NovelToon NovelToon
CINTA DATANG BERSAMA SALJU PERTAMA

CINTA DATANG BERSAMA SALJU PERTAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Karir / One Night Stand / Duniahiburan / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:325
Nilai: 5
Nama Author: chrisytells

Di Shannonbridge, satu-satunya hal yang tidak bisa direncanakan adalah jatuh cinta.
​Elara O'Connell membangun hidupnya dengan ketelitian seorang perencana kota. Baginya, perasaan hanyalah sebuah variabel yang harus selalu berada di bawah kendali. Namun, Shannonbridge bukan sekadar desa yang indah; desa ini adalah ujian bagi tembok pertahanan yang ia bangun.
​Di balik uap kopi dan aroma kayu bakar, ada Fionn Gallagher. Pria itu adalah lawan dari semua logika Elara. Fionn menawarkan kehangatan yang tidak bisa dibeli dengan kesuksesan di London. Kini, di tengah putihnya salju Irlandia, Elara terperangkap di antara dua pilihan.
​Apakah ia akan mengejar masa depan gemilang yang sudah direncanakan, atau berani berhenti berlari demi pria yang mengajarkannya bahwa kekacauan terkadang adalah tempat ia menemukan rumah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chrisytells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 3 : Kekacauan Organik

Salju pertama turun semakin lebat, menutupi ladang di sekitar Shannonbridge dengan lapisan putih yang memantulkan cahaya senja. Elara, dengan mantel cashmere dan stiletto yang kini berjuang mati-matian menembus salju tipis, mengikuti Fionn dan Biscotti menjauhi desa.

“Kau tahu, aku sudah mengantisipasi hal ini,” ujar Elara, terengah-engah sambil menahan agar ia tidak jatuh terjerembap.

Fionn, yang berjalan santai dengan sepatu bot tebalnya, menoleh. Biscotti berlari di depannya, melompat-lompat dengan gembira.

“Mengantisipasi apa, Nona O’Connell? Keindahan alam atau stiletto yang tenggelam dalam salju?” tanya Fionn.

“Jelas yang kedua. Aku sudah tahu betapa tidak praktisnya alas kakiku. Tapi, aku juga mengantisipasi bahwa kau akan menguji batasku. Memaksaku untuk keluar dari zona nyaman adalah tipikal penduduk desa yang merasa superior secara moral.”

Fionn menghentikan langkahnya, menahan Biscotti agar tidak mengganggu Elara. “Superior secara moral? Tidak. Aku hanya penasaran. Wanita sepertimu, yang tampak begitu cemas tentang sepuluh menit keterlambatan air panas, pasti punya alasan yang sangat kuat untuk mengunci dirinya di balik jadwal yang kaku.”

Elara mendengus. “Alasannya sederhana, Fionn. Efisiensi. Kontrol. Semua yang kau anggap sebagai musuh di sini.”

Mereka tiba di sebuah pagar batu tua yang membatasi ladang. Fionn bersandar pada pagar, mengawasi domba-domba yang tampak acuh tak acuh terhadap salju.

“Aku ingin mendengarnya, Elara. Jujurlah. Apa yang terjadi jika kau melanggar jadwalmu? Apakah dunia akan kiamat? Apakah spreadsheet-mu akan meledak?”

Elara menghela napas. Udara dingin terasa membakar paru-parunya. Ia akhirnya melepaskan mantelnya dari bahu.

“Kau menganggap aku berlebihan, Fionn. Tapi, bagiku, jadwal adalah perlindungan. Jadwal adalah garis lurus yang memastikan aku tidak mengulang kesalahan yang sama. Kau mungkin melihat domba-domba yang tenang, tapi aku melihat proyek multi-juta euro yang akan crash jika aku lalai sedetik pun.”

Fionn memandangnya dengan mata yang serius. “Kau bekerja di industri yang tidak punya ampun, aku mengerti. Tapi, apakah hidupmu harus menjadi industri juga? Apakah tidak ada ruang untuk organik? Untuk hal-hal yang muncul tanpa perencanaan?”

