NovelToon NovelToon
PESONA TETANGGA BARU

PESONA TETANGGA BARU

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa
Popularitas:7.4k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"

Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.

Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.

Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

8

Pagi itu, Maya melangkah keluar dari rumahnya dengan perasaan campur aduk. Ada kegembiraan samar, cemas, dan sebuah getaran aneh yang sudah lama tak ia rasakan. Udara pagi yang sejuk terasa berbeda. Rumah kecilnya terlihat suram di bawah bayangan matahari terbit, kontras dengan kilau embun di rumput halaman rumah Arya. Jantungnya berdegup lebih kencang saat ia mendekati gerbang besi tempa itu. Ini hari pertamanya bekerja.

Ia menekan bel. Tak butuh waktu lama, Bi Sumi muncul dengan senyum ramah. "Mbak Maya! Sudah datang. Ayo, masuk."

Maya melangkah masuk, napasnya tertahan. Kemarin, ia hanya sampai di ruang kerja Arya. Hari ini, ia akan menjelajahi seluruh rumah ini. Aura kemewahan langsung menyergapnya. Lantai marmer mengkilap memantulkan cahaya dari lampu kristal di langit-langit tinggi. Vas-vas besar berisi bunga segar tersebar di sudut ruangan, memenuhi udara dengan aroma melati dan lily.

"Tuan Arya sedang sarapan di dapur, Mbak. Ayo, ikut saya," kata Bi Sumi, melangkah di depannya.

Maya mengangguk, matanya tak henti mengamati sekeliling. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan modern yang ia tak tahu maknanya, tapi jelas terlihat mahal. Ada piano besar di sudut ruang tamu, dan di dekatnya, sebuah set sofa beludru berwarna gelap yang terlihat sangat nyaman. Semuanya begitu bersih, begitu rapi, seolah tidak ada debu yang berani menempel di sana.

Mereka melewati koridor panjang dengan beberapa pintu tertutup. "Ini kamar tamu," Bi Sumi menunjuk salah satu pintu. "Itu ruang keluarga, dan itu kolam renang di belakang."

Mata Maya membulat. Kolam renang? Di dalam rumah? Sebuah senyum kecil tak sadar terukir di bibirnya. Ia hanya pernah melihat kolam renang seperti itu di televisi atau majalah.

Mereka tiba di dapur. Sebuah dapur yang sangat luas, dengan kitchen set modern berwarna hitam dan island table di tengahnya. Di atas island table, Arya sedang duduk di kursi tinggi, menyesap kopi dari cangkir yang sama seperti kemarin. Di depannya, ada piring berisi roti panggang dan telur mata sapi. Ia mengenakan kaus polos berwarna gelap yang membungkus otot-ototnya dengan pas.

"Pagi, Tuan," sapa Bi Sumi. "Mbak Maya sudah datang."

Arya mendongak. Matanya yang tajam langsung tertuju pada Maya. Senyum tipis, hampir tak terlihat, muncul di bibirnya. Senyum yang membuat Maya merasa deg-degan. "Pagi, Mbak Maya. Selamat datang."

"Pagi, Tuan," jawab Maya, berusaha agar suaranya tidak terlalu kaku.

"Mbak Maya, saya jelaskan dulu ya apa saja yang harus dikerjakan hari ini," kata Bi Sumi, mengambil inisiatif. "Hari ini kita akan fokus membersihkan lantai dua. Kamar Tuan Arya dan kamar tamu. Lalu rapikan ruang kerja.

Setelah itu, Mbak bisa mulai mencuci pakaian."

Maya mengangguk. "Baik, Bi."

"Bi Sumi akan tunjukkan semua letak peralatan kebersihan dan lemari penyimpanan," kata Arya, suaranya tenang, mengunyah rotinya. "Jika ada yang tidak jelas, tanya saja pada Bi Sumi. Dia sudah tahu semua seluk-beluk rumah ini."

"Iya, Tuan," kata Maya. Ia mencoba tidak melihat ke arah Arya terlalu lama, tapi tatapan pria itu seolah menempel padanya. Ia merasa diperhatikan, dinilai.

"Kamu sarapan dulu, Mbak Maya?" tanya Bi Sumi, ramah.

"Tidak usah, Bi. Saya sudah sarapan di rumah," tolak Maya sopan.

"Oh, begitu. Kalau begitu, mari saya antar keliling dulu," ajak Bi Sumi.

Bi Sumi membawa Maya berkeliling rumah. Mulai dari ruang tamu, ruang keluarga yang luas dengan televisi layar datar raksasa, hingga ke taman belakang yang asri dengan kolam renang berkilau. Maya takjub. Ini bukan hanya sebuah rumah, ini adalah istana kecil. Tama pasti tak akan pernah bisa memiliki rumah seperti ini. Ia bahkan tak pernah membayangkan bisa menginjakkan kaki di tempat semewah ini, apalagi bekerja di dalamnya.

