NovelToon NovelToon
AIRILIA

AIRILIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Duniahiburan / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Irla26

Airilia hidup dalam keterbatasan bersama ibunya, Sumi, yang bekerja sebagai buruh cuci. Ayahnya meninggal sejak ia berusia satu minggu. Ia memiliki kakak bernama Aluna, seorang mahasiswa di Banjar.

Suatu hari, Airilia terkejut mengetahui ibunya menderita kanker darah. Bingung mencari uang untuk biaya pengobatan, ia pergi ke Banjar menemui Aluna. Namun, bukannya membantu, Aluna justru mengungkap rahasia mengejutkan—Airilia bukan adik kandungnya.

"Kamu anak dari perempuan yang merebut ayahku!" ujar Aluna dingin.

Ia menuntut Airilia membiayai pengobatan Sumi sebagai balas budi, meninggalkan Airilia dalam keterpurukan dan kebingungan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irla26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18. Rujak Mangga

Di taman rumah sakit, dokter Sila mencoba menenangkan Airilia yang sedang menangis.

"Jadi, ibu saya harus segera menjalani kemoterapi, Dok?" tanya Airilia dengan suara bergetar.

Dokter Sila mengangguk. "Iya, Ibu Sumi harus segera mendapatkan penanganan, karena kanker yang dideritanya sudah semakin parah."

Airilia mengusap air matanya yang terus mengalir. "Kalau boleh tahu, berapa biaya kemoterapinya, Dok?"

"Sekitar lima juta rupiah," jawab dokter Sila.

Airilia menggigit bibirnya, berpikir keras. "Saya akan berusaha mencari uangnya secepat mungkin. Saya ingin ibu segera menjalani kemoterapi."

Dokter Sila tersenyum simpati. "Saya harap kamu bisa menemukannya tepat waktu." Setelah berkata demikian, dokter Sila meninggalkan Airilia yang masih terduduk di bangku taman.

Kemana aku harus mencari uang sebanyak itu? batin Airilia. Aku harus menemui Kak Luna. Mungkin dia bisa membantu.

Ia menghapus air matanya, menguatkan hati, lalu kembali ke ruang rawat ibunya.

Sesampainya di sana, Sumi menatapnya penuh harap. "Lia, bagaimana? Apa ibu bisa pulang hari ini?"

Airilia menggeleng pelan. "Ibu, dokter Sila menyarankan ibu untuk segera menjalani kemoterapi agar bisa sembuh."

Sumi menghela napas berat. "Ibu tidak mau. Biayanya pasti sangat mahal. Dari mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu?"

"Ibu jangan pikirkan soal biaya. Biar aku yang cari uangnya," kata Airilia mantap.

Sumi tersenyum sedih. "Ibu tidak mau menjadi bebanmu lebih lama. Ibu sudah tua, Nak."

Airilia tak bisa menahan air matanya lagi. Ia berlutut dan bersujud di kaki ibunya.

"Bu, tolong... Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain ibu," isaknya.

Sumi terkejut, lalu segera menarik Airilia ke dalam pelukannya. "Jangan bilang begitu. Kamu masih punya Kak Luna."

"Tapi aku ingin ibu... bukan Kak Luna," ujar Airilia, memeluk ibunya erat.

Sumi terdiam sejenak, lalu mengusap kepala Airilia dengan lembut. "Baiklah. Ibu akan menjalani kemoterapi, tapi dengan satu syarat."

"Apa pun itu, aku pasti akan mengabulkannya," kata Airilia penuh harap.

"Syaratnya... kamu harus jadi juara kelas tahun ini."

Airilia tertegun, lalu tertawa kecil di tengah air matanya. "Itu gampang, Bu. Aku selalu jadi juara setiap tahun."

Sumi tersenyum. "Sombong sekali kamu," godanya sambil menggelitik perut Airilia.

"Bu, ampun! Perutku sakit!" Airilia tertawa terpingkal-pingkal, merasa lebih lega setelah obrolan itu.

---

Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Sumi melihat Airilia yang sudah terlelap di sofa kecil di sudut ruangan. Ia menatap ke luar jendela, pikirannya kembali ke percakapannya dengan dokter Sila sore tadi.

(Flashback - Sebelum Airilia kembali ke rumah untuk mengambil pakaian)

Dokter Sila memasuki ruang rawat Sumi dengan senyum hangat. "Ibu Sumi, tadi Airilia menitipkan pesan agar saya menjaga Anda sebentar, karena dia harus pulang untuk mengambil pakaian ganti."

Sumi mengangguk. "Terima kasih, Dok."

Dokter Sila memeriksa kondisi Sumi, lalu berkata, "Saya membawa kabar baik. Karena ibu memiliki BPJS, semua biaya kemoterapi dan pengobatan lainnya akan ditanggung sepenuhnya. Mulai besok, ibu sudah bisa menjalani kemoterapi."

Namun, Sumi hanya menggeleng pelan. "Saya tidak mau, Dok. Saya sudah lelah hidup."

