Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jamuan di Bawah Ancaman
Mobil yang Anita berhenti di depan rumah mereka. Anita tidak langsung turun. Ia bersandar di jok, membiarkan tubuhnya menikmati jeda sesaat dari ketegangan yang menggerogoti. Di mulutnya, kawat baja yang mengikat rahang atas dan bawah terasa seperti belenggu dingin. Rasa sakit kronis yang sudah akrab kini diperburuk oleh sensasi asing dari kawat-kawat itu, membuatnya kesulitan menelan ludahnya sendiri.
"Dr. Imelda tidak melaporkanku. Dia memberiku kesempatan kedua."
Kelegaan itu hanya bertahan sekejap, tergantikan oleh rasa bersalah yang menusuk. Ia membohongi seorang dokter yang mencoba menolongnya. Ia kembali melindungi Aidan, melanggengkan nerakanya sendiri.
Anita memaksakan diri keluar dari mobil. Ia harus segera memulai persiapan. Rentang waktu enam bulan telah mengubah luka-luka di tubuhnya menjadi sebuah peta geologis penderitaan; ada memar yang keunguan (baru), ada yang kekuningan (tua), dan beberapa bekas luka yang nyaris pudar di bawah concealer tebal.
Dapur marmer putih menyambutnya, bau sedap sisa penggorengan pagi tadi masih samar tercium. Aidan sudah merencanakan menu jamuan dengan cermat: Rendang Daging Sapi Premium, Ayam Bakar Madu, dan Gulai Ikan Kakap Merah. Semuanya adalah masakan rumit yang membutuhkan berjam-jam persiapan dan tenaga ekstra.
Mengiris bawang dengan rahang yang nyeri adalah siksaan. Mengaduk rendang di wajan besar dengan tangan yang gemetar adalah beban. Ia hanya bisa bergerak sangat lambat, berkomunikasi dengan kepala dapurnya (yang ia datangkan dari toko kuenya, dibayar secara pribadi) hanya melalui pesan teks singkat dan bisikan tertahan.
"Uang". Pikirannya melayang pada rekeningnya. Aidan telah memblokir semua aksesnya ke rekening bersama sejak Kevin meninggal. Semua bahan makanan premium yang ia masak hari ini, bumbu rempah-rempah yang mahal, semua dibayar tunai dari kas toko kuenya, "Senyum Tiramisu."
Setiap masakan yang ia buat, setiap tetes keringat yang jatuh, adalah simbol ironi yang menyakitkan: ia menggunakan uang yang ia peroleh dari kerja kerasnya demi menyenangkan keluarga suaminya, suami yang sama yang mematahkan rahangnya. Ia adalah juru masak, pelayan, dan dompet pribadi dalam rumah tangganya sendiri.
Ia melangkah ke depan wastafel, mencoba membasuh kawat di mulutnya agar tidak ada sisa makanan. Ia melihat pantulannya. Wajahnya kurus, kantung matanya menghitam, dan senyumnya... senyumnya kini terhalang total. Bibirnya hanya bisa melengkung tipis, sebuah isyarat wajah yang lebih menyerupai ringisan.
Tepat pukul enam sore, saat Rendang sudah mulai mengeluarkan aroma khasnya yang tajam, Aidan masuk ke dapur. Ia sudah mengenakan setelan kasual elegan, rambutnya tertata rapi. Ia tampak sempurna, seolah ia baru saja kembali dari rapat penting, bukan dari sesi memukul.
Aidan mendekat, matanya tajam dan mengawasi, seperti seorang inspektur yang menilai produk akhir. Ia mencicipi rendang sedikit, lalu mengangguk puas.
"Bagus," katanya. Itu bukan pujian, melainkan konfirmasi bahwa Anita telah memenuhi fungsinya. untungnya orang yang disuruh membantu Anita untuk memasak sudah pulang.
Ia kemudian berbalik dan mendekati Anita yang sedang mencuci tangannya.
"Kamu terlihat sangat menyedihkan," bisiknya, suaranya pelan dan mengancam, kontras dengan aroma rendang yang hangat. "Aku harap kamu sudah siap dengan ceritamu."
Anita mengangguk. Gerakan kecil itu membuat rahangnya berdenyut.
Aidan menyentuh rahang Anita, memaksanya sedikit mendongak. Jari-jarinya yang dingin mengusap perlahan kawat di mulut Anita, seperti seorang kolektor yang mengagumi perangkapnya.
"Enam bulan, Anita. Enam bulan kita kehilangan Kevin. Kamu harus menunjukkan kepada mereka betapa hancurnya kita, betapa kita saling menguatkan, meski duka ini membuatmu ceroboh," desisnya. "Aku sudah menyiapkan narasinya: kamu pingsan di kamar mandi karena kelelahan, dan terbentur sangat keras. Dokter melarang mu bicara agar otot wajahmu istirahat total."
Aidan tersenyum. Senyum itu tidak menjangkau matanya. "Ingat, jika ada pertanyaan tentang rahangmu, tatap aku. Biar aku yang bicara. Jika kau mencoba bicara dan kawat itu terdengar aneh, apalagi jika kamu menceritakan kebenaran, bukan hanya rahangmu yang akan patah malam ini. Aku akan memastikan kamu tidak akan pernah bisa bicara lagi."
