NovelToon NovelToon
Perempuan Kedua

Perempuan Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.

kisah ini diangkat dari kisah nyata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Matahari mulai meninggi, sinarnya yang hangat membanjiri kamar kontrakan Maya, mengusir sedikit hawa dingin subuh. Maya telah selesai membersihkan dirinya, duduk termangu di tepi kasur.

Tiba-tiba, keheningan dipecah oleh suara ketukan ringan di pintu, disusul suara anak kecil yang riang. Maya mengenal suara tersebut; itu suara anak sambungnya. Ia beranjak, berjalan ke arah pintu dan membukanya.

"Assalamualaikum, Tante Maya!" sapa Nayla ceria, senyumnya merekah.

"Waalaikumsalam, Nayla sayang," balas Maya, hatinya sedikit menghangat melihat keceriaan itu.

"Tante, ini ada sarapan dari Abi," ujar Nayla, menyerahkan nasi bungkus yang ada di dalam kantong kresek berwarna putih.

Maya mengucapkan terima kasih, lalu menanyakan Nayla datang dengan siapa.

"Nayla jalan kaki, Tante. Dekat kok dari rumah," jawab Nayla santai.

Maya kemudian menawarkan anak sambungnya untuk masuk dan sarapan bersama, tapi Nayla menolak dengan sopan. "Nayla pulang aja, Tante, mau sarapan juga. Nanti Nayla main ke sini sama Kakak, ya!"

Nayla kecil berlalu pergi dengan langkah riang, meninggalkan Maya sendirian di ambang pintu. Bersamaan dengan itu, ponsel Maya bergetar. Pesan singkat dari Riski muncul di layar:

[Dari Riski]:

Ada Nayla ke situ antar sarapan, kan? Dimakan ya. Jam 9 kita pergi beli perabotan untuk di rumah kontrakan kamu. Kamu siap-siap, nanti saya jemput. Kita pergi sama Umma Fatimah dan anak-anak.

Hati Maya mencelos membaca nama Umma Fatimah lagi. Setiap rencana, setiap langkah, selalu ada Umma Fatimah. Sarapan di tangannya terasa hambar seketika. Semangatnya untuk menata rumah kontrakan itu langsung memudar, menyadari bahwa ia tidak akan pernah bisa melakukannya sendirian, selalu dalam bayang-bayang keluarga lain.

Maya duduk di tepi kasur, tenggelam dalam pikirannya. "Bagaimana aku bisa mengenal lebih dalam suamiku sendiri jika kami selalu bersama-sama dalam rombongan besar?" Riski seolah sengaja menghindari momen berdua, membatasi interaksi mereka hanya pada momen dini hari, di balik pintu tertutup, saat semua orang tidur.

Di siang hari, di mata publik, di depan anak-anak dan Umma Fatimah, Riski kembali menjadi milik keluarga pertamanya seutuhnya. Maya merasa terasing, seperti roda ketiga yang tidak memiliki tempat yang pasti.

Kerinduan untuk mengenal Riski, untuk berbicara dari hati ke hati, untuk membangun fondasi pernikahan mereka secara pribadi, terasa semakin sulit. Kenyataan pahit ini menusuk hati Maya, membuatnya sadar bahwa perjalanan untuk menemukan keadilan dalam rumah tangga poligami ini akan jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan.

.................

Tepat pukul sembilan pagi, suara klakson mobil memecah keheningan kontrakan Maya. Riski tidak turun dari mobil, sebuah isyarat nyata akan batasan yang ada di antara mereka di siang hari. Maya bergegas keluar, mengunci pintu kontrakannya, dan melangkah menuju mobil sedan hitam itu.

Saat ia mendekat, kaca mobil bagian depan terbuka. Umma Fatimah, duduk di kursi penumpang depan, menyapa Maya dengan senyum ramah. Maya membalas sapaan itu dari balik cadarnya, hatinya terasa berat. Ia segera naik ke kursi tengah, bergabung dengan anak-anak Riski.

Di dalam mobil, suasana terasa dingin bagi Maya. Riski dan Umma Fatimah duduk di depan, tenggelam dalam percakapan mereka sendiri, tawa mereka terdengar seperti gema yang jauh. Maya hanya bisa memperhatikan, merasa seperti penonton dalam kehidupan suaminya sendiri. Perjalanan menuju toko terasa panjang, setiap momen memperkuat rasa keterasingannya.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba dan berhenti tepat di sebuah toko peralatan rumah tangga yang cukup besar. Mobil berhenti, dan tanpa terduga, Riski justru turun dari mobil bersamaan dengan Umma Fatimah.

Hati Maya mencelos. Maya merasa heran, bahkan terluka. Bukankah tujuan ke sini adalah membeli peralatan untuk rumah kontrakannya? Seharusnya Riski turun bersamanya, mendiskusikan apa yang ia butuhkan, bukan malah bersama istri pertamanya.

Maya memandangi keduanya yang masuk bersamaan ke toko dari dalam mobil, bahu membahu, seperti pasangan yang serasi. Hatinya kembali merasakan nyeri yang familiar, rasa diabaikan yang semakin mengakar.

