Nadira Elvarani yakin hidup pahitnya akan berakhir setelah menerima lamaran Galendra, lelaki mapan yang memberinya harapan baru.
Tapi segalanya berubah ketika ia terlibat skandal dengan Rakha Mahendra—anak bos yang diam-diam menginginkannya—menghancurkan semua rencana indah itu.
Di antara cinta, obsesi, dan rahasia, Nadira harus memilih: hati atau masa depan yang sudah dirancang rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon itsclairbae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 — Ciuman yang Tertunda
Rakha tidak bisa fokus bekerja. Pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan: kemungkinan Nadira salah paham, kemungkinan Nadira menerima tawaran ayahnya, dan—yang paling mengganggunya—kenyataan bahwa mereka tidak sempat berciuman sebelum ia berangkat ke kantor tadi pagi karena kedatangan ayahnya.
Semuanya membuat semangatnya merosot. Ia jadi lebih emosional dan sensitif dalam waktu bersamaan. Beberapa karyawan bahkan tampak menghindar karena takut berinteraksi langsung dengannya. Namun, ada satu orang yang tak bisa menghindar: sekretaris pribadinya, Sekar Ayuningtyas.
"Apa saja jadwal saya hari ini?" tanya Rakha dengan raut wajah yang membuat siapa pun ingin mundur perlahan.
"Nanti siang, sebelum makan siang, Bapak ada rapat. Untuk sementara, hanya itu jadwal Bapak," jawab Sekar dengan sopan, meskipun jelas-jelas ada rasa takut dalam nada suaranya.
"Baiklah, kamu bisa kembali ke ruanganmu," ucap Rakha.
Namun, sebelum Sekar benar-benar melangkah pergi, Rakha kembali berbicara, membuat Sekar terpaksa menghentikan langkahnya.
"Oh ya, saya ingin meminta pendapat kamu," ucap Rakha tiba-tiba.
Langkah Sekar terhenti. Ia berbalik dan kembali menghadap Rakha dengan wajah sedikit bingung.
"Iya, Pak?" tanyanya, mencoba tetap tenang meski jantungnya berdetak lebih cepat.
"Perawatan wajah apa yang bagus untuk perempuan?" tanya Rakha, datar tapi serius. Seolah pertanyaan itu lebih penting daripada rapat siang ini.
Sekar terdiam. Matanya menatap ke atas, bibirnya tertutup rapat. Ia terlihat berpikir keras.
"Untuk Ibu Nadira, maksud Bapak?" tanyanya hati-hati. Bukan menjawab, justru langsung menebak sasaran pertanyaan.
Rakha refleks menggebrak meja. Tidak keras, tapi cukup mengejutkan.
"Kamu bisa baca pikiran saya?" tanyanya tajam, seakan Sekar baru saja membuka rahasia yang selama ini ia simpan sendiri.
Ia memang berniat membeli produk perawatan untuk Nadira. Tapi, bagaimana Sekar bisa tahu? Apa dia bisa membaca pikiran?
"Bukan untuk Ibu Nadira, ya?" tanya Sekar hati-hati. Nada suaranya turun, takut salah ucap—terlebih setelah Rakha menggebrak meja.
"Kamu tahu tentang saya dan Nadira?" Rakha justru balik bertanya, bukannya menjawab pertanyaan Sekar.
Masalahnya, bahkan ayahnya sendiri belum tahu soal pernikahannya dengan Nadira. Tapi Sekar terlihat seolah menyimpan rahasia—seolah tahu sesuatu yang tidak seharusnya ia ketahui. Meski tidak pernah ada pengakuan langsung, kecurigaan Rakha tumbuh.
"I-iya," jawab Sekar dengan ragu. Ia tidak yakin arah pertanyaan Rakha, tapi satu hal yang pasti—ia tahu. Ia pernah memergoki Rakha menarik Nadira duduk di pangkuannya, meminta ciuman, bahkan… menyaksikan ciuman itu terjadi.
"Bapak menyukai Ibu Nadira, kan?" tanya Sekar hati-hati. Ia tidak tahu bahwa Rakha dan Nadira sudah diam-diam menikah. Yang ia tahu, Rakha terlihat menyukai Nadira—dan sering kali cemburu jika Nadira dekat dengan karyawan pria.
Rakha menarik napas lega. Sepertinya yang Sekar tahu hanya sebatas itu. Rahasia pernikahannya masih aman.
"Saya bertanya soal produk perawatan wajah yang bagus," ucap Rakha, mengingatkan pertanyaannya yang belum dijawab karena Sekar justru beralih topik.
"I-iya, Pak. Maaf..." Sekar langsung meminta maaf. Ia sadar telah melantur, apalagi suasana hati bosnya sedang buruk.
"Menurut saya, produk perawatan wajah itu tergantung siapa yang memakainya, Pak. Tidak semua produk cocok untuk semua jenis kulit," jelas Sekar hati-hati.
