NovelToon NovelToon
Retak Yang Tak Kembali

Retak Yang Tak Kembali

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Pelakor jahat / Penyesalan Suami / Antagonis / Selingkuh / Sad ending
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dgweny

Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.

______________


Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28: Resep Rahasia dan Pelukan yang Sempurna

Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶

Happy reading 🌷🌷🌷

...****************...

Senja hari merayap masuk ke dapur minimalis rumah Ardan dan Nayara. Udara dipenuhi aroma bawang putih yang ditumis dan rosemary segar. Nayara, dengan celemek berwarna mint yang melilit pinggangnya, sibuk mengaduk saus demi-glace yang mulai mengental.

Dapur itu kini menjadi pusat kedamaian mereka. Jauh dari blueprint proyek infrastruktur atau konsol reset Grid.

Pintu belakang terbuka. Ardan masuk, wajahnya masih segar dari mandi sore, hanya mengenakan kaus abu-abu longgar dan celana pendek.

"Wow," gumam Ardan, bersandar di kusen pintu, menikmati pemandangan Nayara yang fokus memasak. "Aku tidak tahu apakah aku harus segera makan, atau segera menculik koki ini ke kamar."

Nayara menoleh, tawanya renyah. "Jangan macam-macam, Tuan. Dagingnya belum matang. Dan aku sudah bilang, dessert-nya harus menunggu setelah makan malam selesai."

Ardan berjalan mendekat, memeluk Nayara dari belakang. Hangat dan menenangkan. Ia menyandarkan dagunya di bahu Nayara. Sentuhan intens itu seketika membuat Nayara melunak.

"Aku merindukanmu sepanjang hari," bisik Ardan, suaranya dalam dan sedikit serak, menghirup aroma rambut Nayara.

"Aku juga, Sayang. Proyek rumah di Sentul lancar?"

"Sangat lancar. Tidak ada yang mencoba membakar crane atau mencuri semen," Ardan menjawab, merujuk pada humor internal mereka tentang betapa membosankannya—dan betapa damainya—pekerjaan konstruksi biasa.

Nayara mematikan api kompor saus demi-glace. "Bagus. Sekarang, aku butuh bantuan kamu untuk memotong bawang bombay ini. Air mataku sudah habis saat memotong bawang putih tadi."

Ardan melepaskan pelukan, membalikkan Nayara untuk menghadapnya. Ia menangkup wajah Nayara yang sedikit berkeringat karena panas dapur.

"Biar aku urus bibir mu dulu," katanya lembut, sebelum menundukkan kepala dan mencium Nayara.

Ciuman itu manis dan santai, ciuman setelah hari yang panjang, penuh keintiman yang hanya mereka berdua pahami. Ardan memperdalam ciuman itu, tangannya membelai lembut rahang Nayara, menunjukkan betapa berharganya momen biasa ini bagi mereka.

Nayara membalas, melilitkan lengannya di leher Ardan. Nafas mereka berbaur, semua ketegangan hari ini luntur seketika.

"Oke, oke, Tuan Konsultan," Nayara menarik diri, tersenyum nakal. "Potong bawang bombay, atau kau tidur di sofa."

Ardan berpura-pura cemberut, tetapi matanya berkilat gembira. Ia tahu Nayara tidak akan pernah membiarkannya tidur sendirian.

.

.

.

Makan malam akhirnya tersaji: Rib-eye steak dengan saus demi-glace buatan Nayara, disandingkan dengan mashed potato krim dan anggur merah yang Ardan pilihkan. Lilin kecil menyala di meja makan, menciptakan suasana romantis yang akrab.

Mereka menikmati setiap gigitan dalam keheningan yang nyaman, diselingi musik jazz ringan dari speaker ruang tengah.

"Ini adalah steak terbaik yang pernah aku makan," puji Ardan, memotong sepotong daging lagi untuk Nayara.

"Itu karena koki utamanya memasak dengan penuh cinta yang hangat," jawab Nayara, menyesap anggurnya. "Ditambah, tidak ada yang mencoba mencuri kompor gas kita, jadi rasanya sempurna."

Mereka berdua tertawa lagi. Humor gelap mereka tentang masa lalu kini menjadi penguat betapa mereka menghargai keamanan yang mereka miliki saat ini.

Ardan meraih tangan Nayara di atas meja. Jemarinya bermain lembut di punggung tangan Nayara.

"Aku selalu berpikir," kata Ardan, matanya serius, "bahwa aku harus melakukan hal-hal besar untuk membuktikan cintaku. Membangun perusahaan, menyelamatkan dunia, atau bahkan membuatmu membenciku demi melindungimu."

"Tapi?" Nayara mendorongnya.

"Tapi yang aku butuhkan hanyalah duduk di sini, melihatmu tersenyum, dan tahu bahwa hari esok kita akan bangun bersama di ranjang yang sama. Itu sudah lebih dari cukup, Nay. Itu adalah kesempurnaan yang sesungguhnya."

Nayara merasakan mata hangatnya. Air mata bahagia, bukan lagi air mata ketakutan.

"Kamu tidak perlu membuktikan apa-apa lagi, Dan. Cukup peluk aku, cium aku, dan temani aku sampai tua," Nayara meremas tangan Ardan.

