Axel sedang menata hidupnya usai patah hati karena wanita yang selama ini diam-diam ia cintai menikah dengan orang lain. Ia bahkan menolak dijodohkan oleh orang tuanya dan memilih hidup sendiri di apartemen.
Namun, semuanya berubah saat ia secara tidak sengaja bertemu dengan Elsa, seorang gadis SMA yang salah paham dan menganggap dirinya hendak bunuh diri karena hutang.
Axel mulai tertarik dan menikmati kesalahpahaman itu agar bisa dekat dengan Elsa. Tapi, ia tahu perbedaan usia dan status mereka cukup jauh, belum lagi Elsa sudah memiliki kekasih. Tapi ada sesuatu dalam diri Elsa yang membuat Axel tidak bisa berpaling. Untuk pertama kalinya sejak patah hati, Axel merasakan debaran cinta lagi. Dan ia bertekad, selama janur belum melengkung, ia akan tetap mengejar cinta gadis SMA itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Angin malam berhembus pelan, membawa kesejukan dan bisikan alam yang menenangkan. Suasana menjadi lebih hening, hanya sesekali terdengar suara hewan malam yang bersahut-sahutan.
Di kejauhan, lampu-lampu kota berpendar redup, menciptakan kilauan yang indah di tengah kegelapan.
Elsa, gadis berusia tujuh belas tahun, baru saja melangkah keluar dari cafe tempat ia bekerja paruh waktu. Malam itu udara terasa dingin dan jalanan tampak lengang. Ia berjalan sendirian, menelusuri trotoar menuju rumah.
Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda malam itu. Di kejauhan, di atas jembatan yang biasa ia lewati, terlihat sosok pria berdiri diam, menatap ke arah sungai yang gelap.
Elsa menyipitkan mata, mencoba mengenali sosok itu dari kejauhan. "Siapa pria itu?" gumamnya pelan.
Kecurigaan Elsa semakin besar saat ia melihat kaki pria itu perlahan terangkat, seolah hendak naik ke pembatas jembatan. Tanpa berpikir panjang, Elsa segera berlari menghampirinya dan menarik pria itu kuat-kuat menjauh dari tepi.
"Apa kau sudah gila?" bentaknya dengan napas tersengal.
Pria itu tampak terkejut, tidak menyangka ada seseorang yang tiba-tiba muncul dan bahkan membentaknya.
"Kau membentak ku?" tanyanya, dengan nada tidak percaya.
"Orang dengan pikiran sempit seperti mu memang pantas dibentak! Apa kau pikir semua masalah akan selesai jika kau mengakhiri hidupmu begitu saja, hah?"
Pria itu adalah Axel. Ia menatap Elsa dengan mata membelalak. Mulutnya terbuka hendak membantah, namun belum sempat ia menjelaskan, tiba-tiba ponselnya berdering.
Ia menoleh, menatap Elsa sesaat sebelum menjawab panggilan tersebut
"Ada apa?" tanyanya singkat.
Di seberang, suara Martin terdengar. "Tuan Mike melanggar perjanjian kerja sama. Dia harus membayar penalti."
"Berapa?" tanya Axel cepat.
"Sepuluh miliar," jawab Martin.
"Sepuluh miliar," ulang Axel, nyaris berbisik.
Elsa yang berdiri tidak jauh darinya terperangah. Matanya membelalak mendengar angka yang begitu fantastis. Ia menatap pria itu dari ujung kepala hingga kaki, lalu menggeleng pelan. "Pantas saja dia berniat bunuh diri. Ternyata, dia mempunyai hutang yang begitu besar," pikir Elsa.
"Aku memberinya waktu satu bulan untuk melunasinya. Bagaimana menurutmu?" tanya Martin lagi.
"Apa? Satu bulan?" pekik Axel.
Elsa, yang masih berdiri di situ, nampak melebarkan kedua matanya. Ia refleks mengangkat tangannya dan mulai menghitung dengan jari-jarinya. "Sepuluh miliar dalam sebulan? Itu berarti ... Berapa ratus juta yang harus ia hasilkan per harinya?" batin Elsa lagi.