"Kalau Bapak berniat memberikan hadiah berupa produk perawatan wajah, sebaiknya cari tahu dulu apa yang biasa digunakan oleh perempuan itu," tambahnya, sengaja tidak menyebut nama siapa pun agar tidak menyinggung.
Rakha mengangguk pelan, meski tak sepenuhnya mengerti. Ia lelaki, tidak pernah menggunakan produk perawatan wajah. Kulit wajahnya yang bersih dan sehat adalah bawaan lahir—tanpa bantuan krim, serum, atau toner apa pun.
"Baiklah, sekarang kamu boleh kembali ke ruanganmu," ucap Rakha, mempersilakan Sekar pergi.
Sekar segera mengangguk dan melangkah mundur. Ia buru-buru pergi sebelum ada pertanyaan lain yang membuatnya harus lebih lama berhadapan dengan bosnya yang sedang tidak stabil secara emosional.
"Permisi, Pak," pamitnya, lalu menutup pintu dari luar dengan hati-hati.
***
Rakha merasa suasana hatinya kian memburuk seiring waktu—setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik terasa makin menyebalkan. Maka, begitu rapat selesai dan waktu istirahat tiba, ia memutuskan untuk pergi ke apartemen Nadira.
Sesampainya di sana, Rakha langsung masuk dan mencari keberadaan istrinya di setiap sudut ruangan. Saat menemukan Nadira sedang menonton televisi di ruang tengah, ia menghampirinya tanpa banyak bicara.
Ia berdiri di hadapan Nadira, menunduk, lalu merengkuh wajah perempuan itu dengan kedua tangannya. Tanpa sepatah kata pun, ia menempelkan bibirnya ke bibir Nadira—melakukan apa yang seharusnya ia lakukan.
Mata Nadira membulat karena terkejut, tubuhnya nyaris kehilangan keseimbangan akibat ciuman tiba-tiba dari suaminya. Namun, meski terkejut, ia tetap membalas ciuman itu. Ia tahu, sikap Rakha seperti ini pasti karena pagi tadi mereka tak sempat melakukannya.
“Kamu pulang hanya untuk ini?” tanya Nadira begitu ciuman mereka terlepas.
Rakha tampak mengatur napasnya. Ia tidak langsung menjawab. Hanya menarik napas sejenak, lalu kembali mencium Nadira. Ia ingin memperbaiki suasana hatinya yang kacau dengan ciuman itu. Namun, satu kali ciuman belum cukup.
Nadira tetap membalasnya. Salah satu tangannya bahkan sempat mengusap wajah suaminya dengan lembut saat ciuman itu berlangsung.
“Kamu tidak mungkin pulang hanya untuk meminta jatah, kan?” goda Nadira, tersenyum kecil setelah ciuman kedua mereka berakhir.
“Boleh?” tanya Rakha, di luar dugaan. Padahal Nadira hanya bercanda saat mengucapkannya.
Namun, meskipun pertanyaan itu tidak ia sangka akan dijawab dengan serius, Nadira tetap mengangguk. Rakha adalah suaminya. Ia berhak memintanya kapan saja.
“Tentu,” jawab Nadira pelan. Tangannya pun langsung terangkat, mulai melepaskan dasi suaminya sebagai isyarat awal.
“Tapi... tidak di sini,” ucapnya, lalu bangkit dari tempat duduknya. Gerakannya membuat Rakha mundur selangkah dan memperbaiki posisinya berdiri.
Nadira mengangkat satu tangan ke arah suaminya, memberi isyarat agar Rakha menggendongnya ke kamar. Rakha tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu menunduk dan merengkuh tubuh istrinya dalam gendongannya.
Nadira mengalungkan tangannya ke leher Rakha, lalu menyandarkan kepala di dada suaminya.
“Kamu sudah makan?” tanyanya pelan, baru teringat ketika mata mereka sempat menangkap jam di atas meja nakas. Jarum jam menunjukkan waktu makan siang.
“Aku bisa makan nanti,” jawab Rakha singkat, memberi isyarat bahwa dirinya belum makan.
Ia kemudian menunduk, membaringkan Nadira perlahan di atas ranjang. Setelah itu, tubuhnya ikut bergerak naik, merangkak mendekati Nadira, menatapnya dalam diam yang mengandung rindu dan hasrat yang tertunda sejak pagi.
Begitu berada di atas tubuh Nadira, Rakha membelai wajah istrinya, lalu mengecup bibirnya singkat namun penuh makna.
“Kamu tahu?” ucapnya pelan. “Aku nyaris gila gara-gara tidak mendapat ciuman pagi tadi.”
Tangannya masih setia membelai wajah Nadira, seolah ingin menegaskan betapa ia benar-benar merindukan perempuan itu.