Cinta yang terhalang restu dan rasa cinta yang amat besar pada kekasihnya membuat Alea Queenara Pradipta mau menuruti ide gila dari sang kekasih, Xander Alvaro Bagaskara. Mereka sepakat untuk melakukan hubungan suami istri di luar nikah agar Alea hamil dan orangtua mereka mau merestui hubungan mereka.
Namun di saat Alea benar-benar hamil, tiba-tiba Xander menghilang begitu saja. Bertemu lagi lima tahun kemudian, tetapi Xander telah menikah.
Lalu bagaimana nasib Alea dan anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mami, Papi di mana? 2
"Mami, papi di mana?"
Pertanyaan Axelio membuat Alea terkejut. Untuk pertama kali putranya bertanya akan keberadaan papinya. Alea terdiam, bingung untuk mengatakan apa. Padahal sebelumnya ia sudah menyiapkan jawaban saat Axelio bertanya tentang papinya, tetapi tetap saja tidak mampu untuk bicara.
"Jawab, Mami!" suruh Axelio sembari menggoyangkan tubuh maminya. "Axel ingin bertemu papi."
Alea masih diam sembari menunduk, belum bisa menjawab pertanyaan dari Axelio. Dirinya seolah terperangkap oleh situasi itu. Matanya mulai berair hingga tidak mampu lagi untuk menahan rasa sesak di dadanya.
"Axelio, maafin Mami." Alea membawa Axelio ke dalam pelukannya, memeluk bocah itu dengan erat. Dengan sekuat tenaga Alea menahan diri untuk tidak menangis, tetapi Alea tidak sekuat itu.
"Alea, Axel."
Alea segera mengusap air matanya ketika Bella datang setelah itu menoleh ke arah sang sahabat.
"Are you okey?" tanya Bella saat melihat mata Alea basah.
"Ya." Alea mengangguk diikuti senyumannya, senyum yang terkesan dipaksakan. Pandangannya kembali mengarah pada Axelio yang masih menangis, kemudian mengajak putranya untuk pulang.
"No, Mami. Axel tidak mau pulang sebelum Mami jawab pertanyaan Axel," tolak Axel.
"Mami akan katakan, tapi tidak sekarang dan tidak di sini," bujuk Alea.
"Kapan dan di mana, Mami?" tanya Axelio di sela tangisannya.
"Kita pulang dulu, Axelio," jawab Alea merasa frustrasi dengan situasi saat itu.
"Axelio … dengarkan Mami, okey. Axelio anak yang baik, bukan," bujuk Bella.
Axelio menatap Alea, bocah polos itu melihat maminya nampak sangat lelah. Pada akhirnya Axelio mengangguk.
"Baiklah. Tapi Mami harus janji kasih tahu Axel tentang keberadaan papi," pinta Axelio dibalas anggukkan oleh Alea.
Alea berdiri, begitu juga dengan Axelio lantas Alea mengenggam erat tangan putranya, begitu juga dengan Bella. Ketiganya lantas keluar dari tempat itu.
-
-
-
"Dia bertanya tentang papinya, Bella," ucap Alea saat mereka sudah dalam perjalanan pulang.
Alea duduk bersandar dengan memangku Axelio yang sudah tertidur. Tangannya tidak berhenti mengusap-usap tangan Axelio. Ekspresi wajahnya terlihat frustrasi.
"Kenapa, tiba-tiba?" tanya Bella.
"I don't know," jawab Alea. "Tadi katanya dia berkelahi dengan Mohan Axel mendorongnya," sambung Alea.
"Kau sudah tanya alasannya Axelio melakukan itu?" tanya Bella menoleh sekilas ke arah Alea.
"Aku sudah bertanya, tapi dia justru bertanya keberadaan papinya," jawab Alea.
"Sepertinya sudah saatnya kau berterus terang pada anakmu," saran Bella.
"Tapi … apa dia akan mengerti?" tanya Alea ragu.
"Axelio anak yang pintar, Alea. Pasti dia akan mengerti." Tangan Bella terulur, mengusap rambut Axelio.
"Baiklah, aku akan mencobanya nanti," sahut Alea. "Terima kasih, Bella."
"You're welcome."
Mobil yang Bella kendarai berhenti di basement. Setelah membangunkan Axelio, ketiganya turun dari mobil. Dua wanita itu menggandeng tangan Axelio.
"Mami, Axel lapar," ucap Axelio.
"Axel mau makan apa? Aunty Bella yang traktir," tanya Bella.
"Pizza," jawab Axelio. Lantas mengarahkan pandangannya ke arah maminya. "Boleh, Mami?" tanya Axelio.
"Boleh," jawab Alea diikuti anggukkannya.
"Aunty Bella, Axel mau pizza daging dengan toping full keju," pinta Axelio.
"Tentu, Sayang. Aunty Bella pesankan sekarang," balas Bella
-
-
-
Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore, Alea sedang berkutat dengan iPad di tangannya saat Axelio datang menghampirinya. Putranya nampak menggemaskan dengan piyama motif super hero.
