Hara, gadis perfeksionis yang lebih mengedepankan logika daripada perasaan itu baru saja mengalami putus cinta dan memutuskan bahwa dirinya tidak akan menjalin hubungan lagi, karena menurutnya itu melelahkan.
Kama, lelaki yang menganggap bahwa komitmen dalam sebuah hubungan hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh, membuatnya selalu menerapkan friendzone dengan banyak gadis. Dan bertekad tidak akan menjalin hubungan yang serius.
Mereka bertemu dan merasa saling cocok hingga memutuskan bersama dalam ikatan (boy)friendzone. Namun semuanya berubah saat Nael, mantan kekasih Hara memintanya kembali bersama.
Apakah Hara akan tetap dalam (boy)friendzone-nya dengan Kama atau memutuskan kembali pada Nael? Akankah Kama merubah prinsip yang selama ini dia pegang dan memutuskan menjalin hubungan yang serius dengan Hara?Bisakah mereka sama-sama menemukan cinta atau malah berakhir jatuh cinta bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizca Yulianah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mental Illness
Akhir-akhir ini sering di gaungkan kampanye sosial tentang mental health dan juga mental illness.
Isu yang sedang marak di kalangan para generasi Z atau genzi mereka menyebutnya, adalah tentang kesehatan mental yang mempengaruhi pikiran, perasaan, dan juga perilaku seseorang. Apa penyebabnya, bagaimana gejalanya dan dampak apa yang di timbulkannya.
Namun bagi generasi millenium atau generasi terdahulunya, itu tak ada bedanya dengan sakit jiwa, semacam penyakit yang menyerang jiwa seseorang, bisa di akibatkan karena trauma, stres yang berlebih, gaya hidup yang buruk, genetik dan juga pengaruh obat-obatan terlarang. Dan jika di tilik dari segi religi, maka kurangnya iman, rasa syukur, sabar serta legowo adalah pemicu utama seseorang bisa sampai terkena penyakit jiwa.
Entahlah yang mana yang lebih berpengaruh, masih menjadi perdebatan antara sains dan juga sisi religius. Masing-masing menolak salah dan merasa benar.
Hanya saja yang menjadi pembeda adalah masyarakat saat ini mungkin lebih memandang penderita mental illness dengan tidak sebelah mata. Lain halnya jika penyakit itu menyerang puluhan tahun silam, tidak ada kata terapi atau negosiasi, yang ada hanya rumah sakit jiwa sebagai tujuan akhir. Stigma di masyarakat yang sulit di ubah jika berkaitan dengan rumah sakit jiwa adalah pasiennya gila. Tentu dalam konteks yang sangat buruk.
Gila mengamuk, berkeliaran di jalan tanpa busana, atau mengais sampah untuk makan, tertawa dan mengomel sendiri, tidak pernah mandi adalah beberapa stigma yang melekat erat pada penderita penyakit jiwa.
Kalau saja semua penderita mental illness di pukul rata menjadi gila seperti pandangan orang awam, maka mungkin Kama akan di nobatkan sebagai orang gila terganteng, terkaya, tersukses dan terhormat.
Bagaimana tidak, orang gila mana yang berhasil masuk ke dalam akademi kepolisian dengan nilai tertinggi tapi menolak kenaikan pangkat serta jabatan dan lebih memilih menjadi polisi lalu lintas.
Dan orang gila mana yang dengan gaji pegawai negeri golongan III mampu memiliki apartemen mewah di tengah kota dengan segala fasilitas lengkapnya juga sebuah mobil mewah keluaran eropa, yang bahkan mungkin gajinya hanya cukup untuk mengisi bahan bakar mobil berkapasitas enam ribu cc tersebut.
Lalu orang gila mana yang mampu membuat setiap wanita yang di kenalnya luluh, takluk dan tunduk begitu saja, menawarkan apapun yang di miliki hanya untuk bisa dekat dengannya.
Siapa lagi kalau bukan Kama Nayrendra.
Dan disini lah orang gila itu berada, di apartemen mewah dengan dapur yang modern berisi peralatan memasak berkualitas tinggi dan elektronik canggih, sedang membungkuk di depan kulkas side by side jumbonya sembari memukul-mukul pelan dadanya.
Setelah berhasil menguasai diri dari batuknya, Kama segera berjalan cepat menuju kamarnya. Langsung menuju nakas di samping tempat tidurnya. Berjongkok di depannya dan membuka dengan kasar laci teratas.
