"Berhenti gemetar Ana.. Aku bahkan belum menyentuhmu." Nada suara itu pelan, rendah, dan berbahaya membuat jantung Ana berdebar tak karuan. Pertemuan mereka seharusnya biasa saja, tapi karena seorang bocah kecil bernama Milo semuanya menjadi berubah drastis. Daniel Alvaro, pria misterius yang membuat jantung ana berdebar di tengah kerasnya hidup miliknya. Semakin Ana ingin menjauh, semakin Daniel menariknya masuk.Antara kehangatan Milo, sentuhan Daniel yang mengguncang, dan misteri yang terus menghantui, Ana sadar bahwa mungkin kedatangannya dalam hidup Daniel dan Milo bukanlah kebetulan,melainkan takdir yang sejak awal sudah direncanakan seseorang.
Bagaimana jadinya jika Ana ternyata mempunyai hubungan Darah dengan Milo?
apa yang akan terjadi jika yang sebenarnya Daniel dan Ana seseorang yang terikat janji suci pernikahan di masa lalu?
Siapa sebenarnya ibu dari Milo? apa hubungannya dengan Ana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNUR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hidup Ana
"Kenapa aku harus selalu menderita." Gumam Ana dengan lirih. Ia berjalan keluar dari café dengan langkah gontai. Seragamnya masih basah, lengket dan berbau kuah. Angin sore menusuk kulitnya, tapi hatinya jauh lebih perih daripada dinginnya udara.
Di tangan kirinya ada amplop tipis berisi gaji harian atas pekerjaannya di cafe. Jumlah yang bahkan tidak sampai seharga tas kecil yang di pakai Sherin.
Hidup tidak pernah memberi Ana kesempatan untuk bernapas dengan tenang.
Sejak kedua orang tuanya meninggal tiga tahun lalu, Ana tinggal sendirian di sebuah kontrakan kecil berukuran 4x4, tidak lebih besar dari kamar mandi rumah orang kaya. Dindingnya retak, catnya banyak yang mengelupas, dan atapnya sering bocor saat hujan. Tapi untuk Ana, itu sudah lebih dari cukup. Itu satu-satunya rumah yang bisa ia bayar dengan uang hasil kerjanya.
Ana berbelok ke gang sempit menuju kontrakan miliknya, suasana berubah muram dengan tembok kusam, suara ayam tetangga yang bersahutan, dan aroma gorengan dari warung ujung.
Kontrakan Ana berada di paling belakang, ruangnya kecil, hanya cukup untuk kasur tipis, meja belajar sederhana, dan sebuah kamar mandi yang amat sempit.
Ana membuka pintu kamar kontrakannya. Bunyi engsel berderit dengan nyaring.
Seperti biasa… tidak ada suara menyambut. Tidak ada orang yang menanyakan bagaimana keadaannya.
Semuanya terasa Kosong.
Ana menutup pintu lalu menyandar, napasnya terputus-putus menahan air mata yang sejak tadi ia tahan.
Begitu ia menatap seragamnya yang kotor, dadanya langsung meletup.
“Kenapa harus aku lagi… kenapa…” gumamnya lirih.
"Aku lelah."
Ia melangkah dengan gontai mengambil baju ganti, lalu masuk ke kamar mandi kecil yang terletak di pojok ruangan.
Ana mengguyur tubuhnya dengan air dingin dari ember. Setiap tetes air seperti menenangkan, tapi juga membuatnya sadar betapa keras hidup yang ia jalani.
Setelah berganti baju, ia duduk di lantai dan membuka amplop gaji dari cafe. Ia menatap sendu isi amplop itu. Uang itu bahkan tidak cukup untuk bayar kontrakan bulan depan. Kemana lagi ia harus mencari pekerjaan yang bisa menerimanya sebagai anak sekolah.
Ana memandang dinding dengan kosong. Pandangannya buram oleh air mata.
“Aku harus cari kerja yang lain…tapi siapa yang mau mempekerjakan anak SMA sepertiku.”
Tangis Ana akhirnya pecah, tubuhnya bergetar hebat. Ia lelah.. Dengan semua ini.
“seandainya Mama sama Papa masih ada… mungkin hidupku nggak akan begini,” bisik Ana sambil menutup wajahnya.