Dokter Sila terkejut. "Kenapa? Anda masih punya anak yang ingin Anda tetap hidup."

Sumi tersenyum getir. "Jika saya hidup lebih lama, itu hanya akan menjadi beban bagi Airilia. Saya tidak ingin membuatnya terus-menerus mengkhawatirkan saya."

Dokter Sila terdiam, memahami kepedihan seorang ibu yang merasa pasrah akan hidupnya.

"Ibu Sumi, apakah Anda tidak ingin sembuh? Airilia pasti akan sangat senang jika ibunya tetap ada di sisinya."

Sumi terdiam sejenak, lalu berkata, "Dok, bolehkah saya meminta dua lembar kertas dan sebuah pena?"

Dokter Sila mengangguk dan segera memberikan apa yang diminta. Sumi menulis sesuatu di atas kertas, lalu menatap dokter Sila dengan penuh harapan.

"Dok, bisakah saya meminta satu hal lagi?"

"Tentu. Ibu Sumi ingin apa?"

Sumi membisikkan sesuatu di telinga dokter Sila, lalu menyerahkan dua lembar kertas yang telah ia lipat.

"Terima kasih, Dok."

Dokter Sila tersenyum kecil, lalu pergi meninggalkan ruangan.

---

Sementara itu, di rumahnya, Aluna sedang menonton TV. Matanya tertuju pada tayangan seorang artis yang tengah menikmati rujak mangga muda.

"Kayaknya enak nih kalau makan rujak mangga malam-malam," gumamnya.

Ia melirik jam di ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Tanpa pikir panjang, ia segera menelepon Reza.

"Ya, ada apa?" jawab Reza dari seberang telepon.

"Mas, tolong belikan aku mangga muda. Anakmu kepingin," pinta Aluna manja.

"Jam segini mana ada yang jual mangga? Jangan aneh-aneh, deh," jawab Reza kesal.

"Aku nggak mau tahu! Kamu harus cari sampai dapat! Kalau nggak, aku akan ke rumah Dinda sekarang dan menceritakan semuanya," ancam Aluna.

Reza mendesah berat. "Oke, aku akan cari."

Setengah jam kemudian, Reza tiba di rumah Aluna dengan membawa sebuah plastik hitam.

"Ini mangganya," katanya, meletakkan plastik di meja.

Aluna membuka plastik itu dan langsung mengerutkan dahi. "Loh, kok cuma satu biji?"

"Itu aja yang sisa. Untung masih dapat," ujar Reza santai.

Tanpa banyak protes, Aluna segera ke dapur untuk mengambil pisau dan piring. Ia mulai mengupas mangganya dengan antusias.

Saat itu, ponsel Reza berdering. Ia melihat layar dan langsung terkejut—Dinda yang menelepon!

Ia buru-buru menjauh dari Aluna sebelum mengangkatnya. "Ada apa, sayang?"

"Kamu di mana, Mas?" tanya Dinda dari seberang sana.

"Aku lagi di luar sama teman. Kenapa?"

"Nanti kalau pulang, beliin aku mangga muda, ya? Aku lagi pengen makan yang asem-asem," kata Dinda manja.

Reza melirik Aluna yang sedang mengupas mangga. Dengan cepat, ia meraih setengah mangga yang tersisa dan menutup mulut Aluna sebelum ia sempat protes.

"Iya, sayang. Nanti aku belikan. Assalamualaikum," katanya buru-buru sebelum menutup telepon.

"Mas, kenapa manggaku diambil?" protes Aluna.

"Udah, kamu kan sudah makan. Ini buat Dinda, ya?"

"Kenapa nggak beli lagi aja?" cemberut Aluna.

"Udah nggak ada, ini yang terakhir," ujar Reza cepat.

Aluna menghela napas kesal. "Kalau gitu, ganti uang aja deh."

Reza mengeluarkan sepuluh lembar uang merah dari dompetnya. "Ini, nanti aku tambahin lagi."

"Janji?"

"Janji."

Setelah itu, Reza pun pergi. Sesampainya di rumah, ia tersenyum saat melihat Dinda menyambutnya dengan hangat.

"Mas, mana mangganya?"

Reza menyerahkan plastik hitam itu. Saat dibuka, Dinda terkejut. "Kok tinggal setengah?"

"Tadi aku makan sedikit di jalan," jawab Reza santai.

Dinda melotot, tapi akhirnya tetap memakan mangga itu dengan lahap.

Bersambung

1
rania
Kasihan Dinda, peluk jauh🥺🥺
R-man
cerita nya menarik !!
Maximilian Jenius
Wah, gak sabar nunggu kelanjutan ceritanya, thor! 😍
Madison UwU
Menyentuh
indah 110
Tolong update cepat, jangan biarkan aku mati penasaran 😩
Farldetenc: Ada karya menarik nih, IT’S MY DEVIAN, sudah End 😵 by farldetenc
Izin yaa
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!