NovelToon NovelToon
Nabil Cahaya Hidupku

Nabil Cahaya Hidupku

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Anak Genius / Anak Yatim Piatu
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

di usir dari rumah sendiri

"Bil, benar uangnya 3.760.000?" tanya Santi sambil menatap catatan keuangan dengan penuh perhatian.

Nabil mengangguk pelan, lalu tersenyum kecil. "Iya, Mah. Uangnya pas segitu."

Santi menghela napas lega, lalu tersenyum bangga. “Kamu hebat sekali, Nak. Perhitungan kamu lebih rapi dari simpanan Ibu-Ibu arisan.”

Nabil tidak menjawab. Ia hanya menatap lantai bambu rumah mereka yang mulai rapuh. Santi mengerti arah pandang anaknya. Ia menepuk tangan Nabil lembut.

"Mamah mau perbaiki rumah ini, Bi. Biar nggak bocor lagi kalau hujan," ucap Santi lirih.

Namun, Nabil buru-buru menggeleng. “Jangan, Mah. Beli sepeda sama ponsel saja.”

Santi menoleh kaget. “Lho, kenapa kamu malah nyuruh beli sepeda sama ponsel? Kamu mau ikutan main game, ya?”

Nabil tertawa kecil, geleng kepala. “Bukan, Mah. Kalau memperbaiki rumah ini, uangnya malah habis. Nggak menghasilkan apa-apa. Itu malah nambah beban Mamah.”

Santi terdiam. Lalu ia bertanya lembut, “Terus, kenapa kamu nyaranin beli sepeda dan ponsel?”

“Dengan sepeda, Mamah bisa jualan keliling lebih jauh. Mamah bisa bawa dagangan lebih banyak. Mamah bisa hemat ongkos angkot. Mamah bisa simpan 10 ribu per hari. Dalam empat bulan, Mamah punya tabungan tambahan 1.200.000.”

Santi mulai tercengang. Wajahnya mematung, lalu berubah kagum.

“Dan ponsel itu buat jualan online. Dari koran yang aku baca, sekarang orang bisa dapat uang dari ponsel. Bisa buat jaga komunikasi sama pelanggan, bisa kasih tahu barang baru.”

Santi memeluk Nabil erat. “Kamu… luar biasa, Nak.”

Suara pintu terbuka, Heru masuk dengan napas sedikit terengah, membawa keranjang dagangan kosong.

“Wow, Kakak udah punya uang banyak, ya!” serunya ceria.

Santi tersenyum. “Hehe… ini tabungan empat bulan, Ru. Kamu juga mau buka tabungan kamu, nggak?”

“Mau, Kak. Aku mau bantu perbaiki rumah ini!”

“Enak sekali kalian mau perbaiki rumah ini, padahal ini bukan rumah milik kalian!” suara itu terdengar lantang dari halaman depan. Paman Herman berdiri di sana, menatap tajam ke arah Santi.

Santi yang sedang mencuci ember bekas dagangan, menoleh pelan. “Loh, emang kenapa, Mang?”

Herman melangkah masuk, sepatu kulitnya berdebu tapi tetap berisik di lantai bambu. “Ini bukan rumah kalian! Ini rumahku. Dan aku akan jual minggu depan!”

Santi menahan napas. “Tapi, Mang… ini rumah Bapak. Ini bagian warisan Bapak kami, kan?”

“Kalau memang ini bagian Bapakmu, tunjukkan buktinya!” tantang Herman, wajahnya merah padam.

Santi terdiam. Dadanya terasa sesak. Ia memang tidak punya selembar surat pun. Tidak ada sertifikat. Bahkan tidak tahu di mana letak dokumen tanah itu disimpan semasa hidup ayahnya.

Herman menyeringai puas, lalu dari tas lusuhnya, ia mengeluarkan selembar kertas tua. “Ini! Sertifikat tanah. Nama siapa di situ? Baca baik-baik. Ini milikku. Sudah saatnya kalian sadar diri. Sudah terlalu lama kalian keenakan tinggal di rumah orang!”