Malam itu, hujan turun pelan, mengetuk-ngetuk atap seng kontrakan Ana. Air merembes dari sudut plafon, menetes ke ember kecil yang ia letakkan sejak dua minggu lalu.
Ana duduk memeluk lutut di atas kasur tipisnya. Lembaran kain itu sudah usang, bagian tengahnya sudah hampir sobek. Tapi hanya itu yang ia punya.
Di luar, suara tawa anak-anak tetangga terdengar samar. Mereka bermain tanpa peduli apapun, sementara Ana… merasa seperti dunia selalu menutup pintu untuknya.
Ia menatap dinding yang dipenuhi cat terkelupas, menjalar seperti retakan hidupnya sendiri.
Hidup Ana selalu penuh kehilangan.
Sejak kecil, ia sudah terbiasa tidak memiliki siapa-siapa.
Ia ingat betul hari ketika kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan saat ia masih kelas dua SMP. Rumah mereka langsung disita karena tidak ada uang untuk melunasi utang-utang ayahnya. Semua barang-barang mereka dilelang, dan Ana hanya bisa memeluk satu-satunya yang tersisa foto keluarga yang sudah mulai memudar
Ia dipindahkan dari satu kerabat ke kerabat lain. Tidak ada yang benar-benar ingin merawatnya. Banyak yang hanya menerimanya demi uang santunan dari pemerintah dan yayasan. Ketika masa santunan berakhir, Ana kembali disuruh pergi.
Ia diusir.
Diusir… oleh orang yang ia panggil keluarga.
Sejak SMA, Ana hidup sendiri.
Ia bekerja apapun mencuci piring, mengantar brosur, menjadi kasir minimarket saat libur, bahkan pernah jadi penjaga parkir satu malam hanya demi bisa makan.
Dan hari ini… pekerjaan satu-satunya yang memberinya pemasukan stabil, telah hilang.
Bukan karena kesalahannya tapi Karena seseorang ingin melihatnya menderita.
Air mata Ana menetes, jatuh tepat ke punggung tangannya.
“Kapan aku bisa bahagia…?” suaranya hampir tak terdengar.
Listrik tiba-tiba berkedip lalu padam. Kontrakan Ana kini gelap total. Seperti biasa. Ia lupa membayar tunggakan listrik.
Ia meraba-raba mencari lilin kecil yang ia simpan. Hanya ada satu yang tersisa itu pun sudah pendek dan hampir habis. Ana menyalakannya, dan cahaya kecil itu menari pelan menerangi wajahnya.
Wajahnya lelah dengan Mata sembap. Rambut sedikit berantakan dan senyum yang sudah lama tidak muncul.
Ia membuka laci meja, mengambil kotak kecil tempat ia menyimpan uang tunai seadanya. Ketika dihitung… uangnya bahkan tak cukup untuk makan dua hari ke depan.
Perut Ana berbunyi keras. Ia belum makan sejak siang.
Ia membuka rak makan berharap menemukan mie instan. Tapi yang tersisa hanya setengah bungkus beras yang tak cukup untuk satu porsi penuh.
Ia menelan ludah dengan kasar.
Hujan semakin deras, membuat udara semakin dingin. Lilin berkedip seperti hampir mati. Ana memeluk dirinya sendiri.
“Aku capek…” bisiknya, suara itu pecah.
Untuk sesaat, Ana merasa hidupnya tidak adil.
Kenapa orang seperti Sherin yang punya uang, keluarga lengkap, rumah besarmalah malah menyakitinya?
Kenapa hidup selalu menjatuhkannya?
Kenapa tidak ada satu pun yang peduli kalau ia sakit, lapar, ataupum menangis?
Ana menghapus air matanya kasar.
“Aku harus kuat. Kalau aku menyerah… nggak ada yang bakal nolong aku.”
Ia mencoba belajar lagi dalam remang cahaya lilin, namun huruf-huruf di buku tampak kabur karena matanya terus basah. Ia memejamkan mata.
Di luar, kucing liar mengeong kelaparan.
Di dalam, Ana menunduk diam sambil menahan perih
ia membuka dompet lusuhnya, menatap foto kedua orang tuanya.
“Mama… Papa… Aku kangen,” lirihnya, suaranya hancur.