Duit tinggal ceban, aku ditawarin kerja di Guangzhou, China. Dengan tololnya, aku menyetujuinya.
Kupikir kerjaan itu bisa bikin aku keluar dari keruwetan, bahkan bisa bikin aku glow up cuma kena anginnya doang. Tapi ternyata aku gak dibawa ke Guangzhou. Aku malah dibawa ke Tibet untuk dinikahkan dengan 3 laki-laki sekaligus sesuai tradisi di sana.
Iya.
3 cowok itu satu keluarga. Mereka kakak-adik. Dan yang paling ngeselin, mereka ganteng semua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Di ranjang yang berukuran big size ini, dadaku terasa sesak meskipun ukuran ranjangnya sangat lebar.
Tau apa yang bikin sesak?
Ya ke tiga suamiku lah.
Siapa lagi?
Mereka bertiga memutuskan untuk tidur di kamarku, setelah keputusan iclik dibuat.
Ya, mau gak mau aku harus manut pada keputusan itu, karena lebih baik begitu daripada langsung disoghok ramai-ramai saat masih perawan.
Di ranjang ini, aku berbaring di paling tengah. Sonam di kiriku, Tenzin di sebelah kananku, sedangkan Norbu ada di atas kami semua.
Suami bungsuku itu lebih memilih tidur menyamping di atas kepalaku, dibanding tidur di sisi Sonam atau Tenzin.
“Biasanya, berapa hari kamu selesai datang bulan?” Suara Norbu memecah keheningan malam.
“Memangnya kenapa?” tanyaku.
“Jawab saja,” sahut Sonam.
“Iya, jawab saja. Soalnya aku sudah tidak sabar ingin segera iclik kamu.” Norbu menahan tawa.
“Euuuungg ... Biasanya sih sekitar satu mingguan. Tapi gak tentu juga. Kadang lebih, kadang juga bisa kurang satu minggu,” jawabku.
“Wah, lumayan lama juga ya.”
“Sabar,” sahut Tenzin.
“Sabar gundulmu!” ketus Norbu.
”Aku tidak botak, Norbu,” balas Tenzin.
**
**
5 hari sudah aku menjalani hari sebagai istri putra-putra Dorjen. Gak ada yang istimewa. Aku malah sering kesepian.
Gimana enggak?
Setiap hari aku hanya luntang lantung gak ada kegiatan. Mau ngobrol sama ibu mertua pun, gak bisa. karena ibu mertua yang sudah peyot itu lebih sering di kamar, lebih milih dirawat pelayanan daripada dirawat menantunya.
Deti?
Sejak terakhir kali aku dapat kabar anaknya masuk ruang NICU, aku sudah gak pernah dapat kabar lagi. Bahkan sekarang, nomornya gak aktif.
Sedikit jengkel, iya. Karena dengan enaknya dia lepas tangan setelah dapat uang. Tapi di sisi lain, aku juga kasihan sama dia. Dia pasti sedih karena anaknya sering sakit-sakitan.
Aku menghela napas kasar, mulai berdamai dengan keadaan. Aku pun sudah mencoba untuk memaafkan. Karena aku yakin, Deti menipuku pasti karena terpaksa. Sekarang, aku gak mau lagi menyalahkannya atas semua yang sudah terjadi. Aku hanya akan menganggap ini jalan takdirku, menjadi istri tiga putra Dorjen.
Kalau boleh jujur, aku masih belum bisa menerima ketiganya sebagai seorang suami. Malah aku lebih condong menganggap mereka seperti majikan yang memberiku gaji. Apalagi mereka gak pernah ada waktu untukku. Setiap hari kerjaan mereka itu hanya kerja, kerja, dan kerja. Gak pernah ada waktu selain sarapan bareng dan tidur bareng tanpa iclik.
Tapi kalau boleh jujur lagi, ada salah satu dari mereka yang paling memikat hati. Iya, siapa lagi kalau bukan Tenzin.
Hihi.
Suami keduaku itu punya wajah yang paling ganteng dari saudara-saudaranya. Iya tau, Sonam dan Norbu memang ganteng juga. Aku gak memungkiri, mereka memang ganteng semua. Tapi kalau dilihat dari wajah dan postur tubuh kriteriaku, cuma Tenzin yang bikin aku kepincut.
Gantengnya itu loh, adalah pokoknya.
Apalagi Tenzin punya aura yang kalem, lembut, dan perhatian. Di jamin deh, cewek mana pun pasti gak akan nolak kalau didekati Tenzin secara langsung.
TIN! TIN!
