Apa yang akan terjadi pada Jamilah setelah tiga kali dilangkahi oleh ketiga adiknya?.
Apa Jamilah akan memiliki jodohnya sendiri setelah kata orang kalau dilangkahi akan susah untuk menikah atau mendapatkan jodoh?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Wanita Pelangkah
Kini mereka bertiga sudah berada disebuah kamar. Alexander, Daddy Emir dan Jamilah.
Alexander sudah menatap waspada pada Daddy Emir. Beberapa tahun silam, formasi seperti ini pernah terjadi. Namun kala itu Mommy nya yang ada pada posisi Jamilah.
"Cepat katakan apa yang ingin kau katakan?." Alexander menatap tidak suka pada keduanya. Ia memiliki firasat apa yang akan dikatakan Daddy nya sangat tidak menguntungkan bagi dirinya.
Daddy Emir menatap intens wajah Alexander dan Jamilah silih berganti sebelum pada akhirnya ia mengatakan juga kebenaran itu pada Alexander.
"Daddy dan ibu guru Jamilah, kami sudah menikah. Kami sudah menjadi suami istri. Yang artinya ibu guru Jamilah sudah menjadi ibu sambung mu."
Alexander tersenyum miring, menoleh pada Jamilah yang sudah memperhatikannya.
"Itu lebih baik, dari pada kau harus menikah dengan siluman rubah itu." Tegas Alexander mendekati dan langsung memeluk Jamilah.
Emir tidak tahu lagi apa yang harus dikatakannya atas apa yang sedang terjadi saat ini. Apa yang membuat Alexander mau menerima Jamilah?. Atau apa yang dimiliki Jamilah sampai Alexander merestui pernikahannya dengan Jamilah. Tapi yang jelas ia sangat senang mengetahui hal itu. Jadi ia tidak harus bersusah payah untuk membujuk Alexander atau memberinya pengertian.
Kini Emir membawa Jamilah untuk menuju kamarnya yang ada dilantai dua. Bersebelahan dengan kamar Alexander. Jamilah meletakkan tas kecil yang di bawanya.
"Letakkan saja semua baju mu di lemari sebelah. Masih ada tempat kosong." Emir menunjuk lemari yang dimaksudnya.
Jamilah langsung saja memasukkan bajunya setelah mengucapkan terima kasih. Jamilah meminta izin untuk melaksanakan kewajibannya setelah tahu arah kiblat dan membersihkan diri saat sudah terdengar adzan Dzuhur.
Emir pun segera keluar untuk memberikan Jamilah kebebasan untuk melakukan kegiatannya tanpa ada gangguan.
Jangan ditanyakan lagi iman Emir dari dulu sampai sekarang seperti apa?. Tidak mungkin ia memiliki hidup bebas jika memilki dasar iman yang kuat. Tapi lupakan tentang itu semua. Semoga saja ada perubahan yang di bawa Jamilah pada hidup Emir yang sudah melenceng jauh.
Jamilah kembali turun saat Emir meminta dirinya kebawah karena dipanggil oleh Pak Utomo yang ada diruang tengah.
"Semoga saja Nak Jamilah betah tinggal di rumah ini." Ucap Pak Utomo setelah memperkenalkan Jamilah pada para pegawai yang ada di rumah besar itu.
"Insya Alloh Pak, saya akan betah tinggal disini." Jawab Jamilah tersenyum simpul.
"Kalau ada hal yang menganggu atau kurang berkenan, Nak Jamilah bisa langsung bicara dengan saya." Pak Utomo ingin membuat menantunya itu nyaman untuk tinggal dirumahnya.
Jamilah mengangguk mengiyakan.
"Apa boleh aku pinjam ibu ku?." Alexander menatap Kakek Utomo dan Emir yang baru datang bergabung dengan mereka.
Jamilah menatap Alexander yang berdiri dihadapan mereka.
"Kau bertanya pada siapa Boy?." Tanya Daddy Emir menatap Kakek Utomo.
"Kalian berdua sedang bicara dengan ibu ku kan?. Jadi aku minta izin pada kalian berdua lah!." Jawab Alexander ketus. Tapi sangat lucu menurut Kakek Utomo.
"Tanya lah Daddy mu?, sekarang ibu guru Alexander sudah menjadi istri Daddy mu?." Goda Kakek Utomo.
"Kalau jadi istri Daddy, berarti jadi ibu ku kan?. Jadi seharusnya tidak ada masalah kalau aku ingin bicara dengan ibu ku." Jawab Alexander lagi.
Kakek Utomo merasa senang saat tahu jika Alexander bisa menerima Jamilah dengan cepat.