“Tidak ada. Organik itu berisiko, Fionn. Aku belajar dengan cara yang keras,” kata Elara, nadanya tiba-tiba menjadi dingin dan getir. “Dulu, aku punya mimpi besar, jauh sebelum aku menjadi ‘city planner yang perfeksionis’. Aku ingin menjadi desainer arsitektur, fokus pada bangunan-bangunan yang artistik, bukan hanya fungsional.”

Fionn mendengarkan, tatapannya lembut. “Lalu?”

“Aku punya kesempatan. Proyek besar pertama. Aku santai. Aku percaya pada ‘aliran bebas’, pada ‘intuisi’. Aku menunda pengajuan izin penting hanya satu hari. Satu hari, Fionn. Dan apa yang terjadi? Peraturan zonasi diubah semalam, dan proyekku dihancurkan. Karierku hampir hancur. Aku harus bekerja dua kali lebih keras, sepuluh kali lebih teratur, hanya untuk membuktikan bahwa aku tidak ceroboh.”

Elara menatap tanah bersalju, seolah melihat kembali kesalahan masa lalu di sana.

“Sejak saat itu, aku membuat aturan: Tidak ada improvisasi. Jadwal adalah janji, dan janji harus ditepati. Aku lebih suka hidup yang membosankan dan terjamin daripada hidup yang penuh risiko dan potensi keruntuhan.”

Fionn diam sejenak, mengolah kata-kata Elara. Kemudian, ia mengambil napas dalam-dalam.

“Aku mengerti. Kau membangun tembok, Elara. Tembok yang sangat tinggi, terbuat dari spreadsheet dan alarm timer.”

“Itu tembok yang membuatku sukses.”

“Mungkin. Tapi sukses itu apa, Nona? Mendapat jabatan di kantor besar? Atau bangun di pagi hari dan merasa bahagia?” Fionn berjalan sedikit lebih dekat. “Kau bilang, ‘organik itu berisiko’. Aku bilang, ‘organik itu nyata’.”

“Contohnya?” tantang Elara.

Fionn menunjuk ke sekeliling ladang. “Lihat tempat ini. Aku tahu persis kapan domba harus dicukur, kapan kopi harus dipanen, dan kapan salju pertama harus turun. Itu adalah jadwal alami. Itu efisiensi terbaik.”

“Tapi kau juga mengakui kalau sinyal ponselmu payah, air panasmu lambat, dan anjingmu membuat kekacauan. Itu bukan efisiensi, itu ketidakberdayaan!” potong Elara.

“Itu adalah pilihan, Elara. Aku bisa saja memasang fiber-optik terbaru. Aku punya uang. Tapi aku memilih untuk tidak melakukannya. Kenapa?”

Fionn berhenti tepat di depan Elara. Mereka hanya terpisah beberapa langkah. Angin dingin meniup rambut pirang keemasan Fionn dan membelai wajah Elara.

“Aku memilih untuk punya kedai di sini karena aku ingin melihat orang-orang datang dan benar-benar bicara, bukan hanya menatap layar. Aku ingin mereka menghargai kopi yang kuseduh selama sepuluh menit dengan hati-hati, bukan menenggaknya dalam sepuluh detik. Aku ingin mereka meluangkan sepuluh menit untuk menunggu air panas di bak mandi, dan dalam sepuluh menit itu, mereka mungkin mendengar suara burung robin atau melihat Aurora Borealis.”

“Kau menjual suasana, bukan fungsionalitas,” simpul Elara, merasa terpojok oleh intensitas mata Fionn.

“Aku menjual nilai waktu yang berbeda,” balas Fionn, nadanya melembut. “Di kotamu, waktu diukur dengan uang. Di sini, waktu diukur dengan kehangatan, dengan tawa, dengan berapa lama domba bertahan di suhu minus. Aku juga seorang perencana, Elara. Tapi aku merencanakan kehidupan, bukan jadwal.”

“Kedengarannya sangat puitis, Tuan Gallagher. Tapi puitis tidak membayar tagihan,” Elara bergumam.

“Mungkin tidak. Tapi itu memberiku istirahat,” Fionn mencondongkan tubuh sedikit. “Kau tahu apa yang aku lihat, Elara? Aku melihat wanita yang lelah, yang takut bernapas tanpa izin dari spreadsheet-nya. Kau tidak menikmati suksesmu, kau hanya takut kehilangannya.”