"Iya, kenapa? Apa menurutmu terlalu lama?" tanya Martin.
Axel mendesah frustasi. "Tidak. Baiklah, satu bulan. Lalu, bagaimana soal apartemen? Kau sudah mendapatkan nya?"
"Astaga, Ax ... Maaf, aku lupa."
"Apa? Lalu aku harus tidur di mana malam ini? Mobilku mogok, dan sekarang aku bahkan tidak punya tempat tinggal!" teriak Axel, semakin putus asa.
Elsa mendesah pelan, menatap Axel dengan iba. "Dia terlilit utang sepuluh miliar, dan harus melunasinya dalam waktu sebulan. Lalu, mobilnya mogok, dan dia tidak punya tempat tinggal. Pantas saja dia terlihat begitu putus harapan," batinnya.
"Aku benar-benar minta maaf, Ax. Pekerjaan ku begitu banyak, di tambah dengan kasus tuan Mike," ujar Martin. "Begini saja, sekarang kau di mana? Aku akan menjemputmu. Malam ini, kau menginap saja di rumah ku."
Axel mendesah keras, merasa frustrasi. “Tidak perlu. Aku akan memikirkannya sendiri. Ya sudah, aku tutup dulu,” ucapnya sebelum memutuskan sambungan telepon.
Ia memasukkan kembali ponselnya ke saku, lalu menoleh ke arah Elsa yang masih berdiri di depannya, menatapnya dengan sorot mata iba.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanyanya, dengan nada suara yang terdengar datar.
“Maaf ... karena sudah membentak mu tadi,” ujar Elsa pelan. “Aku baru tahu jika kau sedang mengalami kesulitan.”
Kening Axel berkerut. Ia menatap Elsa, bingung. “Maksudmu?”
“Aku tahu, apa yang kau rasakan saat ini, karena aku juga punya utang,” ucap Elsa dengan suara lirih. “Tapi, meski hidupku sulit, aku tidak pernah berpikir untuk lari dari kenyataan, seperti yang kau lakukan tadi.”
Axel membuka mulut, ingin membantah, namun Elsa lebih cepat melanjutkan ucapannya.
“Dengar, hidup memang tidak mudah. Tapi bukan berarti kita harus menyerah begitu saja. Pasti ada jalan keluar, asal kita terus berusaha dan percaya,” ucapnya, mantap. “Dan untuk malam ini ... kau bisa tidur di rumahku. Kebetulan ada kamar kosong, jadi kau tidak perlu khawatir.”
Axel terdiam. Bukan karena curiga atau ragu jika gadis ini akan menipu nya. Tapi ada sesuatu dalam nada suara gadis itu yang terdengar tulus, sederhana, namun menenangkan, yang membuat hatinya tersentuh.
"Gadis ini ... sepertinya salah paham," batin Axel, menahan senyum kecil.
“Kenapa kau diam?” tanya Elsa.
Axel menarik napas pelan, lalu mengangguk. “Baiklah. Terima kasih atas bantuannya.”
“Tidak masalah,” jawab Elsa. "Oh, iya. Namaku, Elsa. Dan kau?"
"Aku Axel," jawab Axel.
"Oh, Axel. Tapi sepertinya, usia kita terpaut cukup jauh. Jadi, aku akan memanggilmu om saja, bagaimana?"
"Apa aku terlihat setua itu?" protes Axel. "Panggil aku, kakak," ucapnya.
"Iya, iya," gerutu Elsa, lalu mulai berjalan mendahuluinya.
Axel masih berdiri di sana, memandang punggung gadis itu yang perlahan menjauh. Pandangannya kemudian beralih ke arah jembatan, ke tempat di mana cincin itu terlepas dari genggamannya, dan jatuh ke sungai yang gelap.
"Mungkin ini memang pertanda," batinnya. "Pertanda bahwa aku harus benar-benar melupakanmu, Zy."
axel martin panik bgt tkut kebongkar
hayolah ngumpet duluu sana 🤭🤣👍🙏❤🌹
bapak dan anak sebelas duabelas sangat lucu dan gemesin....