"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."
🌊🌊🌊
Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.
Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.
Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.
Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.
Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.
Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.
Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Pelukan yang Ditolak
Pagi tadi, rahasia itu terbongkar.
Elio, dengan kunci cadangan yang dipegangnya untuk situasi darurat, membuka pintu kamar Serafina setelah nona mudanya itu tak kunjung keluar.
Apa yang dilihatnya—Serafina dan Rafael yang terlelap dalam pelukan—merobek hatinya menjadi ribuan keping. Amarah yang mendidih, dicampur rasa sakit yang tak tertahankan, membuatnya menghajar Rafael habis-habisan.
Rafael, yang merasa bersalah, tidak melawan. Dia hanya menerima pukulan demi pukulan, sampai Serafina turun tangan, menahan Elio yang hampir saja membocorkan rahasia terbesar—bahwa Serafina adalah anak darah daging Leonardo Romano.
Sekarang, Serafina duduk di atas sebuah batang pohon tumbang di tepi pantai pasir putih rahasia—tempat Rafael dan Mila biasa membangun istana pasir. Dia ada di sini karena bersikeras ingin mengobati luka Rafael dengan salep yang katanya lebih manjur.
Rafael datang dengan sepeda tuanya. Pakaian santainya—celana panjang, tanktop ketat yang menampilkan otot-ototnya, dan kemeja kotak-kotak yang tidak dikancing—berkibar ditiup angin laut. Dia memarkir sepedanya dan berjalan ke arah batang pohon, di mana Serafina sudah menunggu dengan gaun musim panasnya yang juga menari-nari ditiup angin.
Serafina tersenyum lemah saat melihatnya. “Siediti,” pintanya.
*Duduklah
Rafael menurut, duduk di atas batang pohon, dan membiarkan Serafina berdiri di antara kedua kakinya yang terbuka. Dengan hati-hati, Serafina mulai mengoleskan salep ke memar dan luka di wajah Rafael yang tampan, kini babak belur.
Rafael meringis saat obat menyentuh lukanya.
“Bagaimana reaksi Mamma-mu?” tanya Serafina.
“Hanya perkelahian,” jawab Rafael singkat. “Dia memarahiku karena bertarung, tapi aku tidak bilang dengan siapa.”
Serafina mengangguk. “Dan ... hari ini kau tidak pergi melaut?”
“Aku akan pergi malam ini,” balasnya.
Serafina tahu itu. Dia hanya ingin mendengar suaranya, ingin menunjukkan bahwa dia peduli. Tapi udara di antara mereka terasa berat, berbeda.
Rafael menelan ludah. Wajah Serafina begitu dekat. Dia bisa melihat setiap bulu matanya, setiap helai rambutnya yang diterpa angin. Dan di balik kecantikan itu, dia merasakan sebuah tembok.
Sebuah rahasia.
“Serafina,” ucapnya, suaranya tiba-tiba serius. “Dari keluarga mana kau? Romano? Morello? Costa? Bianchi?”
Serafina membeku. Mata hazel-nya membelalak, menatap pasir di antara kaki Rafael. Nama-nama itu ... dia tahu. Mereka adalah nama-nama keluarga besar, mitra atau kadang pesaing bisnis Papà-nya. Tapi dia tidak tahu betapa gelapnya bisnis mereka.
“Aku seorang Veraldi,” bantahnya, mencoba terlihat percaya diri.
Rafael tidak mendongak. Matanya menatap pasir dengan tajam. “Keluarga Veraldi memiliki pelayan,” godanya.
Serafina mengangguk, gugup. “Ya, tapi peraturan mereka tidak seekstrim keluarga besar.”
Rafael tersenyum kecut, sinis. “Semua peraturan untuk pelayan di negara ini sama.”
Serafina terdiam. Dia tidak pernah benar-benar memikirkan peraturan itu saat dia masih menjadi Serafina Romano.
“Dari keluarga mana kau, Serafina?” tanya Rafael lagi, suaranya lebih rendah, lebih berbahaya.
“Veraldi.” Serafina bersikeras, suaranya hampir berbisik. “Namaku Serafina Veraldi.”
Rafael mendekatkan wajahnya. Tangannya yang kasar mengusap pipi Serafina. “Kulitmu ... pasti mahal perawatannya. Agak kusam, tapi masih sangat lembut.”
