gus," ucap Arshaka setelah Ahmad menyelesaikan ucapannya. "Allah tidak melarang poligami apabila suami bisa berlaku adil dan mencukupi segala kebutuhan para istrinya baik lahir maupun batin. Jika Gus Ahmad cemas Gus Lutfi ingin menikahi Ning Nadheera sebab hanya untuk mereguk surga dunia, saya mohon usah berpikir demikian apabila Gus Ahmad belum mengetahui pasti alasan beliau."
"Sebab jika orang yang paham dan mampu mengimplementasikan ilmunya dengan benar, poligami tidak dijadikan alasan untuk bersenggama dengan istri sah agar tidak berzina. Berembuk lalu ambillah keputusan dan tanyakan padanya setelah saya menyampaikan apa yang ingin saya utarakan."
"Saya izin pamit. Dua menit lagi adzan."
Ahmad memandang punggung Arshaka yang menjauh dari pandangannya. Tertunduk kepala Arshaka, dan sekali tangan kanannya terangkat untuk menyeka setetes air bening dari pelupuk matanya.
Pemuda itu terluka, tetapi senyumnya masih tetap sama.
"Kamu benar. Niatnya sangat lurus untuk beribadah tanpa unsur lain sebab beliau mandul. Bahkan Ning Alfi memiliki anak hasil membeli sel reproduksi dari pria lain sebab Gus Lutfi tidak bisa memberikan nafkah batin secara utuh. Tapi kakak mana yang rela melepas adiknya bersama pria tidak sempurna, Arshaka?"
***
"Wajahmu berseri-seri, Ning."
Nadheera yang sedang membenarkan jilbab panjang nan menjuntainya menatap Hesti dari pantulan cermin. Tersenyum manis hingga lesung pipitnya terlihat lalu ia menjawab.
"Hati saya selalu bahagia, Hesti. Tidak ada alasan untuk murung."
Hesti terkekeh-kekeh. "Memang benar. Tapi malam ini terlihat lebih bersinar. Pasti karena Kak Arshaka datang ke sini," godanya.
"Astaghfirullah, apa itu Hesti?" Nadheera melototkan mata.
Hesti yang memiliki kadar parno setinggi Burj Khalifa sontak langsung memekik dan terduduk dari posisinya yang tengkurap di atas kasur putri tercinta pimpinan ponpes As-Shobirin tersebut, lalu bergerak menghimpit Nadheera.
"Apa, Ning? Ada apa? Kamu melihat sesuatu? Bukan hantu kan? Ya Allah, mana ini malam Kliwon. Saya takut, Ning!"
"Ya Allah, Hesti." Nadheera tidak bisa menahan tawanya hingga ia tertawa kecil sambil mencubit pipi Hesti. "Tidak ada hantu-hantu. Maksud saya, apa yang kamu katakan? Begitu lho."
"Ya ampun, jantung ana melesak ke bawah, Ning." Hesti mengelus dadanya lega seraya membuang napas panjang dan Nadheera terkekeh singkat.
"Sudah, sudah ayo. Nanti terlambat."
"Buru-buru amat. Mentang-mentang ada Kak Arshaka," goda Hesti menyenggol lengan Nadheera sembari berjalan keluar dari kamar.
"Hust! Jangan suudzon! Saya mau berkhidmah, Hesti. Tidak pernah terbesit memiliki niat lain."
Sedang pemuda yang tengah Hesti bercandai itu dalam keadaan gusar melihat foto yang sepupunya kirimkan—Kenneth.
[Istrimu di kelab, Bang. Bersama kedua temannya dan dua orang pria.]
[Arshaka: Bisa tolong bantu saya, Ken? Saya sedang di Jawa. Jangan sampai Ayah tahu. Beliau akan marah besar.]
[Bagaimana caranya? Perempuan kalau sudah masuk kelab tidak akan bisa diajak pulang kecuali dia dalam keadaan mabuk. Dan kamu kasih aku izin buat menyentuh Sandra untuk membawanya pulang? Aku menghargai kamu sebagai suaminya, Bang.]
[Arshaka: Sandra mabuk?]
[Kuperhatikan tidak atau mungkin belum.]
[Arshaka: Tolong saya bagaimana caranya bawa Sandra pulang dan jangan biarkan dia mabuk. Kamu suruh teman perempuanmu atau siapa. Tapi jika tidak bisa, maka terserah kamu. Yang penting Sandra pulang dalam keadaan sadar.]
[Oke. Aku bakar kelabnya biar mudah dia pulang sendirian dengan lari terbirit-birit.]
[Arshaka: Kenneth! Jangan keterlaluan!]
[Hehe tidak kok, bercanda, Bang.]
"Sandra, apa yang kamu lakukan di luaran sana. Ya Allah, lindungi istriku," harap Arshaka dalam hati sembari menatap nanar foto di ponselnya. Terbuka sekali pakaian gadis itu.
Ini novel pertama saya, semoga kalian suka ya. Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, Sayangku🥰