Saat ancaman itu menghujam, Anita merasakan kehadiran dingin di belakang Aidan. Kevin.
Kevin, yang kini berusia tujuh tahun, berdiri diam, mata besarnya menatap ayahnya dengan rasa jijik dan takut. Kevin kecil mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh pipi Anita, seolah ingin memberinya kekuatan.
"Mama, lari. Bisikan halus yang hanya didengar Anita."
Anita tersentak, hampir menjerit, tetapi kawat di mulutnya menyelamatkannya. Aidan tidak menyadari apa-apa.
"Apa yang kamu lihat?" tanya Aidan tajam.
Anita menggelengkan kepala cepat. Ia telah menguasai seni menekan halusinasi Kevin saat sedang berhadapan dengan Aidan. Ia harus bertahan, demi Kevin, demi orang tuanya.
Bel pintu berdering. Waktu pertunjukan.
Aidan segera melepaskan Anita. Wajah dinginnya langsung berubah menjadi ekspresi hangat, kelelahan, dan penuh duka. Ia menghela napas panjang, seolah sedang memikul beban kesedihan yang tak tertahankan.
Aidan langsung meninggalkan Anita di dapur dan membukakan pintu untuk kedua orang tuanya yang baru saja datang
"Selamat datang, Ma, Pa," sapa Aidan dengan suara yang meyakinkan, memeluk orang tuanya di ruang tamu.
Anita muncul dari dapur, memaksakan senyum yang hanya terlihat seperti tarikan kaku di wajahnya. Ia menyambut mereka dengan gerakan kecil.
Orang tua Aidan, Tuan dan Nyonya, langsung mendekat dengan wajah khawatir. Mereka memeluk Anita erat.
"Ya Tuhan, Anita, apa yang terjadi denganmu? Kami khawatir sekali," ujar Ibu Aidan dengan mata berkaca-kaca, penuh keprihatinan tulus.
Aidan segera menyela dengan suara yang lembut namun tegas, merangkul Anita. "Ini semua salahku, Ma. Aku kurang menjaganya. Sejak Kevin... Anita tidak bisa tidur. Dia pingsan di kamar mandi tadi siang, terbentur keras. Dokter bilang dia harus istirahat total. Ini adalah harga yang dia bayar karena terlalu memikirkan duka kita."
Narasi itu sempurna. Self-pity, self-blame, dan self-sacrifice dari Aidan, yang membuat semua orang merasa kasihan padanya.
Sela, adik Aidan yang jeli dan cerdas, adalah yang paling tenang. Ia mendekati Anita, tidak langsung memeluk, melainkan menatap mata Anita dalam-dalam. "Kakak ipar, apa kamu yakin baik-baik saja? Kenapa kamu masih masak jika dilarang bicara?"
Aidan tertawa kecil, memegang tangan Anita. "Dia tidak bisa diam, Sela. Dia bilang, memasak adalah cara dia menyalurkan duka. Tapi aku sudah janji, aku yang akan menjaganya malam ini."
Anita hanya bisa tersenyum palsu, kawat itu membatasi gerakannya. Ia ingin berteriak kepada Sela: "Aku baik-baik saja, tapi dia yang melakukannya."
Keluarga berkumpul di meja makan. Masakan Anita selalu di puji: Rendang yang empuk, Ayam Bakar yang harum. Aidan dengan sempurna memainkan peran suami yang melayani, memotongkan makanan menjadi kecil-kecil untuk Anita (meskipun ia tahu Anita tidak bisa memakannya) dan menuangkan bubur yang telah disiapkan Anita untuk dirinya sendiri.
"Lihat betapa sabarnya Aidan," ujar Ibu Aidan. "Kalian berdua harus saling menjaga. Setelah enam bulan, sudah waktunya kalian kembali merencanakan masa depan."
Kata-kata "masa depan" membuat Anita mual. Ia menatap Aidan. Ekspresi Aidan tampak tulus, tetapi matanya memancarkan peringatan yang menakutkan.
Saat semua orang sibuk mengobrol tentang pekerjaan, Sela mengambil kesempatan. Ia menjatuhkan garpu ke bawah meja secara sengaja.
Kring!
Sela membungkuk, berpura-pura mencari garpu nya. Alih-alih serbet, matanya tertuju pada pergelangan kaki Anita yang sedikit terbuka di bawah gaun panjangnya.
Di sana, di pergelangan kaki Anita, ia melihat memar kecil dengan warna yang sudah agak pudar, cenderung kehijauan. Itu memar yang tidak ada hubungannya dengan "terjatuh di kamar mandi" yang seharusnya hanya melukai kepala atau rahang. Memar itu juga terlihat lebih tua daripada luka rahang yang dibilang baru.
Sela menegakkan tubuh, garpu sudah di tangannya. Ia menatap Anita. Kemudian, ia menatap Aidan, yang sedang tersenyum ceria menceritakan rencana bisnisnya.
Retakan pertama di permukaan kaca telah tercipta. Sela sekarang tahu, luka Anita adalah kronis, bukan kecelakaan. Dan kebenaran itu jauh lebih gelap daripada yang bisa ia bayangkan.
Anita hanya bisa memaksakan senyum, Senyum Tiramisu yang menyakitkan, dan berharap Sela segera melupakan apa yang dilihatnya. Sayangnya, bagi Sela, malam itu baru permulaan.