Suara klakson membuatku kaget. Aku yang lagi bengong di teras rumah keluarga Dorjen pun langsung mengernyit saat melihat mobil Norbu masuk ke halaman.
Iya, gak salah lagi itu mobil Norbu. Tapi tumben dia pulang di jam siang begini? Bisanya kan pulangnya sore.
Aku langsung bangkit dari duduk untuk sok-sokan menyambut suami ketiga yang tengil itu. Tapi saat pintu mobil terbuka, ternyata bukan Norbu yang keluar. Melainkan bapack-bapack berkumis yang gak kukenal.
“Nona Dorjen,” ucap Bapack itu setelah berdiri di hadapanku. “Bisakah anda ikut saya?” Bahasa Tibetnya tentu tertranslate ke telingaku.
“Mau ke mana?” tanyaku, namun aku terkejut ternyata bapack-bapack ini memakai ear translator juga.
“Ke peternakan. Tuan Dorjen sedang menunggu di peternakan.”
Aku mengernyit. “Tuan Dorjen siapa? Sonam?”
Dia mengangguk. “Mari.” Lanjut berlari untuk membukakan pintu mobil.
Tanpa berpikir panjang namun setengah bingung, akhirnya aku masuk ke dalam mobil Norbu. Entah apa yang akan terjadi, yang jelas aku juga bosan di rumah terus. Jadi, aku menganggap ini seperti jalan-jalan syantik.
Aku duduk di jok belakang mobil, memeluk angin di perut, karena gak membawa apa pun. Mesin mobil menderu pelan, sementara roda-roda terus berputar membawa kami menjauh dari rumah besar keluarga Dorjen—menuju peternakan yang bahkan tanahnya belum pernah kuinjak.
Di luar jendela, desa Tibet terbentang luas, seperti lukisan yang baru saja dibuka gulungannya. Sangat indah.
Hamparan padang rumput luas membentang sejauh mata memandang. Warnanya hijau pucat bercampur keemasan, seolah matahari dan bumi sedang berdamai.
Di kejauhan, gunung-gunung tinggi menjulang. Puncaknya berselimut salju putih yang berkilau, kontras dengan langit biru yang tampak dekat.
Udara tampak bersih. Terlalu bersih untuk seseorang sepertiku yang terbiasa dengan debu jalanan dan asap knalpot. Bahkan dari dari sini, aku bisa merasakan dinginnya angin pegunungan yang menusuk, tapi segar.
Beberapa rumah batu khas Tibet berdiri berjajar rapi, dindingnya tebal dengan jendela-jendela kecil berbingkai warna cerah. Di atap-atapnya, bendera tampak berkibar tertiup angin.
Sesekali, aku melihat anak-anak desa berlarian di pinggir jalan tanah, pipi mereka merah karena dingin. Mereka berhenti sejenak saat mobil kami lewat, menatap dengan rasa ingin tahu—mungkin heran melihat perempuan asing sepertiku duduk di dalam mobil mewah yang melaju di desa mereka.
Lalu aku melihatnya hewan Yak, hewan yang katanya jadi sumber pencaharian untuk suami-suamiku. Hewan besar berbulu tebal yang seperti milik penduduk itu pun bergerak lambat di padang rumput, kepalanya menunduk tenang, sambil mengunyah rumput yang pasti rasanya enak di lidah mereka.
Mobil terus melaju, menembus jalan berkelok yang naik turun mengikuti kontur tanah. Gak ada gedung tinggi, gak ada suara berisik klakson seperti di konoha, gak ada juga papan iklan di sisi jalan-jalan. Semuanya masih tampak murni.
Hanya alam.
Luas.
Damai.
Megah.
Dan aku—perempuan asing dari negeri Konoha—sedang dibawa masuk lebih dalam ke dunia yang gak pernah kubayangkan akan menjadi bagian dari hidupku.
“Masih lama gak, Pak?” tanyaku.
“Sebentar lagi sampai, Nona.”
Gak lama kemudian, mobil akhirnya melambat, lalu berhenti sepenuhnya.
“Sudah sampai, Nona.”
Mesin mobil dimatikan. Bapack-bapack yang gak kutahu namanya itu pun turun lebih dulu. Ia berjalan mengitari mobil, lalu membukakan pintu untukku dengan sikap sangat hormat.
“Ini peternakan Tuan Dorjen?” Aku turun dari mobil sambil memandang takjub.
“Benar, Nona.”
Aku terpaku. Di hadapanku, terbentang lahan yang luar biasa luas, jauh lebih besar dari bayanganku.
