Airilia seorang gadis yang hidup serba kekurangan, ayahnya sudah lama meninggal sejak ia berusia 1 minggu. Airilia tinggal bersama ibunya, bernama Sumi yang bekerja sebagai buruh cuci. Airilia merupakan anak kedua dari dua bersaudara, kakaknya bernama Aluna yang berstatus sebagai mahasiswa yang ada di banjar.
Pada suatu hari, Airilia kaget mendengar Sumi terkena kanker darah. Airilia yang tidak tau harus kemana mencari uang, ia berangkat ke banjar untuk menemui Aluna, agar Aluna mau meminjamkan uang untuk pegangan saat Sumi masih di rawat dirumah sakit.
Alih-alih meminjamkan uang, Aluna justru membongkar identitas Airilia sebenarnya. Aluna mengatakan bahwa Airilia anak pelakor yang sudah merebut ayahnya. Sumi yang berlapang dada merawat Airilia semenjak ibunya mengetahui ayahnya meninggal karena kecelakaan. Aluna yang menuntut Airilia harus membiayai pengobatan Sumi sebagai bentuk balas budi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irla26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Rujak Mangga
Ditaman rumah sakit, dokter Sila menenangkan Airilia yang sedang menangis.
"Jadi, ibuku harus secepatnya melakukan kemoterapi, dok?"dokter Sila mengangguk.
"Iya, ibu Sumi harus secepatnya mendapatkan penanganan, karna kanker yang diderita ibu sumi udah semakin parah".
"Kalau boleh tau berapa biaya untuk kemoterapi?".
"Sekitar lima juta..".
"Aku usahakan besok, ada uangnya, agar ibuku secepatnya melakukan kemoterapi" dokter Sila mengangguk dan pergi meninggalkan Airilia di taman.
"Kemana aku harus mencari uang untuk biaya kemoterapi ibu?aku harus menemui kak Luna , untuk membicarakan tentang penyakit ibu, siapa tau kak Luna bisa bantu?" batin Airilia sambil menghapus airmata, ia kemudian beranjak dari tempat duduk dan pergi untuk menemui Sumi di ruangannya.
"Lia, bagaimana, apa ibu bisa pulang hari ini?"Airilia menggeleng.
"Bu, ibu diminta dokter Sila untuk melakukan kemoterapi agar ibu bisa sembuh".
"Ibu enggak mau melakukan kemoterapi, biayanya sangat mahal, dari mana ibu dapat uang?".
"Ibu fokus kemoterapi aja, biar aku yang cari uang".
"Ibu enggak mau terlalu jadi beban kamu?ibu enggak perlu kemoterapi karna ibu juga udah tua" Airilia menangis, ia bersujud di kaki Sumi.
"Lia, apa yang kamu lakukan?" Sumi bangun, ia menarik kedua kakinya.
"Bu, aku mohon, aku enggak punya siapa-siapa lagi selain ibu" Sumi ikut menangis, ia menarik Airilia kedalam pelukannya.
"Kata siapa?Lia masih punya kak Luna" Airilia menggeleng.
"Aku maunya ibu, bukan kak Luna".
"Udah jangan menangis, ibu mau melakukan kemoterapi asal ada syaratnya?".
"Apa syaratnya?aku pasti akan mengabulkannya?".
"Syaratnya adalah kamu harus juara kelas tahun ini".
"Itu gampang bu, setiap tahun aku selalu jadi juara".
"Sombong banget kamu" Sumi menggelitik Airilia.
"Bu, ampun bu, perut aku sakit" Sumi menghentikan dan Airilia kembali.
Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, Sumi melihat Airilia sedang tidur di sofa yang sudah di sediakan pihak rumah sakit. Sumi memandangi luar jendela, ia mengingat perkataan dan permintaan kepada dokter Sila tadi setelah Airilia pulang untuk mengambil pakaian.
(Flashback Airilia ketika mengambil pakaian)
Dokter Sila masuk ruangan rawat Sumi, ia menghampiri pasiennya.
"Ibu Sumi, anak anda baru saja menitipkan pesan untuk menjaga anda selama ia mengambil pakaian ganti".
"Terima kasih, dok" dokter Sila memeriksa kondisi Sumi.
"Ibu Sumi, saya mau kasih kabar bahagia, berhubung ibu Sumi punya Bpjs, maka untuk kemoterapi dan yang lainnya, termasuk obat gratis di tanggung Bpjs kesehatan. Jadi, mulai besok ibu Sumi udah bisa menjalani kemoterapi" Sumi menggeleng pelan.
"Saya enggak mau, dok, saya udah cape hidup".
"Mengapa?bukankah anda masih punya anak yang menginginkan ana untuk tetap hidup?".
"Kalau saya hidup lebih lama, maka saya akan menyusahkan Airilia lebih lama lagi. Saya enggak mau jadi beban untuk Airilia" dokter Sila diam, ia mendengar curhatan seorang ibu yang sudah pasrah akan hidupnya.