Heru yang dari tadi menyimak dari balik pintu, maju dengan mata berapi. “Tapi Mang, waktu itu aku denger sendiri, Abah bilang rumah ini buat Ayah kami!”

Herman mendengus. “Anak kecil mana bisa dijadikan saksi. Apalagi omongan orang yang sudah mati, tidak punya nilai hukum.”

Santi menarik napas panjang, menatap tanah tempat ia menanam kenangan, menatap atap reyot yang setiap bocornya ia tambal dengan harapan. “Kalau begitu… baik, Mang. Kami akan pergi. Tapi ingat satu hal. Tanah yang didapat dengan cara yang tidak benar… akan membawa bencana, cepat atau lambat.”

Herman tertawa keras. “Halah, kamu pikir aku takut kutukan? Aku cuma tahu satu hal: dalam waktu seminggu, kalian harus keluar dari rumah ini!”

Lalu ia menoleh ke Heru, suaranya tajam seperti belati. “Dan kamu, anak kecil… jangan sok bijak. Anak seperti itu saja dikasihani!”

“Cukup, Heru,” potong Santi pelan, tangannya menahan bahu adiknya. “Kita tidak perlu membela diri lebih banyak lagi. Mamang mau rumah ini? Silakan. Tapi jangan pernah hina anakku.”

Nabil diam di sudut ruangan. Telinganya mendengar, matanya mengingat. Tapi mulutnya tak mengucap sepatah kata pun.

Herman tidak menjawab lagi. Ia berbalik dan pergi, meninggalkan suara langkah berat di halaman yang berdebu. Santi memeluk Nabil. Heru menggenggam erat sapu lidi yang dari tadi tak berguna apa-apa.

“Kejam sekali Mang Herman, Ka,” ucap Heru lirih, tatapannya kosong menatap pintu kayu yang baru saja dibanting sang paman.

Santi mengangguk pelan. “Iya, selain kejam… dia licik. Pantas saja dia terlihat senang saat Bapak meninggal. Rupanya, sejak dulu dia mengincar rumah ini.”

Heru mengepalkan tangan. “Kita harus gimana, Ka?”

“Ya… terpaksa kita ngontrak, Ru.”

“Ngontrak ke mana?”

Sebelum Santi sempat menjawab, suara Nabil menyela, datar namun penuh perhitungan. “Cari rumah dekat sekolah atau pabrik. Pagi mereka butuh sarapan, siang mereka butuh makan dan minum. Kita tidak usah keliling lagi. Kita buat tempat mereka datang ke kita.”

Santi menoleh, takjub dengan logika anaknya.

“Kalau gitu, kita harus ke kota dong,” gumamnya.

Nabil menatap ibunya, dan dengan suara yang seolah diambil dari dalam buku, ia berkata:

“Merantaulah engkau, Nak, sebelum engkau dikubur tanah. Pergilah melihat dunia. Banyak yang akan kau pelajari. Tanah kelahiran hanya tempat kembali. Ilmu dan pengalaman hanya bisa didapat dari perjalanan. Itu kata Buya Hamka, dalam Merantau ke Deli.”

Santi menarik napas panjang. “Baiklah, Ru… Ayo kita merantau. Kita akan memulai hidup baru.”

“Siapa takut!” sahut Heru sambil tertawa kecil.

Tangan mereka bertemu di udara, bertos, bersumpah diam-diam di dalam hati—bahwa di kota nanti, mereka akan saling menjaga, saling menguatkan.

Biarlah rumah itu direbut, harta diwarisi dengan licik. Mereka tak butuh itu. Mereka memilih harga diri, dan keberanian untuk melangkah.

Karena hidup yang jujur, walau sederhana, lebih damai daripada hidup bergelimang harta haram yang baunya menusuk nurani.

