Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Suasana di ruang direksi PT Bumi Atmaja Nickel berbeda sama sekali dengan beberapa hari sebelumnya. Jika dulu ruangan itu dipenuhi kecemasan dan keputusasaan, kini ada udara lega yang nyaris terlihat.
Tomi Atmaja berdiri di depan jendela, wajahnya yang biasanya tegang kini lebih rileks. Bima duduk di kursi direktur, memandangi dokumen persetujuan pinjaman dari bank yang baru saja tiba via email.
"Luar biasa," gumam Tomi, menggeleng-geleng tak percaya. "Hanya dalam tiga hari. Semua masalah teratasi."
Bima mengangguk, meski matanya masih menyimpan keheranan. "Aku nggak menyangka Pak Renzi mau membantu sebesar ini. Padahal kita pesaingnya."
Tomi berbalik, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Ini bukti bahwa di dunia bisnis, persaingan sehat itu ada. Dan pak Renzi Jayawardhana adalah contoh nyatanya."
Pintu ruang direksi terbuka. Karmel masuk, wajahnya pucat tetapi berusaha tersenyum. Di tangannya, ia membawa sebuah kotak kardus kecil berisi barang-barang pribadinya.
"Karmel!" sambut Tomi dengan hangat, mendekat dan memeluknya. "Kamu penyelamat perusahaan ini. Berkat hubungan baikmu dengan pak Renzi, kita selamat."
Karmel membalas pelukan itu dengan kaku. "Saya hanya melakukan apa yang saya bisa, Pak."
Bima berdiri, mendekati Karmel dengan tatapan lembut. "Terima kasih, Mel. Tanpa kamu, mungkin perusahaan ini sudah tutup." Tangannya meraih tangan Karmel, menggenggamnya erat.
Seketika itu, air mata yang selama ini ditahan Karmel akhirnya menetes. Pipinya basah oleh linangan air mata yang tak terbendung. Tomi dan Bima terkejut.
"Mel? Kenapa?" tanya Bima khawatir.
Karmel menarik napas tersendat-sendat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kata-kata yang paling sulit dalam hidupnya. "Saya... saya harus mengundurkan diri."
Keheningan.
Tomi membelalak. "Apa? Kenapa? Kita baru saja selamat!"
"Justru karena kita selamat," jawab Karmel, suaranya bergetar. "Bantuan Pak Renzi... ada syaratnya. Saya harus kembali bekerja di JMG."
Bima terduduk kembali di kursinya, wajahnya pucat. Sekarang dia mengerti. Bantuan Renzi bukanlah kemurahan hati—itu adalah transaksi. Dan mata uangnya adalah Karmel.
"Tapi... Mel," protes Bima, suaranya penuh kekesalan.
Tomi diam sejenak, memproses informasi itu. Di matanya, pergulatan batin terlihat jelas. Di satu sisi, dia bersyukur perusahaan selamat. Di sisi lain, dia tahu harga yang harus dibayar Karmel terlalu mahal.
"Karmel," ujar Tomi akhirnya, suaranya berat. "Apakah ini pilihan kamu? Atau... paksaan?"
Karmel menatap lantai. "Apakah bedanya, Pak? Kalau saya menolak, perusahaan ini bangkrut. Kalau saya setuju, perusahaan selamat. Itu satu-satunya pilihan yang ada."
Ruangan kembali hening. Kebenaran pahit itu menggantung di antara mereka. Tomi akhirnya menghela napas panjang, mendekati Karmel dan meletakkan tangan di bahunya.
Bima masih terduduk diam, matanya tertuju pada Karmel dengan campuran rasa sakit dan kemarahan. Dia ingin memprotes, ingin melawan, tapi apa gunanya? Semua sudah terlambat. Renzi sudah memenangkan permainannya.
---
Karmel berdiri di depan meja kerjanya yang sudah kosong. Foto dirinya bersama ibu di pinggir pantai, tanaman kecil di sudut meja, beberapa buku referensi pertambangan—semuanya sudah masuk ke dalam kotak kardus. Di luar jendela, Jakarta sore terlihat kelabu, seolah turut berduka atas kepergiannya.
Bima masuk tanpa mengetuk. Matanya merah, mungkin karena kurang tidur atau karena menahan emosi.
"Jadi benar-benar pergi?" tanyanya, suaranya parau.
Karmel mengangguk, tidak bisa menemukan kata-kata.
"Kenapa nggak nolak?" Bima mendekat, suaranya mulai meninggi. "Kenapa nggak bilang sama mas Tomi dan aku kalau itu syaratnya? Kita bisa cari jalan lain!"