Serafina menarik napas. “Aku dari keluarga kelas menengah.”
“Apa pekerjaan Papà-mu?”
Suhu seketika berubah. Serafina bisa merasakan hawa dingin yang memancar dari Rafael. Dia menatap matanya yang hijau keabu-abuan, yang kini tampak seperti es.
“Kenapa ... kenapa kau jadi seperti ini?” desis Serafina. “Apa karena Elio melarangmu menemuiku lagi?”
Rafael memikirkan kata-kata Marco. ‘Non sembrano fratelli’. Mereka tidak terlihat seperti kakak beradik. Dan pagi tadi, cara Serafina menahan Elio...
“Kau terlihat ... terlalu berharga untuk disentuh oleh seseorang sepertiku,” ujar Rafael, suaranya hampa. “Aku hanya ingin melindungi keluargaku.”
Perkataan itu membuat Serafina hancur. Dia memasukkan botol salep ke saku gaunnya, lalu memeluk pinggang Rafael, mendekatkan dahinya ke dadanya. Dia berharap Rafael akan membalas pelukannya, tapi yang dia dapat hanyalah dinginnya sikapnya.
“Elio ... terlihat seperti bodyguard. Bukan seorang kakak,” ujar Rafael.
“Dia adalah Elio Veraldi!” bantah Sera, putus asa.
“Salah satu peraturan untuk pelayan…” Rafael bersikeras, suaranya seperti baja, “...adalah kesetiaan mutlak sampai pensiun. Mereka tidak boleh menikah sebelumnya. Dan Nonna Livia Veraldi ... tidak punya anak.”
“Dia punya saudara laki-laki! Aku adalah cucunya!” Serafina membela, suaranya gemetar.
“Ah, begitu…” Rafael mendesah, nada datar dan tak percaya. “Aku mengerti.”
Serafina memeluknya lebih erat, berusaha mencari kehangatan yang hilang. “Tolong, peluk aku,” bisiknya di telinga Rafael, suaranya pecah.
Rafael mengingat kata-kata Elio yang menusuk. ‘Sei sporco per lei’. Kau kotor baginya.
Dia melepaskan pelukan Serafina dengan lembut tapi tegas.
Serafina, putus asa, mengambil tangan Rafael dan melingkarkannya di pinggangnya sendiri, lalu memeluk leher Rafael. “Nikahi aku,” bisiknya.
Rafael terdiam sejenak, lalu tertawa kecil, getir. “Apakah kau benar-benar ingin menjadi istri seorang nelayan?”
Serafina mengangguk, matanya berkaca-kaca.
“Aku harus merawat Mamma dan Papà yang menua, adik perempuanku yang kecil, dan bahkan Giada, yang, meski akan menikah dengan Marco, punya asma. Apakah kau rela menjadi yang terakhir dalam daftar prioritasku?”
Serafina membayangkan kehidupan itu. Hidup sederhana, berjuang, selalu menjadi nomor dua setelah laut dan keluarga Rafael. Hatinya sakit, tapi dia mengangguk lagi. Air matanya akhirnya tumpah, membasahi kemeja Rafael.
Rafael melihat air mata itu, tapi tidak mengusapnya. “Jika kau menangis, artinya kau tidak sanggup,” katanya, suaranya dingin dan tegas. “Kalau begitu, mari kita terus bertemu seperti ini. Tapi jangan harapkan lamaran. Anggap saja sebagai hiburan selama liburanmu. Lupakan aku ketika kau kembali ke kota.”
Kata-kata itu seperti pisau yang memotong-motong jiwa Serafina. Dia tak tahan lagi. Tubuhnya gemetar, dan dengan isakan yang tertahan, dia melepaskan pelukannya, berbalik, dan berlari menjauh, meninggalkan Rafael sendirian di atas batang pohon tumbang itu.
Rafael tidak mengejarnya. Dia hanya duduk di sana, menatap laut yang telah membesarkannya, merasakan luka di wajahnya dan luka yang lebih dalam di hatinya, bertanya-tanya apakah dia telah menyelamatkan mereka berdua dari sebuah bencana, atau justru menciptakannya.
...🌊🌊🌊...
“Suka atau tidak suka. Aku terobsesi padamu.”
“Kau bisa berbuat semaumu, Serafina. Aku akan menuruti.”