Satu kesalahan di lantai lima puluh memaksa Kirana menyerahkan kebebasannya. Demi menyelamatkan pekerjaan ayahnya, gadis berseragam putih-abu-abu itu harus tunduk pada perintah Arkan, sang pemimpin perusahaan yang sangat angkuh.
"Mulai malam ini, kamu adalah milik saya," bisik Arkan dengan nada yang dingin.
Terjebak dalam kontrak pelayan pribadi, Kirana perlahan menemukan rahasia gelap tentang utang nyawa yang mengikat keluarga mereka. Di balik kemewahan menara tinggi, sebuah permainan takdir yang berbahaya baru saja dimulai. Antara benci yang mendalam dan getaran yang tak terduga, Kirana harus memilih antara harga diri atau mengikuti kata hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Pilihan yang Menyakitkan
Suara tamparan keras menggema di dalam ruangan mewah yang kini terasa seperti penjara bawah tanah bagi Kirana. Rasa panas menjalar di pipi Kirana saat wanita yang sangat mirip dengan ibunya itu menatapnya dengan pandangan yang penuh dengan kobaran kebencian. Rantai emas di pergelangan tangan Kirana berdenting nyaring, menciptakan harmoni yang sangat memilukan di tengah keheningan ruangan yang luas tersebut.
"Jangan pernah berani menyebut saya dengan sebutan ibu lagi, karena saya adalah mimpi buruk yang akan menghancurkan hidupmu," desis wanita itu dengan suara yang sangat dingin.
Kirana tersungkur di atas tempat tidur sutra, air matanya jatuh membasahi bantal yang empuk namun terasa sangat berduri bagi perasaannya. Ia menatap pria yang berdiri di samping wanita itu, sosok musuh bebuyutan keluarga Dirgantara yang kini memegang kendali atas nasibnya. Pria itu menyalakan sebuah cerutu, asapnya yang tebal mulai memenuhi ruangan dan membuat paru-paru Kirana terasa sangat sesak.
"Apa yang sebenarnya Anda inginkan dari saya? Saya tidak memiliki harta apa pun untuk kalian ambil," tanya Kirana dengan sapaan yang terputus-putus akibat isak tangis yang mendalam.
Pria itu tertawa terbahak-bahak, suara tawanya terdengar sangat parau dan penuh dengan nada kemenangan yang sangat menjijikkan bagi siapa pun yang mendengarnya. Ia melangkah mendekati Kirana lalu melemparkan sebuah dokumen setebal lima puluh halaman ke hadapan gadis yang sedang hancur tersebut. Di sampul dokumen itu tertera sebuah logo perusahaan yang sangat ia kenal, milik Arkananta Dirgantara.
"Kamu adalah kunci untuk membuat Arkananta menyerahkan seluruh saham perusahaannya kepada saya malam ini juga," ujar pria itu sambil menunjukkan sebuah layar pemantau besar.
Layar itu menampilkan sosok Arkananta yang sedang berdiri di tengah hujan deras di depan gerbang gedung tua tempat Kirana disekap. Tubuhnya tampak sangat lemah dengan kemeja putih yang sudah bersimbah darah sisa perkelahian di markas rahasia sebelumnya. Meskipun dikepung oleh puluhan pengawal bersenjata lengkap, Arkananta tidak menunjukkan rasa gentar sedikit pun di dalam matanya yang tajam.
"Tuan Arkan! Jangan masuk ke sini! Ini adalah sebuah jebakan yang sangat berbahaya!" jerit Kirana meskipun ia tahu suaranya tidak akan pernah sampai ke luar sana.
Wanita yang mirip ibunya itu mencengkeram rambut Kirana dengan sangat kasar, memaksa gadis itu untuk terus menatap penderitaan Arkananta di layar tersebut. Kirana merintih kesakitan, ia merasa kulit kepalanya seolah sedang dikuliti secara perlahan oleh tangan yang seharusnya memberikan kasih sayang kepadanya. Suasana di dalam ruangan itu semakin mencekam saat suara tembakan peringatan mulai terdengar dari arah luar gedung.
"Pilihannya sangat sederhana, tanda tangani dokumen pengalihan warisan ini atau lihat pria sombong itu mati di depan matamu sendiri," ancam wanita itu dengan nada yang sangat kejam.
Kirana memegang pena yang disodorkan kepadanya dengan tangan yang gemetar hebat seolah benda kecil itu memiliki beban seberat gunung berapi. Ia menatap Arkananta yang kini sudah berlutut di atas aspal yang basah karena sebuah tendangan keras mendarat di punggungnya yang sedang terluka parah. Rasa sakit yang dirasakan Arkananta seolah berpindah ke dalam dada Kirana, menciptakan lubang kehampaan yang sangat menyiksa jiwanya.
"Kenapa kalian sangat membenci keluarga Dirgantara hingga tega mengorbankan darah daging kalian sendiri?" tanya Kirana dengan suara yang sangat serak karena terlalu banyak berteriak.