"Jalan lain apa, Mas?" tanya Karmel, akhirnya menatap Bima. Matanya yang cantik itu kini penuh dengan keputusasaan yang dalam.
Bima mengepalkan tangannya. "Tapi kamu nggak boleh ngorbanin dirimu kayak gini! Kamu berharga lebih dari sekadar sekretaris atau manager! Kamu..."
"Kalau aku nolak," potong Karmel, suaranya berbisik. "Yang jadi korban nggak cuma aku, tapi banyak korban lain. Semua karyawan yang terpaksa harus diberhentikan akan jadi korban termasuk keluarga mereka."
Pernyataan itu membuat Bima terdiam. Dia baru menyadari betapa dalam cengkeraman Renzi pada Karmel. Ini bukan sekadar soal bisnis—ini soal penguasaan total atas hidup seorang wanita.
---
LOBI JMG GROUP – SENIN PAGI
Karmel berdiri di lobi mewah yang pernah sangat ia kenal. Segalanya masih sama—marmer mengilap, aroma kayu mahoni, suara sunyi yang berwibawa. Tapi kali ini, dia tidak datang sebagai sekretaris yang percaya diri. Dia datang sebagai tawanan yang kalah.
Fano sudah menunggu di dekat lift eksekutif. Wajahnya tampak tidak nyaman, mungkin karena tahu betul keadaan sebenarnya di balik kepulangan Karmel.
"Selamat datang kembali, Mbak Karmel," ujarnya, suaranya rendah.
Karmel hanya mengangguk. Mereka naik lift menuju lantai 40. Saat pintu lift terbuka, koridor eksekutif yang sunyi itu menyambutnya. Di ujung koridor, pintu kantor Renzi terbuka lebar.
Renzi berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan jas abu-abu gelap yang sempurna. Senyum di bibirnya adalah senyum kemenangan—seorang pemenang yang akhirnya mendapatkan kembali harta yang hilang.
"Selamat datang di rumah, Mel," ucapnya, suaranya lembut namun penuh muatan.
Karmel melangkah masuk ke dalam kantor itu, melewati Renzi tanpa menatapnya. Di dalam, meja kerja baru sudah tersedia—lebih besar, lebih mewah dari yang dulu. Tapi baginya, itu hanya penjara yang lebih indah.
Renzi menutup pintu, mengunci mereka berdua di dalam ruangan mewah dengan pemandangan Jakarta yang megah.
"Keputusan kamu tepat sayang," kata Renzi, mendekati Karmel dari belakang. Tangannya meraih bahu Karmel, tetapi Karmel segera mengelak.
"Jangan sentuh aku," desisnya. "Aku udah kembali seperti yang kamu mau. Tapi itu nggak berarti aku mau terima segala perlakuan kamu."
Renzi tersenyum, tidak tersinggung. "Kamu akan belajar lagi, Mel. Seperti dulu. Perlahan-lahan, kamu akan kembali jadi kamu yang dulu—wanita yang membutuhkanku. Wanita yang mencintaiku."
"Jangan harap!" jawab Karmel dingin, menatapnya langsung untuk pertama kalinya. "Wanita yang mencintaimu sudah mati."
Renzi mengangguk, seolah menerima penjelasan itu. Tapi di matanya, Karmel bisa melihat keyakinan yang tak tergoyahkan—keyakinan bahwa dengan waktu, dengan manipulasi, dengan kekuasaannya, dia akan bisa mendapatkan kembali Karmel sepenuhnya.
"Kita akan lihat," bisik Renzi sebelum berbalik ke mejanya. "Sekarang, ada laporan analisis pasar Eropa yang harus kamu selesaikan sebelum jam lima."
Karmel duduk di kursi kerjanya yang baru, menghadap komputer yang sudah menyala. Di layar, ada spreadsheet dan data yang rumit. Dia menarik napas dalam, mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang masih ada.
Pertempuran mungkin sudah dimenangkan Renzi untuk saat ini. Tapi perang belum berakhir. Dan di dalam hati Karmel, api perlawanan masih menyala—redup, tertutup abu keputusasaan, tetapi belum padam. Dia akan bertahan. Dia akan bertahan hingga suatu hari nanti, dia bisa benar-benar bebas dari pria yang telah menghancurkan dan mengikatnya dengan rantai emas ini.
Di luar jendela, Jakarta bersinar dengan sinar matahari pagi, tidak peduli dengan drama manusia yang terjadi di salah satu menara tingginya. Tapi bagi Karmel, langit biru itu hanya latar belakang dari penjara barunya—penjara yang kali ini, mungkin lebih sulit untuk dia tinggalkan daripada sebelumnya.