"Ini kolam renang, Mbak. Tuan Arya sering berenang sore-sore," Bi Sumi menjelaskan, menunjuk kolam renang biru jernih.

Maya membayangkan Arya berenang di sana, tubuh atletisnya bergerak di dalam air. Sebuah bayangan yang tiba-tiba membuat pipinya sedikit memanas.

"Dan ini... ini kamar Tuan Arya," Bi Sumi membuka sebuah pintu besar di lantai dua.

Maya melangkah masuk. Kamar Arya adalah sebuah ruangan yang sangat luas, didominasi warna gelap dan furnitur minimalis modern. Ranjang berukuran king-size dengan seprai abu-abu gelap terhampar di tengah ruangan. Ada televisi layar datar besar yang menempel di dinding, dan sebuah sofa kulit di sudut. Jendela besar menghadap langsung ke taman belakang dan kolam renang.

Di atas meja samping tempat tidur, ada beberapa buku berbahasa Inggris, sebuah headphone mahal, dan sebuah jam tangan mewah. Aroma maskulin yang lembut menguar di udara. Aroma yang kuat, namun menyenangkan.

"Ini lemarinya, Mbak. Tuan Arya suka semuanya rapi. Bajunya digantung berdasarkan warna," Bi Sumi menjelaskan, membuka lemari built-in yang sangat besar. Isinya penuh dengan kemeja-kemeja mahal, setelan jas, dan beberapa kaos polos yang Maya kenali.

"Baik, Bi," kata Maya, mencoba menahan kekagumannya. Ia belum pernah melihat kamar yang semegah dan serapi ini. Tama selalu membiarkan bajunya menumpuk di kursi.

Setelah menunjukkan semua ruangan dan peralatan, Bi Sumi mengajak Maya kembali ke dapur. Arya sudah tidak ada di sana.

"Tuan Arya sudah berangkat kerja, Mbak. Biasa,

beliau sibuk sekali," kata Bi Sumi. "Nah, sekarang kita mulai saja ya. Mbak Maya bisa mulai dari kamar Tuan Arya. Saya bantu rapikan dulu. Nanti setelah itu, saya akan tinggalkan Mbak Maya sendiri di sini untuk membersihkan."

"Baik, Bi," kata Maya. Ia mengambil lap dan cairan pembersih yang ditunjukkan Bi Sumi.

Mereka mulai membersihkan kamar Arya. Bi Sumi menunjukkan cara membersihkan meja, menyedot debu karpet, dan merapikan tempat tidur. Maya mengikuti semua instruksi dengan cermat. Matanya sesekali melirik barang-barang pribadi Arya. Sebuah bingkai foto kecil di meja samping tempat tidur menarik perhatiannya. Di sana, ada foto Arya tersenyum lebar, merangkul seorang wanita muda yang cantik. Wanita itu terlihat bahagia di samping Arya.

Maya merasakan sedikit sentakan di dadanya. Arya memang duda. Tapi siapa wanita itu? Mantan istrinya? Atau... kekasihnya? Rasa penasaran Maya semakin menggebu.

"Itu foto mendiang istrinya Tuan Arya, Mbak," Bi Sumi tiba-tiba berbisik, seolah membaca pikiran Maya. "Kasihan, meninggal karena sakit keras beberapa tahun lalu."

Maya menoleh, terkejut. "Oh..." Rasa bersalah karena mengintip kehidupan pribadi majikannya langsung menyergap. "Maaf, Bi."

"Tidak apa-apa, Mbak. Wajar saja penasaran," Bi Sumi tersenyum lembut. "Tuan Arya memang orangnya tertutup, tapi sebenarnya baik sekali. Dia sangat sayang sama istrinya dulu."

Hati Maya sedikit melunak mendengar cerita itu. Jadi, Arya pernah mencintai dengan tulus. Ia tahu rasa sakit kehilangan. Mungkin itu sebabnya ada kesedihan samar di balik matanya yang tajam.

Mereka melanjutkan pekerjaan. Bi Sumi membantu merapikan pakaian di lemari Arya. Maya memperhatikan bagaimana Bi Sumi melipat kemeja dengan presisi militer. Ia mencoba meniru.

Setelah selesai dengan kamar Arya, Bi Sumi pamit undur diri. "Saya harus ke pasar dulu, Mbak Maya. Ada bahan makanan yang harus dibeli untuk makan siang Tuan Arya. Mbak Maya bisa melanjutkan membersihkan di lantai bawah ya. Ini kunci rumah kalau-kalau perlu." Bi Sumi menyerahkan sebuah kunci unik.

"Sendirian, Bi?" tanya Maya, sedikit terkejut.

"Iya, Mbak. Tidak apa-apa kan? Tuan Arya percaya sama Mbak Maya. Saya juga," Bi Sumi tersenyum. "Nanti kalau ada apa-apa, bisa telepon saya."

"Baik, Bi," jawab Maya, menerima kunci itu.