Wajah putranya terlihat murung, membuat Alea menyudahi pekerjaannya. Ipad di tangannya diletakkan di atas meja lantas menyuruh Axelio mendekat.
"Ada apa, Axelio?" tanya Alea.
"I am sorry, Mami," ucap Axelio lirih nyaris tidak terdengar.
Alea mengulas senyum lantas menarik Axelio, mendudukkan bocah itu ke atas pangkuannya, kedua tangannya melingkar di tubuh Axelio, menjaga agar putranya tidak terjatuh.
"Axelio minta maaf untuk apa?" tanya Alea. Nada bicaranya sangat lembut.
"Tadi Axel berkelahi dengan Mohan terus mendorongnya," jawab Axelio.
"Kenapa Axel melakukan itu?" tanya Alea.
"Mohan mengejek Axel, katanya Axel tidak punya papi," aku Axel. "Axel sudah coba menghindar, tapi Mohan terus mengejek Axel. Axel kesal, jadi Axel dorong Mohan."
"Lalu apa alasan Axel menangis?" tanya Alea.
Bukannya menjawab Axelio justru bertanya hal lainnya. "Axel punya papi, 'kan?" tanya Axelio dibalas senyuman dan anggukkan kecil oleh Alea.
"Maafin Mami, ya," ujar Alea.
"No, Mami. Mami tida salah," balas Axelio. "Axel yang salah."
Alea tersenyum lantas membawa Axel ke pelukannya. "Axel memang anak baik."
"Sekarang duduk sini! Mami mau memberitahu Axel sesuatu." Alea menepuk sisi kanannya, memberikan isyarat pada Axelio untuk berpindah tempat duduk.
Axelio menganggukkan kepala lantas berpindah tempat duduk di samping Alea.
"Mami mau tunjukkan sesuatu pada Axel." Alea menunjukkan foto-foto Xander yang masih ia simpan di ponselnya.
Ekspresi wajah Axelio berubah melihat foto Xander. Bocah itu menyipitkan mata untuk mempertajam penglihatannya. Ketika merasa yakin barulah Axelio melihat ke arah Alea. "Siapa dia Mami,? Kenapa wajahnya mirip sekali dengan Axel?" tanya Axelio.
"Namanya Xander, dia papinya Axel," jawab Alea.
"Jadi dia orangnya?" Ekspresi wajah Axelio berubah dingin, membuat Alea meringis.
Tetapi melihat itu membuat kecemasan Alea mereda. Awalnya Alea mengira Axelio akan menangis lagi, tetapi ekspresi putranya justru di luar dugaannya.
"Axel tidak menangis?" tanya Alea ragu.
Axelio menggeleng, "Axel cuma ingin tahu papi Axel kaya apa. Ternyata mirip Axel."
Alea mengusap kepala Axelio, merasa senang dengan sikap putranya.
"Terus sekarang papi di mana?" tanya Axelio dijawab gelengan oleh Alea.
"Mami tidak tahu, Axel. Papi Axel pergi saat Axel masih ada di dalam perut Mami, tanpa memberitahu Mami." Alea sudah menguatkan hati sebelum mengungkap kebenaran akan Xander pada Axelio.
"Itu berarti papi bukan orang baik ya?" tanya Axelio dengan polosnya.
Alea menggeleng, "papinya Axel sangat baik."
"Kalau papi Axel baik, kenapa pergi ninggalin Axel sama Mami?" tanya Axel lagi.
"Kalau suatu saat kita bertemu dengan papinya Axel, kita tanya sama-sama," ucap Alea dibalas anggukkan oleh Axelio.
"Mami kangen sama papi?" tanya Axelio ketika melihat maminya menangis.
Alea menganggguk setelah itu mengusap jejak air mata di pipinya, ia tidak ingin berbohong pada Axelio. "Mami tidak akan bohong sama Axel. Mami memang kangen sama papinya Axel. Tapi karena ada Axel, Mami jadi tidak sedih." Alea memeluk Axel lantas mencium ujung kepala putranya. "Mami sayang sama Axel."
"Axel juga sayang sama Mami." Axelio membalas pelukan Alea kemudian mendongak menatap wajah sang mami. "Mulai sekarang Axel tidak akan menangis lagi. Axel tidak akan bertanya lagi soal Papi. Axel juga akan jagain Mami."
"Mami yang akan jagain Axel. Axel itu anak Mami," balas Alea.
"Tapi Axel laki-laki. Jadi … Axel yang akan jagain Mami," balas Axelio.
"Axelio, Mami beruntung punya anak seperti Axel." Mereka kembali berpelukan.
Perasaan Alea menjadi lega setelah mengatakan hal yang sesungguhnya kepada Axelio. Kekhawatiran yang sebelumnya dipikirkan oleh Alea ternyata tidak terjadi, Axelio tidak menangis seperti sebelumnya. Justru bocah itu nampak tegar setelah tahu papinya pergi entah ke mana.
astaga kapan dapat karma dia
penasaran dengan ortu Xander saat tau ada cucu nya
pasti seru