"Seinget... Uhuk...gue...uhuk...di...sini" Gumamnya masih dengan terbatuk-batuk, air yang masuk ke pangkal hidungnya menimbulkan sensasi perih terbakar di tenggorokan.
Kama mengobrak abrik isi lacinya, mencari sebuah benda yang mungkin akan membantunya mengingat kira-kira apa gerangan yang dia ucapkan kepada Hara sewaktu dia meneleponnya pertama kali.
"Damn!" Makinya kesal, mendorong masuk laci yang berantakan.
Kama tidak menemukan apa yang dia cari, beralih ke laci kedua, tidak ada bedanya dengan yang pertama, Kama mencarinya dengan tergopoh, membuat sebagian isinya berhamburan di lantai.
"Giliran butuh aja nggak ketemu, giliran nggak butuh ada dimana-mana tuh barang" Mendorong dengan kasar laci kedua. Semakin kesal karena tak kunjung menemukan apa yang dia cari.
Barulah pada laci ketiga di menemukannya, terselip di pojokan tertumpuk oleh beberapa buku jurnal berwarna hitam dengan sampul kulit. Sebuah kartu nama.
Dr. Andi Wirawan, Sp.KJ
psikiater
Praktek Pribadi, Jl. Diponegoro No. 71, Jakarta Pusat
No. Telepon/HP: 0812-3456-7890
Email: mailto:andi.wirawan79.co.id
Sertifikasi: Spesialis Psikiatri (Sp.KJ), Anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Psikiatri Indonesia (PDSPI)
Jam Praktik: Senin-Jumat, 09.00-17.00 WIB
Kama menghela napas lega, merosot duduk dan bersandar di samping ranjang. Dia menengadahkan kepalanya, bertumpu di atas kasur.
"Apa gue harus ke sini lagi?" Gumamnya lirih. Dia memejamkan mata, mengusir flashback masa lalunya. Awal mula hidupnya menjadi seperti sekarang, belangsak, bejat, dan berakhir menjadi shit of a jerk*
(*Shit of a jerk : Orang yang menyebalkan, tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki etika)
...****************...
Pagi hari yang lain, setiap orang menyambutnya dengan berbeda-beda. Ada yang bersemangat, ada yang masih loyo, ada pula yang biasa saja. Bagaimana denganmu?
Bagi Hara, hari baru adalah jadwal baru, tapi tidak dengan rutinitasnya. Dari semenjak kecil hingga kini dewasa, rutinitas Hara hampir selalu sama, yang membedakan hanya statusnya saja.
Jika dulu dirinya berstatus pelajar, maka saat ini statusnya adalah budak corporate. Dan jika dulunya dia hanya perlu berjalan kaki untuk berangkat sekolah, maka kali ini dia harus mengendarai kuda besinya untuk bisa sampai ke tempatnya mencari nafkah.
Rutinitas Hara pagi ini sedikit terganggu, karena semalam dia terlalu lelah dan tertidur begitu lelap, hingga alarm pengingat untuk menyiapkan buku service rutin motornya sama sekali tidak terdengar.
Dan saat dia membuat jadwal di buku jurnalnya setelah sholat subuh, Hara kebingungan mencari buku tersebut.
"Oh iya lupa" Hara menepuk jidatnya. "Bulan kemarin kan Amir yang nyervis, pasti bukunya ketinggalan di kantor"
Hara segera mengambil ponselnya dan kemudian menekan speed dial nomor 5.
Tuut...tuuut...tuuut...
Terdengar nada sambung, namun tak kunjung terhubung. Hara menoleh ke arah jam dinding, empat tiga puluh. Mungkin saja Amir masih tidur.
Hara kemudian memutuskan mengirim pesan saja kepada Amir
Hara : Mir nanti tolong servisin motor saya ya, motornya di tempat parkiran biasa, nanti kunci sama buku servisnya saya taruh di meja, saya ada meeting di luar, uangnya nanti saya transfer. Terima kasih.
Memang cuma Amir penyelamatnya di kota besar ini, selain Sinta dan bu Inggar tentunya.
Tak heran Hara memasukkan kontak Amir sebagai salah satu daftar speed dial.
Setelah memastikan semua jadwalnya teratur dan rapi, Hara mulai bersiap-siap melakukan segala ritualnya sebelum berangkat kerja.
Kini tepat pukul setengah delapan pagi, Hara sudah ada di parkiran tempat kost-nya, sedang memanaskan motornya dan kemudian memakai helm.