"Apakah ibu sumi enggak ingin sembuh? Airilia pasti senang kalau ibunya sembuh?".
"Dok, apa boleh saya minta dua lembar kertas dan satu pena" dokter Sila mengangguk, ia memberikan apa yang diminta ibu Sumi. Sumi menulis di kertas itu lalu kemudian menatap dokter Sila.
"Dok, saya boleh minta sesuatu?".
"Boleh, ibu Sumi mau minta apa?" Sumi membisikan sesuatu ditelinga dokter Sila dan memberikan dua lembar kertas yang sudah ia lipat.
"Terima kasih, dok" dokter Sila tersenyum dan pergi meninggalkan ruangan Sumi.
.
.
.
Aluna sedang nonton tv, tidak sengaja melihat seorang artis sedang makan mangga muda.
"Kayaknya, enak jam begini, makan rujak mangga" Aluna melihat jam di ponsel menunjukkan pukul 7 malam. Aluna menelpon Reza untuk membelikan ia mangga muda.
"Ya, ada apa?".
"Mas Reza, tolong belikan aku mangga. Anakmu ingin makan mangga muda"
"Mana ada jam segini orang jualan mangga, jangan aneh dih kamu, Luna?".
"Aku enggak mau tau, kamu harus carikan aku mangga sampai dapat, kalau enggak aku akan kerumah Dinda sekarang dan mengatakan semuanya".
"Oke, aku akan mencarikannya" Aluna senang, ia tidak sabar untuk makan mangga muda itu.
Setelah hampir setengah jam menunggu, akhirnya Reza datang sambil membawa plastik hitam ditangannya.
"Ini mangga yang kamu minta" Reza meletakkan plastik hitam di atas meja.
Aluna membuka plastik hitam itu, ia kaget isinya cuma satu biji.
"Loh, kok cuma sebiji " Aluna menatap Reza untuk meminta penjelasan.
"Iya, cuma sisa itu. Untung aja dapet, kalau enggak gimana?"tanpa banyak protes, Aluna segera kedapur untuk mengambil piring dan pisau.
"Enaknya, kamu mau coba?" Reza menolak, ia melihat Aluna makan sambil geleng-geleng kepala.
Tiba-tiba ponsel Reza berdering, ia segera melihat layar ponsel dan kaget yang menelpon adalah Dinda, istri pertamanya. Reza menjauh dari Aluna, ia tidak ingin Dinda mendengar suara Aluna.
"Ada apa sayang?".
"Kamu dimana, mas?"tanya Dinda dari seberang sana.
"Aku sedang diluar bersama teman, emang ada apa?".
"Nanti, kalau pulang, beliin aku mangga muda, aku sedang ingin makan yang asem, gitu" mendengar keinginan Dinda, Reza melihat Aluna ingin mengupas sisa mangga ditangannya, dengan cepat ia mengambil sisa mangga tersebut. Aluna mau berbicara tapi ditutup mulutnya oleh Reza.
"Iya, sayang, nanti aku belikan. Assalamualaikum" Reza langsung menutup teleponnya.
"Ngapain sih kamu, mas?sini mangganya, aku mau mengupas lagi?".
"Kamu udah makan, ini sisanya buat Dinda, ya?".
"Loh, kamu kan bisa beli lagi".
"Enggak ada, udah habis, cuma tinggal ini doang tadi" Aluna kesal dan cemberut.
"Gini aja deh, aku ganti uang, gimana?" Aluna mengangguk dan menadahkan tangannya.
"Aku punya uang cuma segini, nanti aku tambahin lagi" Reza memberikan sepuluh lembar uang merah kepada Aluna.
"Janji, ya, nanti tambahin".
"Iya, aku pulang dulu" Reza pamit dan tidak lupa mencium kening Aluna.
Sesampainya dirumah, Reza tersenyum melihat Dinda menyambutnya dengan hangat.
"Mas, dimana mangganya?" Reza memberikan plastik hitam kepada Dinda.
Dinda segera membawa ke meja, ia mengambil piring dan pisau. Saat dibuka, Dinda terkejut karena mangganya cuma sisa setengah.
"Mas, kok cuma satu biji dan enggak utuh lagi?".
"Iya sayang, tadi aku makan dijalan sedikit, enggak papakan" Dinda melotot, namun akhirnya ia makan juga sisa mangga tersebut.
"Mas, Lusa kakak dan kakak ipar aku mau datang, katanya mereka mau mengurus kerjaan disini".
"Benarkah, pasti mereka juga kangen sama Rehan".
"Rehan enggak tau sih, kalau ibu dan ayahnya datang? katanya mau suprise gitu".
"Sayang, gimana kita juga bikin suprise sama meraka tentang kehamilan kamu?".
"Wah, kamu benar juga sayang. Aku enggak sabar ngeliat reaksi kak Andira" Dinda tersenyum.
*Bersambung*