Padang rumput hijau membentang tanpa ujung, dipagari kayu dan batu alam yang tersusun rapi. Ratusan—bahkan mungkin ribuan yak berbulu tebal bergerak di dalam sana, sebagian sedang merumput, sebagian lagi digiring para pekerja.
Serius suami-suamiku setajir ini?
Aku semakin terpana saat melihat bangunan-bangunan besar yang berdiri di sisi padang. Sangat besar, dan sangat mirip pabrik industri, kokoh, dan modern—sangat kontras dengan alam sekitarnya, tapi tetap menyatu.
“Itu bangunan apa?” tanyaku.
“Yang itu.” Bapack-bapack itu menunjuk bangunan bertuliskan simbol Tibet dan Mandarin. “Pabrik pengolahan susu yak.”
“Kalau yang itu.” Dia menunjuk bangunan lain dengan cerobong pendek. ”Itu pabrik keju yak dan mentega yak.”
“Lalu yang itu.” Lanjut menunjuk bangunan panjang dengan jendela lebar. ”Itu pabrik pengolahan wol yak, tempat bulu-bulu yak diubah jadi kain dan benang bernilai tinggi.”
Aku tertegun. ”Semuanya? Milik keluarga Dorjen?”
“Ya, semuanya.”
Aku masih gak menyangka karena ukurannya sebesar ini. Mataku berkeliling gak percaya, melihat truk-truk besar hilir mudik, para pekerja bergerak teratur, dan gak ada yang terlihat sembarangan.
“Baby!” suara Norbu.
Menoleh, aku melihat suami bungsu berjalan ke arahku. Di belakangnya ada suami pertama dan suami keduaku. Mereka semua tersenyum ke arahku.
“Akhirnya istriku sampai juga,” ujar Norbu saat sampai di hadapanku, lanjut mengambil ear translator di telinga bapack-bapack penjemputku.
Oh, jadi ini ear translator punya Norbu?
“Terima kasih sudah menjemputnya. Kamu bisa kembali bekerja,” titah Sonam pada bapack-bapack penjemputku.
“Sama-sama, Tuan.” Bapack-bapack itu pun pergi dari hadapanku.
Hening.
Kini aku hanya melihat ke tiga suamiku yang tersenyum kompak. “Sonam, ada hal apa kamu nyuruh aku ke sini?”
“Bukan aku yang menyuruhmu. Tenzin yang kasih ide,” jawab Sonam.
Lekas aku memandang mata Tenzin yang selalu sukses membuatku berdebar. “Ngapain kamu kasih ide suruh aku ke sini?”
“Aku hanya ingin mengajakmu makan siang bersama. Kamu pasti jenuh kan, selalu di rumah?” Lagi-lagi Tenzin tahu perasaanku.
“Iya sih, aku memang bosen di rumah terus. Oke, deh. Kita mau makan di mana?” Aku tersenyum bahagia.
“Di dalam. Ayo.” Norbu menggandeng tanganku, lanjut melangkah diikuti Sonam dan Tenzin.
“Norbu, jaga image-mu. Jangan terlihat jadi budak cinta di depan para pekerja,” kata Sonam.
“Memangnya kenapa? Mereka semua tahu kita sudah menikah,” jawab Norbu.
Akhirnya, tiga suamiku berhasil membawaku ke sebuah bangunan yang tampak mirip seperti kantin. Tapi kantin ini sangat besar, mirip kantin industri.
Bangunannya si sederhana, tapi sangat luas. Dinding-dindingnya bukan tembok penuh, melainkan terbuka dan berlubang besar.
Gak ada kaca, gak ada sekat. Dari dalam sini, aku bisa melihat padang rumput hijau yang terbentang sejauh mata memandang. Yak-yak berbulu tebal pun terlihat bergerak pelan di kejauhan, seperti lukisan hidup yang terus berubah.
Wih, keren.
Aku menghirup angin yang bebas masuk dan keluar membawa udara sejuk dan aroma rumput segar. Atap kayu tinggi melindungi kami dari dingin, sementara sinar matahari siang menyelinap lembut, jatuh di lantai batu yang bersih.
“Ini kantin, ya?” tanyaku pada ke tiga suamiku.
“Tempat makan pekerja,” jawab Norbu.
“Tapi hari ini khusus untuk tempat makan kita,” sambung Tenzin.
“Kamu boleh makan sepuasnya,” tambah Sonam.
Aku belum sempat mencerna ucapan mereka, tiba-tiba Tenzin melangkah lebih dulu— menarik sebuah kursi kayu dengan gerakan halus.
“Duduk,” katanya lembut. Tangannya menahan sandaran kursi agar aku bisa duduk dengan nyaman.