"Neng Hara" Panggil suara familiar yang setiap pagi selalu menyapa Hara.
"Berangkat pak Mul" Hara yang ingin menghindar dari gigihnya rencana pak Mul dalam menjodohkannya itupun segera tancap gas saat pak Mul mulai berjalan mendekat, tidak memberikannya lagi kesempatan basa-basi masuk ke dalam rutinitas paginya, baik rutinitas pak mul atau miliknya sendiri.
Tidak ada yang aneh atau berbeda dari paginya kali ini, semua normal, mulai dari lalu lintasnya yang macet, cuacanya yang memang sedang berada di musim kemarau, polusi udara serta suara dari setiap kendaraan bermotor yang turun ke jalan, bahkan sebagian spanduk dan papan promosi jalanan masih sama seperti kemarin-kemarin.
Hara menghela napas sambil tersenyum. Inilah cita-citanya, menjalani hidup yang sama setiap hari tanpa ada masalah yang harus keluar jalur.
Pukul sembilan kurang sepuluh menit, Hara sudah memarkirkan motornya di parkiran basement gedung berlantai lima belas itu.
Frank & Co. Sebuah perusahaan swasta asing yang bergerak di bidang akuntan publik dan telah berdiri sejak tahun dua ribu itu merupakan salah satu perusahaan akuntan yang bonafit di kota besar ini.
Perusahaan ini menyediakan konsultasi keuangan meliputi audit keuangan, perpajakan dan juga pengelolaan keuangan perusahaan. Kliennya berskala nasional dan juga internasional.
Tak heran, siapapun yang menjadi bagian dari perusahaan ini merasa patut berbangga hati. Bagaimana tidak, untuk seleksi masuk penerimaan pegawainya saja membutuhkan banyak sekali kriteria. Bukan seseorang yang good looking yang mereka rekrut, berapapun usia para pelamar tidak jadi masalah, point paling utama di terima di pekerjaan ini haruslah pandai dan tahan banting.
Dan Hara, dengan predikat magna cumlaude-nya serta keteraturan hidup juga sifat perfeksionisnya berhasil mendapatkan skor sempurna dalam seleksi masuk penerimaan pegawainya. Ace dari Frank & Co.
Hara yang memasuki lobby kantornya itu segera menghampiri meja resepsionis. Meminta kepada wanita berparas ayu yang selalu tersenyum ramah dengan rambut bersanggul rendah itu agar nanti Amir mampir ke ruangannya.
"Baik Bu Hara" Jawabnya sopan penuh sikap profesional.
"Mbak Hara aja" Balas Hara tersenyum dan pergi setelah mendapat anggukan dari resepsionis ayu tersebut.
Hara berjalan menuju palang pintu akses kontrol, lalu menempelkan id card miliknya dan masuk setelah palang itu membuka.
Sudah banyak karyawan yang datang, masing-masing dari mereka ada yang membawa kopi dari salah satu cafe terkenal berlogo wanita berambut panjang dengan latar warna hijau, dan ada juga yang sekedar membawa bungkusan plastik berisi sandwich sebagai sarapan mereka.
Semua itu adalah pemandangan normal di pagi Hari untuk Hara.
"Mowning" Suara Sinta yang ogah-ogahan membuat Hara sedikit berjengit ketika dia menunggu lift.
"Masih ngantuk miss?" Guyon Hara demi melihat penampilan Sinta yang sudah seperti zombie, dengan mata merah dan kantung yang menghitam yang kini sedang menguap lebar.
"Gila kerjaan gue" Sinta memutar kedua matanya, "Kemarin gue pulang jam dua belas dong, tidur cuma tiga jam doang, masih bisa berangkat kerja udah bagus banget menurut gue" Gerutunya sendiri.
Hara yang melihatnya hanya bisa tersenyum geleng-geleng kepala. Tak ingin mengomentari gaya hidup Sinta yang YOLO, sebab setidaknya sedikit banyak gaya hidup Sinta lah yang kerap membuatnya lembur.
"Kalau gue mau berubah kayak lo kira-kira mati nggak ya gue?" Ujuk-ujuk Sinta bertanya kepada Hara, membuat Hara langsung terbahak.
"Wah ngetawain gue nih bocah" Desis Sinta dengan kesal, lalu melipat kedua tangannya di dada. "Memang tampang gue gak meyakinkan gitu buat berubah?" Lanjutnya lagi dengan ekspresi marah yang kentara sekali kalau di buat-buat.