Wanita itu melepaskan cengkeramannya lalu berjalan menuju jendela besar, menatap rintik-rintik hujan yang jatuh membasahi bumi dengan pandangan yang sangat kosong. Ia teringat akan masa lalu ketika ayahnya Arkananta mengusir keluarganya dari rumah utama tanpa membawa sepeser pun uang untuk bertahan hidup. Dendam yang sudah dipupuk selama puluhan-tahun itu kini telah tumbuh menjadi monster yang sangat haus akan pembalasan darah.
"Karena ayah Arkananta telah mencuri segalanya dari saya, termasuk pria yang sangat saya cintai di masa muda dulu," jawab wanita itu tanpa menoleh sedikit pun.
Kirana menyadari bahwa ia hanyalah korban dari rantai kebencian yang sudah berkarat di antara generasi sebelum dirinya lahir ke dunia ini. Ia menatap dokumen di depannya, lalu beralih menatap Arkananta yang kini sedang ditodongkan moncong senjata tepat di bagian belakang kepalanya. Sebuah keputusan yang sangat menyakitkan harus ia ambil dalam hitungan detik sebelum peluru panas itu menembus tempurung kepala Arkananta.
"Baiklah, saya akan menandatangani semuanya, tapi biarkan dia pergi dari sini dengan keadaan yang masih bernapas," ucap Kirana dengan nada bicara yang sangat penuh dengan kepasrahan.
Pria musuh keluarga Dirgantara itu tersenyum lebar, ia segera mengambil dokumen yang sudah ditandatangani oleh Kirana dengan tinta hitam yang sangat pekat. Ia memberikan kode kepada para pengawalnya melalui alat komunikasi untuk segera membawa Arkananta masuk ke dalam gedung untuk sebuah pertemuan terakhir. Kirana merasa jiwanya seolah baru saja terbang meninggalkan tubuhnya yang kini sudah tidak memiliki apa-apa lagi.
Pintu ruangan terbuka lebar dengan bantingan yang sangat keras hingga debu-debu beterbangan di bawah sinar lampu kristal yang sangat terang. Arkananta diseret masuk oleh dua orang pengawal bertubuh besar, wajahnya penuh dengan luka goresan yang sangat dalam dan membiru di bagian pipi. Namun, saat mata mereka saling bertemu, Kirana melihat sebuah kilatan rahasia yang tersimpan di balik sorot mata Arkananta yang masih sangat tenang.
"Maafkan saya, Tuan, saya terpaksa melakukan ini demi menyelamatkan nyawa Anda dari orang-orang jahat ini," bisik Kirana sambil mencoba menggapai tangan Arkananta yang terikat.
Arkananta tidak marah, ia justru tersenyum tipis yang sangat misterius seolah semua kejadian pahit ini masih berada di bawah kendali pikirannya yang jenius. Ia menatap pria yang memegang dokumen warisan itu dengan pandangan yang sangat meremehkan dan penuh dengan rasa percaya diri yang sangat tinggi. Tiba-tiba, suara ledakan kecil terdengar dari arah dokumen yang sedang dipegang oleh pria tersebut.
Asap putih pekat seketika memenuhi ruangan, menutupi pandangan siapa pun yang berada di sana dalam sekejap saja tanpa sempat menghindar. Kirana merasakan sebuah tangan yang sangat besar dan hangat menarik tubuhnya dari tempat tidur dengan gerakan yang sangat cepat dan bertenaga. Arkananta ternyata sudah berhasil melepaskan ikatannya sejak awal dan sedang menggunakan alat pengalih perhatian yang sangat canggih.
"Lari menuju pintu belakang sekarang juga, jangan pernah menoleh ke belakang apa pun yang terjadi nanti!" perintah Arkananta sambil mendorong Kirana ke arah lorong yang gelap.
Kirana berlari sekuat-tenaga menembus kabut asap yang sangat perih di mata, mengikuti insting bertahan hidup yang sangat kuat di dalam dadanya. Namun, langkahnya terhenti saat ia mendengar suara ledakan besar yang berasal dari arah ruangan tempat Arkananta masih tertinggal di dalam sana. Kirana berbalik dengan wajah yang dipenuhi dengan ketakutan yang sangat luar biasa, melihat lidah-lidah api mulai menjilat dinding-dinding mewah tersebut.
"Tuan Arkananta! Tidak! Jangan tinggalkan saya lagi di tempat yang sangat menakutkan ini!" jerit Kirana sambil berusaha kembali masuk ke dalam kobaran api yang sangat panas.
Di tengah kepulan asap yang sangat tebal, Kirana melihat sebuah bayangan seseorang sedang berjalan keluar sambil memanggul tubuh wanita yang mirip ibunya tadi. Namun, bayangan itu bukanlah Arkananta, melainkan pria lain yang mengenakan seragam pengawal yang sama dengan orang-orang yang menculiknya. Kirana terjatuh lemas di lantai, menyadari bahwa Arkananta mungkin benar-benar sudah terjebak di dalam pusat ledakan yang sangat mengerikan itu.