Ardan bangkit dari kursinya, berjalan ke sisi Nayara, lalu menarik Nayara berdiri. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya memeluknya erat-erat, membenamkan Nayara ke dalam dada bidangnya. Pelukan yang lama, kuat, dan penuh gairah yang tertahan.

Nayara memejamkan mata, merasakan detak jantung Ardan yang stabil di telinganya. Sentuhan intens ini adalah bahasa rahasia mereka.

Setelah membereskan meja makan bersama-sama—sebuah ritual baru yang mereka nikmati—mereka pindah ke ruang tengah.

"Sekarang," kata Ardan, mengangkat Nayara dari lantai dan mendudukkannya di sofa. "Saatnya dessert."

"Mana dessert-ku?" tanya Nayara, mencari-cari piring.

Ardan tersenyum misterius. Dia mematikan lampu ruang tengah, hanya menyisakan cahaya remang-remang dari lampu standing lamp di sudut. Ia mengambil dua selimut tebal dari lemari penyimpanan, lalu duduk di samping Nayara, menyelimuti mereka berdua dengan selimut yang nyaman.

"Aku sudah bilang, dessert kita adalah dessert yang tidak ada di menu manapun," bisik Ardan, mendekatkan wajahnya.

Ia tidak langsung mencium. Ia menatap Nayara, mengagumi keindahan istrinya dalam bayangan cahaya lembut. Ia membelai pipi Nayara, menurunkan jarinya ke rahang, lalu ke leher.

Nayara merasakan sentuhan lembut namun menggairahkan itu. Dia menutup matanya, menyerahkan diri pada kehangatan dan rasa aman yang Ardan berikan.

Ardan mendekat, dan kali ini, ciuman itu lebih dalam, lebih lambat, dan lebih memabukkan dari sebelumnya. Ini adalah ciuman janji, ciuman masa depan. Ciuman itu sarat dengan emosi, menunjukkan bahwa setelah semua badai, mereka ada di sini, bersama, utuh.

Ardan menyelipkan tangannya ke balik kaus Nayara, sentuhannya lembut namun tegas, membelai punggung istrinya.

Nayara mendesah, balas memeluk Ardan, menarik tubuhnya agar lebih dekat, sehingga tidak ada jarak di antara mereka di balik selimut tebal itu.

"Aku ingin kamu, Nayara," bisik Ardan, suaranya parau, menjauhkan bibirnya dari Nayara hanya untuk menghirup napas.

"Aku juga, Dan. Selalu kamu."

Dengan gerakan yang penuh kelembutan, Ardan memimpin Nayara ke kamar tidur. Kamar itu dipenuhi aroma lavender dari lilin yang selalu mereka nyalakan sebelum tidur.

Ardan memeluk Nayara di ambang pintu, pelukan yang sangat erat dan intens, seolah ia takut Nayara akan menghilang.

"Aku tidak akan kemana-mana," bisik Nayara, mengerti ketakutan yang sesekali masih menghantui Ardan.

"Aku tahu," balas Ardan, melepaskan pelukan untuk menatap Nayara.

Mereka saling membantu melepaskan pakaian satu sama lain, gerakan mereka lambat, penuh makna dan penghormatan. Setiap sentuhan kini terasa suci.

Saat Nayara berdiri di hadapan Ardan, tanpa sehelai benang pun, Ardan tersenyum tulus. Itu bukan senyum nafsu, tapi senyum kekaguman.

"Kamu adalah kesempurnaan, Sayang," katanya, suaranya tercekat.

Ardan mendekat, memeluk Nayara lagi, telanjang kulit ke kulit. Kehangatan yang sangat intim dan pribadi.

Mereka berbaring di tempat tidur, Ardan memeluk Nayara dari belakang, menyelimuti tubuh Nayara dengan lengannya yang kuat. Ia menciumi lembut rambut, bahu, dan punggung Nayara.

"Aku tidak butuh petualangan lagi, Nay," bisik Ardan di telinga Nayara, "Aku hanya butuh ini. Rumah. Kamu. Dan keheningan."

Nayara membalikkan badan, menghadap Ardan. Ia mencium suaminya sekali lagi, sebuah ciuman panjang yang dipenuhi gairah dan janji.

Di luar, bulan bersinar tenang. Di dalam, dua jiwa yang sempat hilang kini menemukan kedamaian dan cinta yang hangat di dalam pelukan yang sempurna. Mereka tidak lagi dikejar oleh kode, drone, atau musuh. Mereka hanya sibuk dengan detak jantung satu sama lain, menyambut malam yang panjang penuh keintiman dan ketenangan.

Bersambung....

1
Cicih Sophiana
sudah lah Nayara pergi aja..
Cicih Sophiana
orang masa lalu hadir setelah bertahan tahun kok masih mau Ardan... ingat istri yg menemani mu bertahan tahun jga tp masih kamu khianatin...
Cicih Sophiana
Hai thor...hadir di sini
Dgweny: wahh makasih udah mampir ka
total 1 replies
Sanda Rindani
kok jd istri tolol,
Dgweny: makasihhh sarannya kaa🙏
total 3 replies
Nindi
Namanya Mira Lestari atau Mira Adelia, thor?
Dgweny: youuu tooo ehe
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!