Hara semakin tergelak, kali ini sembari memegangi perutnya. Bukan tanpa alasan Hara mentertawakan ucapan Sinta, pasalnya hal itu sudah di ucapkan Sinta ribuan atau mungkin jutaan kali, entahlah, yang pasti setiap selesai lembur Sinta pasti akan selalu bertekad untuk berubah menjadi seseorang yang lebih teratur lagi, namun keinginan itu tidak akan bertahan lama.
Lihat saja, setelah meminum morning coffe-nya nanti, dirinya pasti akan membatalkan keinginan asal bunyinya tersebut.
Melihat Hara yang masih terbahak, Sinta kemudian menyeletuk "Gue sumpahin lo bakalan dapet pacar yang menganut YOLO juga, hidup teratur vs hidup asal-asalan. Bentrok-bentrok dah tuh." Katanya sembari menyejajarkan kedua tangannya lalu membuatnya bertubrukan.
Hara terdiam mendengar penuturan Sinta, memandangnya lekat-lekat. Mata mereka saling mengunci.
Ting
Terdengar suara pintu lift yang terbuka, membuat kontak mata mereka terputus, dan memaksa mereka untuk segera masuk ke dalam lift sebelum mereka tidak kebagian tempat akibat banyaknya orang yang ikut mengantri untuk masuk.
"Lo serius nyumpahin gue?" Bisik Hara.
"Yups" Sinta menaikkan bahunya mantap. "Gue penasaran aja orang seteratur lo punya pacar yang hidupnya asal-asalan, kira-kira siapa yang menang?" Lanjutnya sambil berbisik.
Hara terdiam, berpikir. Membayangkan bagaimana jika sumpahan Sinta menjadi kenyataan. Otaknya yang terbiasa menyusun jadwal itupun memetakan kira-kira kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan terjadi dan bagaimana solusinya.
Hingga mereka tiba di lantai tujuan pun Hara masih tetap terdiam, begitu pula Sinta. Mereka kompak keluar dari lift dan berjalan menuju ke ruangan mereka.
Masih sama-sama terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Nggak deh" Hara akhirnya bersuara.
"Nggak mungkin" Ucap Sinta berbarengan.
Hara dan Sinta kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Jadi lo juga mikirin sumpahan gue?" Tanya Sinta di sela tawanya.
"Iya lagi, ngapain ya? Dong dong banget gue" Hara pun masih tertawa. Mengapa dia repot-repot memikirkan sumpahan Sinta yang asal lalu itu.
Dan tau apa yang membuat lebih heran, dalam pemikirannya itu terbersit lah nama Kama.
wait, seriously? Kama?
Tidak, mungkin ini hanya efek dari kejadian beberapa hari ini yang membuatnya terus terhubung dengan Kama. Tau lah ya, seperti efek domino, satu kejadian kecil yang menyerempet ke kejadian yang lainnya, hingga pada akhirnya membuat nama Kama melekat di ingatan meski pada awalnya tidak pernah ada nama itu di hidupnya.
Hara bergidik, mengusir bayangan suara telepon Kama semalam. Tentang dia yang menangis dan terdengar sangat putus asa.
Nggak, jangan pikirin lagi, yang penting dia masih hidup. Urusan beres.
Batin Hara sembari menyalakan tombol power di komputer miliknya. Saat dirinya mulai berkonsentrasi dengan layar monitornya, Amir yang memang memiliki janji dengan dirinya itu pun datang.
"Mbak Hara ngambil buku servis"
Hara mendongak ke arah suara dan terkejut mendapati keadaan Amir saat ini. Berdiri di depannya dengan membawa buket bunga berukuran super besar yang menutupi separuh badan Amir.
"Apaan itu Mir?" Sinta yang baru saja datang dari pantry dengan segelas kopinya itu bertanya penasaran.
"Pagi-pagi udah ada yang pesen buket bunga segede gaban. Ada yang mau propose (melamar) ya? Nggak banget deh propose di kantor" Sinta mengomel sendiri kemudian duduk bersilang kaki di kursinya menghadap Amir dan Hara.
Hara pun sebenarnya juga penasaran, tapi itu bukan urusannya.
"Taruh dulu Mir bunganya" Suruh Hara, sembari dia mencari buku servis yang ada di lacinya.