"Ayo ibu ku!, kita bicara dikamar ku saja. Biar tidak ada yang menguping pembicaraan kita." Alexander menarik lembut tangan Jamilah, tapi sebelum itu Jamilah pamit pada Pak Utomo dan Emir.
.
.
.
Alexander mengunci pintu. Ia membawa Jamilah untuk duduk di depan laptop miliknya.
Dengan sangat cepat Alexander sudah membuka satu folder yang berjudul keluarga.
"Aku tidak akan pernah bisa menerima wanita mana pun selama aku hidup, Kecuali Mommy Isyana, Mommy ku." Alexander memperlihatkan foto Mommy Isyana pada Jamilah dengan raut wajah yang garang.
Jamilah menatap dengan seksama beberapa foto yang terlihat dalam folder itu. Senyum bahagia mereka terlihat begitu nyata. Lalu apa yang memisahkan mereka?.
"Aku mau menerima ibu guru Jamilah, bukan karena semata aku menginginkannya. Tapi aku memiliki tujuan lain. Bantu aku mencari Mommy ku, minta lah pada Tuhan supaya membawa Mommy ku kembali pada ku. Pada kami, supaya kami bisa kembali bersama seperti dulu." Alexander melanjutkan ucapannya, melihat Jamilah yang hanya diam menatap foto-foto itu.
Pedih, hal kedua yang dirasakan Jamilah. Ternyata anak ini pun memiliki maksud sendiri mau menerimanya.
"Dari mana aku bisa membantu mu?." Tanya Jamilah kini menatap Alexander.
Alexander diam untuk beberapa saat, sampai ia kembali membuka mulutnya.
"Ibu guru Jamilah bisa bertanya pada Daddy ku. Hanya Daddy yang tahu kenapa dan kemana Mommy pergi?." Jawab Alexander.
"Ok, aku akan coba membantu mu, tapi itu juga tidak gratis." Jamilah kini yang ingin barter dengan Alexander.
"Bebas, katakan saja?." Tantang Alexander.
"Kamu harus menguasai materi pembagian?." Jamilah balas menantang Alexander.
"Yang lain?." Jawab Alexander dengan ketus.
"Itu yang aku mau?." Ucap Jamilah dengan tegas.
Alexander memperlihatkan wajah yang tidak suka saat terintimidasi seperti ini.
"Aku akan berjuang untuk membantu mu menemukan Mommy Isyana mu. Tapi kamu juga harus berjuang untuk ku dengan menguasai materi pembagian." Jamilah tidak ingin bernegosiasi lagi dengan Alexander.
"Keputusan ada ditangan mu." Jamilah hendak keluar dari kamar.
"Kalau Ibu guru Jamilah sudah berhasil menemukan Mommy ku, Ibu guru harus pergi dari kehidupan Daddy. Supaya kami bisa disebut lagi dengan keluarga yang utuh." Alexander menatap tajam kedua mata Jamilah.
"Pernikahan bukan hal yang mudah kamu pahami saat ini. Kalau pun nanti aku dan Daddy mu harus berpisah, mungkin itu yang terbaik." Jamilah meninggalkan Alexander dengan laptopnya.
.
.
.
Siang berganti malam. Dimana malam ini malam pertama Jamilah berada di rumah ini sebagai istri dari Emir.
Sesuai permintaan Emir, Jamilah mengenakan pakaian lengkap serba panjang dengan hijab yang tidak pernah lepas dari kepalanya.
Emir mengajak Jamilah untuk duduk di balkon. Menikmati langit yang bertabur bintang malam ini. Keduanya sudah duduk saling berdampingan, dengan teh hangat menemani keduanya. Udara dingin malam ini tidak bisa diabaikan keduanya. Hingga Emir mengambil selimut untuk Jamilah.
"Ada yang ingin saya bicarakan." Usai Emir memberikan selimut itu pada Jamilah.
"Silakan saja, katakan!." Jamilah memegang gelas dengan kedua tangannya.
Emir menatap Jamilah yang sedang menempelkan bibirnya pada bibir gelas untuk menyeruput teh yang masih hangat.
"Dalam pernikahan ini, saya hanya bisa menawarkan persahabatan pada mu. Karena ada banyak hal yang belum saya bisa jelaskan satu persatu pada mu. Saya tinggal disini tidak lebih dari tiga bulan, saya ingin menghabiskan waktu bersama Alexander. Setelahnya saja akan kembali ke LA. Karena semuanya berada di sana." Emir menangkap reaksi Jamilah yang biasa saja.
"Apa kamu tahu sesuatu tentang ini?. Sampai reaksi mu biasa saja." Emir penasaran dengan apa yang ada dalam pikiran Jamilah.
Jamilah meletakkan gelas yang sudah kosong itu di atas meja. Lalu Jamilah menggeleng pelan.