“Apa yang harus kita lakukan, Bil?” tanya Santi pelan.

Aneh, memang. Seorang ibu bertanya pada anaknya yang belum genap tujuh tahun. Anak yang sering dicap ‘aneh’ oleh orang-orang, tapi justru paling jernih dalam berpikir.

Nabil menatap ibunya dengan wajah serius. “Ke pasar, Mah. Beli ponsel. Di sana banyak info kontrakan. Akan menghemat waktu kalau kita sudah tahu tujuan kita.”

Santi mengangguk, tak ada ragu sedikit pun dalam suaranya saat menjawab, “Oke, Ru. Kita enggak usah dagang dulu. Kita ke pasar sekarang, ya.”

Heru berseru, “Oke, Ka! Jadi hari ini kita libur?”

“Iya, 4 bulan kita kerja terus. Sekarang kita liburkan diri, biar lebih waras,” jawab Santi sambil tersenyum kecil.

Mereka mengunci rumah. Rumah yang sebentar lagi tak bisa mereka sebut rumah. Bertiga, mereka melangkah ke tepi jalan. Mencari angkot. Menuju pasar. Menuju awal baru.

Namun ketika mereka tengah menunggu, sebuah mobil Avanza hitam berhenti perlahan di depan mereka.

Kaca diturunkan. Senyum sinis menyeringai dari dalam.

“Hahaha... Kasihan banget, sih. Kamu lepas dari aku malah jadi gembel,” ucap Bayu, mantan suami Santi, dengan nada mengejek.

1
Tata Hayuningtyas
suka dengan cerita nya
Tata Hayuningtyas
up nya lama sekali Thor...tiap hari nunggu notif dari novel ini...kalo bisa jgn lama2 up nya Thor biar ga lupa SM ceritanya
Wanita Aries
Nah yg bertamu ibu2 yg merasa trsaingi jualannya
Wanita Aries: Bner bgt ka sllu nungguin update
Vina Nuranisa: nagih bgt ceritanya wkwk
total 2 replies
Wanita Aries
Mantap santi mnjauhlah dari org2 dzolim
Vina Nuranisa
kapan up lagii dah nungguin bgt😁
Wanita Aries
MasyaAllah nabil hebat pinter
Wanita Aries
MasyaAllah nabil
Yurnalis
cerita yang bagus semangat terus di tunggu lanjitannya
Wanita Aries
Menguras emosi karyamu thor
Devika Adinda Putri
terima kasih atas cerita yang bagus ini, semoga bermanfaat untuk para pejuang di luar sana, untuk penulis tetap semangat, mungkin tulisan ini belum banyak peminatnya, tapi aku yakin akan banyak yang suka, dengan cerita yg mevotivasi untuk semua orang
Devika Adinda Putri
selalu di tunggu lanjutannya
Wanita Aries
Sama kyk kluarga arman ya ceritanya
Wanita Aries
Sukaaa
Lestari Setiasih
bagus ceritanya
Arlis Wahyuningsih
mantap shanti....maju terus...👍👍👍😘😘
Arlis Wahyuningsih
cerita yg menarik..perjuangan seorang ibu demi putranya ygtak sempurna fidiknys tp luar biasa kemampuanya...mantap thor..💪💪🙏🙏
Farldetenc: Ada karya menarik nih, IT’S MY DEVIAN, sudah End 😵 by farldetenc
SOPYAN KAMALGrab: makasih ka doakan lulus kontrak..kalau lulus lanjut
total 2 replies
ARIES ♈
jangan lupa mampir ya Kakak ke ceritaku. ☺️☺️☺️
.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.
hih geram banget ma bayu.. kalau gua mah dah gua racun satu kluarga 🙄🙄
.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.: iyaa sama"
SOPYAN KAMALGrab: terimakasih KA udah komen k
total 2 replies
.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.
ceritanya bagus, juga gak bertele-tele... semangat trus ya thor..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!