"Agak siangan juga nggak papa Mir, gak harus pagi-pagi begini servisnya. Saya juga sudah telepon bengkelnya, bilang nanti kamu kesana, udah di booking kok" Hara yang masih saja nyerocos sendiri itu tidak sadar bahwa Amir kesulitan menempatkan buket bunga berukuran super besar itu di mejanya.
Amir ragu-ragu, antara akan menaruhnya atau tidak, demi mendapati meja kerja Hara yang tidak terlalu besar itu sudah penuh dengan barang-barang.
Amir takut malah akan merusak atau mengacaukan laporan Hara kalau dia sembarangan menaruh bunga tersebut.
"Ribet banget sih Mir" Sinta yang tidak sabaran melihat sikap Amir pun angkat suara.
"Ini takutnya rusak mbak Sinta" Jawab Amir tersenyum sungkan.
"Iya juga sih, kayaknya mahal tuh buket. Ati-ati Mir, ntar lamarannya di tolak, lo lagi yang di salahin" Balas Sinta, sembari meniup-niup cangkir kopinya. Masih saja asyik melihat Hara yang kini tengah sibuk mengecek jadwal servis berkala di buku servis miliknya dan Amir yang takut-takut mengemban tugas buket bunganya itu.
"Nih Mir" Hara yang telah selesai mengecek buku servisnya itupun memberikannya kepada Amir, beserta kunci motor dengan gantungannya yang hanya berupa pita merah panjang biasa.
"Nah kalau gitu, nih mbak Hara" Amir menyerahkan buket bunga itu kepada Hara, sementara tangan yang lain menerima buku pemberian Hara. Pertukaran pun terjadi.
Hara yang masih tidak paham itu ikut saja menerima uluran bunga dari Amir.
"Wangi banget bunganya, seger" Hara sedikit mencium aroma wangi yang menguar dari sekumpulan bunga lily dan tulip berwarna putih tersebut. "Di terima sih ini" Hara menoleh ke arah Sinta kemudian dagunya menunjuk ke arah buket yang kini dia pegang.
"Pastinya, kelihatan mewah begitu buketnya. Nggak mungkin di tolak lah" Sinta menjawab dengan yakin, mereka membahas siapa wanita beruntung yang akan di lamar dengan buket bunga indah nan mewah tersebut.
"Ikutan nyium dong" Sinta kemudian memanjangkan lehernya untuk menghirup aroma segar bunga. Dia menarik napas dalam, mengisi parunya dengan sebanyak-banyaknya wangi bunga yang semerbak.
Amir yang sudah memasukkan buku servis kedalam sakunya dan mengalungkan kunci motor Hara ke lehernya itu pun kemudian pamit.
"Udah beres ya mbak Hara, kalau gitu saya berangkat sekarang"
"Eh.." Hara terkesiap, "Loh ini buketnya" Mengangsurkan kembali buket bunga itu dengan kedua tangannya.
"Itu buket buat mbak Hara" Jawab Amir polos.
"Hah?!"
"Hah?!" Sinta dan Hara sama-sama memekik.
"Buat saya?"
"Buat Hara?" Kembali Hara dan Sinta kompak bertanya.
"Iya mbak" Amir yang saat ini justru bingung itu menoleh ke arah Hara dan Sinta bergantian.
"Dari siapa?" Sinta yang lebih dulu menyuarakan isi hati Hara yang saat ini hanya terlolong syok memandang buket di tangannya.
"Waduh saya lupa nanya mbak, tapi yang nganter pak polisi yang kemarin, yang sama waktu nganter amplop itu loh mbak" Jawab Amir.
"Kama?!" Hara memekik.
"Komo?!" Sinta bertanya dengan keras.
"Nggak tau namanya mbak" Amir yang kini takut melihat kedua wanita di hadapannya itu sedang melotot buru-buru menundukkan kepala, pamit dan segera pergi dari sana.
Kini Hara dan Sinta saling bertatapan, lalu menunduk ke arah buket indah yang sedang di peluk Hara, dan kembali bertatapan.
"Sakit jiwa tuh orang" Sinta mendesis sembari menggelengkan kepalanya.
kasih kesempatan sama Kama dong,buat taklukkin Hara😁😁
menjaga pujaan hati jangan sampai di bawa lari cowok lain🤣🤣🤣
Nggak kuat aku lihat Kama tersiksa sama Hara🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
aku bakalan nungguin kamu yang bucin duluan sama Hara😁😁😁
tiba-tiba banget Pak Polici kirim buket bunga pagi' 😁😁😁😁😁
tapi kenapa tiba-tiba Hara telp ya????