"Tidak. Hanya saja saya mencoba berfikir realistis tentang pernikahan cepat yang terjadi pada kita. Pasti ada banyak rahasia yang tidak saya ketahui tentang mu, begitu juga sebaliknya." Jawab Jamilah.
Emir terdiam, menikmati tiupan angin yang menerpa wajahnya.
"Saya sudah memiliki tunangan di LA. Namanya Tiffani. Joy dari kecil sudah sangat dengan Tiffani, sampai semua-semuanya bergantung pada Tiffani. Hanya saja kami terhalang restu Alexander saat itu. Tapi sekarang saya tidak peduli, saya akan tetap menikahi Tiffani walau tanpa restu Alexander. Kami sudah menunggu selama lima tahun, tapi Alexander tidak pernah mau dekat atau menyukai Tiffani." Emir menatap Jamilah yang memejamkan matanya. Lalu kedua mata Jamilah terbuka yang kemudian menatapnya.
"Terima kasih sudah mau menolong saya dan keluarga saya dengan adanya pernikahan ini." Jamilah menundukkan kepalanya sebagai rasa hormat pada orang yang sudah sangat berjasa pada dirinya dan keluarganya.
"Jangan seperti itu. Saya tidak sebaik yang kamu bayangkan. Tegakkan kembali kepala mu!." Emir merasa tidak sampai hati harus mengakui itu pada Jamilah tapi itu lah kenyataannya.
"Selama saya menjadi istri mu, tolong biarkan saya melayani mu walau pun tidak sepenuhnya melayani. Karena kewajiban yang lain sudah dipenuhi oleh wanita lain jauh sebelum saya. Sampaikan permohonan maaf saya pada Tiffani." Nada bicara Jamilah sangat lembut tapi sanggup mengoyak hati Emir sedemikan rupa. Sampai kedua mata Emir tidak sanggup lagi melihat mata Jamilah.
Hening untuk beberapa lama, sampai Jamilah berdiri dan berpamitan pada Emir untuk tidur lebih dulu. Tapi sebelum itu ia bertanya lebih dulu pada Emir, bagiamana pembagian tempat tidur untuk mereka selama di rumah ini.
Jamilah langsung tidur di atas tempat tidur sesuai perintah Emir. Emir yang akan tidur di sofa yang panjang dan lebar di dekat pintu.
Bohong, jika Jamilah tidak terusik dengan kejujuran Emir tentang adanya wanita lain yang jauh sebelum dirinya ada. Seperti keluar dari lubang singa masuk kedalam lubang harimau. Sama-sama membuat hati dan hidupnya selalu penuh kesakitan. Jika kemarin yang melakukan itu para tetangga yang rumahnya saja dekat dengan dirinya. Namun yang sekarang, yang melakukannya adalah orang sudah menikahnya dua hari lalu.
"Secepatnya saya akan membawa mu pada orang sangat tepat untuk mu." Ucap Emir menatap punggung Jamilah.
Keesokan paginya, Jamilah masih memiliki libur cuti dua hari ke depan.
Alexander berangkat sekolah diantar oleh supir Kakek Utomo. Baru nanti pulangnya dijemput Daddy Emir sekalian pulang dari kota. Rencananya Daddy Emir mau membelikan Jamilah beberapa pakaian baru, sebagai bentuk tanggung jawab Daddy Emir sebagai suami.
.
.
.
Sesampainya di kota, Daddy Emir langsung mendatangi salah satu Mall terbesar di kota itu. Memilih semua pakaian yang panjang-panjang dan beberapa hijab untuk Jamilah.. Daddy Emir juga membelikan beberapa perhiasan lagi.
"Ini enggak kebanyak Pak Emir?." Tanya Jamilah menatap semua tentengan yang dibawa masuk Emir ke dalam mobil. Sebab di bagasinya sudah tidak cukup.
"Tidak, malahan semua ini masih kurang." Jawab Emir menatap jam yang ada dipergelangan tangannya. Sebentar lagi waktunya Alexander pulang.
Drt...Drt...Drt...
Ponsel Emir berbunyi saat Emir dan Jamilah sudah berada di dalam mobil.
"Angkat saja teleponnya, tidak masalah. Anggap saja saya tidak ada. Atau saya harus keluar?." Jamilah hendak membuka pintu, tapi Emir keburu menahan tangannya.
Emir pun mengangkat panggilan telepon itu dan mengarahkan kamera pada wajahnya.
"Sayang, lihatlah aku malam ini sudah memakai lingerie kesukaan mu." Ucap Tiffani dari dalam ponsel yang sedang dipegang oleh Emir. Sangat terdengar jelas ditelinga Jamilah.
Y
hhh