Begitu Bi Sumi pergi, Maya merasa seluruh beban rumah besar itu kini ada di pundaknya. Ia sendirian. Di rumah Arya. Rasa canggung yang tadi ia rasakan perlahan berganti menjadi sebuah sensasi... kebebasan.

Ia melangkah ke ruang keluarga, mengambil penyedot debu. Suara mesin penyedot debu memenuhi ruangan, memecah kesunyian. Maya bekerja dengan teliti, membersihkan setiap sudut. Ia menyentuh setiap benda di sana, merasakan tekstur sofa, mengusap permukaan meja kaca. Ada keintiman aneh yang ia rasakan. Ia sedang membersihkan tempat tinggal seorang pria yang entah mengapa, berhasil menarik perhatiannya.

Waktu berlalu tanpa terasa. Ia membersihkan ruang tamu, lalu menuju dapur. Ia membuka kulkas besar yang isinya penuh dengan bahan makanan segar, buah-buahan, dan minuman. Semuanya tertata rapi. Sebuah kehidupan yang jauh berbeda dari kehidupannya sendiri.

Saat ia sedang membersihkan meja makan di dapur, ponselnya berdering. Tama.

"Halo, Mas?"

"Yank, kamu sudah sampai rumah?" tanya Tama, suaranya sedikit terengah-engah.

"Belum, Mas. Aku masih di rumah Tuan Arya," jawab Maya. "Ini aku lagi bersih-bersih dapur."

"Oh, begitu. Sudah ketemu Tuan Arya?"

"Sudah, Mas. Dia tadi sarapan. Lalu berangkat kerja," kata Maya. "Dia yang wawancara aku tadi pagi."

"Bagaimana? Orangnya bagaimana?" tanya Tama, terdengar penasaran.

"Baik, Mas. Kelihatannya profesional kok," jawab Maya, berusaha menahan diri untuk tidak menceritakan detail tatapan atau senyum Arya. "Aku sudah diterima kerja, Mas."

"Alhamdulillah! Syukurlah kalau begitu. Gaji bagaimana?" tanya Tama, nadanya ceria.

"Nanti saja aku ceritakan di rumah ya, Mas. Sekarang aku mau lanjut kerja dulu. Nanti siang aku ke bengkel

antar makan siang."

"Oke, Yank. Hati-hati ya. Jangan kecapekan," pesan Tama.

"Iya, Mas. Kamu juga," Maya menutup telepon.

Ia kembali melanjutkan pekerjaan. Membersihkan, merapikan, mencuci. Ia merasa tangannya tidak berhenti bekerja, tapi pikirannya terus melayang. Rumah ini adalah dunia yang baru baginya. Sebuah dunia yang penuh kemewahan, kesendirian, dan entah mengapa, sebuah janji tersembunyi.

Sore harinya, setelah hampir semua pekerjaan selesai, Maya mulai merasa lelah. Ia duduk sejenak di sofa ruang tamu yang empuk, menikmati keheningan dan kenyamanan. Ia meraih remot televisi, menyalakannya.

Sebuah saluran berita sedang tayang.

Tiba-tiba, wajah Arya muncul di layar televisi. Ia sedang diwawancarai, di sebuah acara berita bisnis. Arya terlihat sangat berbeda di sana. Berjas rapi, dengan ekspresi serius dan wibawa yang kuat. Ia berbicara tentang investasi besar di bidang properti dan teknologi. Sebuah raut wajah yang sama sekali berbeda dari Arya yang tadi pagi tersenyum tipis padanya.

"Ini sebuah terobosan besar bagi perusahaan kami. Kami yakin ini akan membawa dampak positif bagi perekonomian lokal," kata Arya di televisi, suaranya lugas dan percaya diri.

Maya terpaku. Jadi, Arya bukan hanya kaya. Dia adalah seorang pengusaha sukses, dengan pengaruh besar. Semakin ia tahu tentang Arya, semakin besar rasa penasarannya. Semakin besar jurang perbedaan antara dirinya dengan pria itu.

Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka. Maya tersentak. Arya? Pulang secepat ini? Ia melihat jam. Belum waktunya. Ia segera mematikan televisi.

Langkah kaki terdengar mendekat. Maya menahan napas. Suara langkah itu berat, bukan langkah Bi Sumi. Sebuah bayangan gelap muncul di ambang pintu ruang tamu.

Seorang pria jangkung berdiri di sana. Bukan Arya. Bukan Bi Sumi. Pria itu mengenakan pakaian serba hitam, dengan topi yang menutupi sebagian wajahnya. Ia terlihat seperti... seorang pencuri?

Mata Maya membulat. Jantungnya berdebar kencang. Ia sendirian di rumah besar ini.

1
Mar lina
kalau sudah ketagihan
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya
lestari saja💕
klo sdh kondisi gtu setan gampang bgt masuk menghasut
lestari saja💕
ya pasti membosan kan bgt.bahaya itu
lestari saja💕
mampir,penulisannya bagus,semoga ga berbelit2
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!