Ya ampun Tenzin. Kamu so sweet banget sih.
Entah kenapa, hal sekecil itu saja bisa bikin dadaku hangat.
Akhirnya aku duduk dengan hati berbunga-bunga. Begitu aku benar-benar duduk, para pelayan langsung berdatangan. Mereka muncul dari berbagai sisi, bergerak cepat tapi teratur, seolah sudah tahu persis apa yang harus dilakukan.
Satu per satu, hidangan diletakkan di hadapanku. Mangkuk sup hangat dengan uap tipis mengepul. Piring berisi daging yak yang dimasak empuk dan mengkilap oleh bumbu.
Dan gak ketinggalan keju yak yang dipotong rapi, aromanya gurih dan menggoda.
Nasi?
Gak ada nasi layaknya di Konoha. Yang ada hanyalah roti pipih hangat yang masih terlihat jejak panggangan. Aku pun menatap meja yang penuh hidangan itu, lalu menatap ke tiga suamiku.
“Makasih,” gumamku jujur.
Sonam tersenyum tipis. “Tidak perlu berterima kasih. Semua ini berhak kamu dapatkan sebagai Nona Dorjen.”
Aku tersenyum malu, mungkin pipiku sedang kemerahan. Ternyata Deti benar, ke tiga putra Dorjen ini mampu menjadi suami yang baik, bahkan sepertinya— aku akan bahagia lahir dan batin di tangan mereka.
Hihi.
“Ayo kita makan.” Norbu duduk di seberangku. Sedangkan Tenzin dan Sonam duduk di sisi kanan dan kiriku.
“Tapi, aku mau cuci tangan dulu, boleh? Tanganku kotor banget bekas pegang-pegang debu di perjalanan,” izinku.
“Boleh,” jawab Sonam.
Aku celingak-celinguk. “Toiletnya di mana, ya?”
“DI SANA.” Sonam menunjuk arah toilet sambil membuka ponsel, sedangkan Norbu menunjuk arah toilet juga sambil makan.
“Di mana?” Aku sama sekali gak melihat tulisan toilet.
“Biar kuantar.” Tenzin sigap berdiri.
“Ya, tolong antar istri kita sebentar. Aku sedang chatan dengan pelanggan,” kata Sonam.
“Baby, kamu diantar Tenzin ya, aku menunggumu di sini.” Norbu mengerling sambil mengunyah roti.
“Ya sudah, ayo.” Akhirnya aku bangkit. Melangkah pelan, mengikuti langkah Tenzin dari belakang.
Tak lama kemudian, sampai juga aku di area toilet, yang ternyata letaknya lumayan jauh dari bangunan kantin utama.
Untuk sampai sini, aku dan Tenzin harus berjalan melewati lorong terbuka di samping bangunan. Lorong itu berupa jalan setapak dari batu pipih, diapit rumput hijau yang dipangkas rapi. Di kiri-kanan, aku pun bisa melihat padang rumput luas dan beberapa yak, sama sekali tanpa pagar tinggi—hanya alam yang terbuka bebas.
“Di situ cuci tangannya.” Tenzin menunjuk sebuah wastafel sederhana yang ada di toilet.
Aku mulai mencuci tangan. Namun saat melihat cermin di hadapanku, tiba-tiba aku melihat Tenzin di pantulan cermin itu. Suami keduaku itu ternyata sudah berdiri di belakangku sambil menatapku di cermin.
“Kenapa?” Jantungku berdebar karena ditatap sangat dalam.
“Kamu cantik.”
Jantungku semakin berdebar saat pujian itu terlontar. Cepat-cepat aku berbalik badan, namun spontan menatap wajah tampan Tenzin secara langsung.
“Kamu kenapa?” tanyaku gugup setengah heran.
“Aku bilang kamu cantik.” Dia menatapku semakin intens.
“Makasih.” Cepat-cepat kubuang pandangan. “Ayo kita ke depan lagi. Sonam sama Norbu pasti lagi nunggu.”
“Sebentar.”
Tenzin Manarik pinggangku sampai membuatku urung melangkah. Tangan kanannya itu melingkar erat di pinggangku, bahkan membuat bagian depan tubuh kami beradu.
“Tenzin, kamu kenapa?” Jantungku makin gak karuan, takut kepergok Norbu dan Sonam.
“Boleh aku jujur sesuatu?” Tenzin gak mau melepaskan pinggangku, malah wajahnya semakin menunduk untuk memandang wajahku.
“M-mau jujur apa?” tanyaku, sukses gugup setengah mampus.
“Aku menyukaimu.”
“Hah?”
“Aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu, Cica.”