Setelah beberapa menit menunggu, menyaksikan mereka berinteraksi di dalam toko, barulah Riski memanggil Maya melalui telepon untuk turun dan masuk ke toko tersebut.

Maya masuk ke dalam toko dengan langkah gontai. Saat Maya mendekat, Riski sudah berdiri di depan sebuah kulkas yang besar. Tanpa basa-basi, Riski berkata, "May, kulkasnya yang ini saja, ya?"

Nada bicaranya seolah meminta persetujuan.

Maya menatap sekeliling. Beberapa peralatan rumah tangga esensial, seperti mesin cuci dan kompor, sepertinya sudah dipilihkan. Entah Riski atau Umma Fatimah yang memilihkan—yang jelas bukan dirinya. Jika seperti itu, untuk apa bertanya lagi kepada Maya? Pikirnya getir.

Maya pun akhirnya hanya bisa menjawab "iya" pada setiap benda yang terkesan ditawarkan untuk Maya pilih, padahal kenyataannya tidak. Setiap "iya" yang keluar dari bibirnya terasa hampa, menggemakan kembali posisinya yang tidak memiliki suara, bahkan dalam urusan menata rumahnya sendiri. Ia hanya boneka yang mengangguk, sementara keputusan sudah dibuat oleh orang lain.

Lagi-lagi, pemandangan itu terulang, bagai adegan film yang diputar ulang untuk menyiksa hati Maya. Riski melangkah bersama Umma Fatimah ke arah kasir, meninggalkan Maya sendiri di belakang, termangu di tengah tumpukan perabotan yang kini menjadi miliknya, namun terasa hampa.

Rasa sakit dan jengkel yang tak bisa diungkapkan membuat Maya mengambil inisiatif. Ia berpamitan kepada keduanya dan memilih menemani anak sambungnya di mobil, melarikan diri dari pemandangan menyakitkan di toko itu.

"Aku balik ke mobil dulu," ujar Maya, suaranya lirih. "Kasian anak-anak sendirian."

Riski menoleh sekilas, tanpa jeda dari obrolannya dengan Umma Fatimah. "Iya, kamu tunggu di mobil aja sama anak-anak," jawabnya santai, seolah kepergian Maya adalah hal yang wajar, sebuah kelegaan.

Maya pun melangkah keluar, kembali ke mobil, kembali ke kesunyiannya. Di toko itu, ia hanyalah pelengkap, penonton, dan kini ia kembali ke perannya yang terasa sebagai pengasuh anak-anak dari suaminya dan madunya.

Setelah Maya masuk ke dalam mobil dan menunggu beberapa saat, akhirnya Riski dan Ummu Fatimah selesai berbelanja. Mereka kembali ke mobil, Umma Fatimah duduk di depan, sementara Riski menyalakan mesin.

"May," panggil Riski, menoleh sedikit ke belakang. "Barang-barangnya akan diantar pihak toko ke rumah kontrakan kamu. Kita harus cepat pulang, khawatir pihak toko mengantarkan barangnya tapi tidak ada orang di rumah."

Maya hanya menjawab dengan kata "iya" lirih, hatinya kembali mencelos. Sekali lagi, ia ditinggalkan sendirian.

Mobil Riski pun mulai berjalan kembali, meninggalkan area pertokoan. Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di depan rumah kontrakan Maya. Riski menghentikan mobilnya, hanya Maya yang turun. Riski tetap di balik kemudi, tidak repot-repot keluar untuk memastikan Maya masuk dengan selamat atau sekadar mengucapkan salam perpisahan yang hangat.

Setelah Maya turun, mobil Riski kembali berjalan, menjauh dari pandangan, menuju ke rumah Umma Fatimah, rumah dinas yang hangat dan penuh kehidupan.

Maya berdiri termangu di depan pintu kontrakannya yang hampa. Sekali lagi, ia ditinggalkan sendirian, bayangan dalam kehidupan suaminya sendiri.

Bersambung...

1
Arin
Kalau udah kayak gini mending kabur...... pergi. Daripada nambah ngenes
Eve_Lyn: setelah ini masih banyak lagi kisah maya yang bikin pembaca jadi gedeg wkwkwk
total 1 replies
Arin
Kalau rumah tangga dari awal sudah begini..... Apa yang di harapkan. Berumah tangga jadi kedua dan cuma jadi bayang-bayang. Cuma dibutuhkan saat suami butuh pelayanan batin baru baik......
Eve_Lyn: hehehe....banyak kak kisah-kisah istri yang demikian...cuma gak terekspos aja kan,,,kalo kita menilainya dari sudut pandang kita sendiri, ya kita bakalan bilang dia bego,bodoh, tolol, dan lain-lain hehehe...intinya gak bisa menyamaratakan semua hal dari sudut pandang kita aja sih gtu hehehe...awal juga aku ngerasa gtu,,, tapi setelah memahami lebih dalam, dalam melihat dari sudut pandang yang berbeda, kita jadi bisa sedikit lebih memahami, walawpn kenyataannya berbanding dengan emosinya kita...hihihihi...makasih yaa,kakak setia loh baca novelku yang ini hehehehe
total 1 replies
kasychan04-(≡^∇^≡)
MasyaAllah
kasychan04-(≡^∇^≡)
mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!