Kata-kata Fionn terasa menohok. Itu adalah kebenaran yang terlalu menyakitkan.

Elara merasa marah, bukan pada Fionn, tetapi pada dirinya sendiri karena Fionn bisa melihat dirinya sejelas ini.

“Kau tidak tahu apa-apa tentang aku!” Elara membalikkan badan, mencoba berjalan menjauh.

“Aku tahu cukup banyak!” Fionn berseru. “Aku tahu kau menyukai scone Ibuku, aku tahu kau tidak bisa hidup tanpa kopi yang enak, dan aku tahu kau adalah satu-satunya orang yang peduli dengan tata letak rak bukuku. Itu bukan hal-hal yang dilakukan oleh wanita yang hanya ingin hidup dalam garis lurus!”

Saat Elara berjalan menjauh, kakinya terantuk pada akar pohon yang tertutup salju. Dia kehilangan keseimbangan, dan dalam kepanikan ia mengulurkan tangan.

Fionn bereaksi sepersekian detik. Dia melompat ke depan, melepaskan cengkeramannya dari tali Biscotti, dan meraih pinggang Elara dengan kedua tangannya.

GRAB!

Mereka jatuh ke tanah bersalju, tetapi Fionn berhasil memutar posisi mereka. Elara mendarat di atas tubuh Fionn, tangannya mencengkeram bahu Fionn. Mantel cashmere Elara berada di atas sweter rusa kutub Fionn. Napas mereka saling beradu, memecah udara dingin.

Kontak fisik yang tiba-tiba dan mendesak itu membuat jantung Elara berdetak sangat kencang. Dia bisa merasakan otot-otot Fionn di bawahnya, dan aroma kopi, pinus, dan udara dingin yang khas darinya.

“Kau baik-baik saja?” bisik Fionn, suaranya serak. Matanya yang biru memandang lekat-lekat pada mata Elara. Ada gairah dan kekhawatiran yang campur aduk di sana.

Elara terlalu terkejut untuk menjawab. Dia merasakan tangan Fionn masih melingkari pinggangnya, menahan tubuhnya. Jeda itu terasa abadi.

“Aku... aku tidak apa-apa,” jawab Elara, suaranya hampir tak terdengar.

Tiba-tiba, Biscotti, yang melihat tuannya jatuh, melompat ke atas mereka berdua dan mulai menjilati wajah Elara dan Fionn secara bergantian, seolah mengira mereka sedang bermain.

Fionn tertawa, tawanya yang dalam memecah ketegangan. “Lihat? Organik. Itu tidak ada di jadwalmu, tapi itu baru saja terjadi. Dan kau tidak terluka.”

Mereka dengan canggung berdiri. Fionn membantu Elara membersihkan salju dari mantelnya. Tangan mereka bersentuhan sebentar, dan sentuhan itu mengirimkan sengatan listrik yang diabaikan Elara selama bertahun-tahun.

Fionn memungut Biscotti dan menunjuk ke langit. “Kau mau melihat sesuatu yang bahkan tidak bisa direkam smartphone canggihmu?”

Elara mendongak, hatinya masih berdebar. Di atas sana, di langit malam yang gelap di atas ladang domba Shannonbridge, mereka bisa melihat pancaran hijau pucat dan ungu yang samar.

“Aurora Borealis,” bisik Fionn. “Ini sangat jarang terlihat di sini. Tapi lihat, dia datang untuk menyambutmu, Nona Perencana Kota.”

Elara terpana. Garis cahaya itu bergerak lembut, indah, dan yang paling penting: tidak terencana. Itu adalah kekacauan yang paling indah.

“Aku harus mengakui,” kata Elara, perlahan, “Kau memang benar. Ini… luar biasa.”

Fionn tersenyum lembut. “Hanya satu menit yang terbuang dari jadwalmu, Elara. Ayo, kita kembali sebelum kau benar-benar kedinginan. Aku akan membuatkanmu teh herbal yang kuat. Itu akan membuatmu tidur nyenyak, Nona yang takut pada improvisasi.”

Mereka berjalan kembali dalam keheningan yang nyaman. Elara tahu ia tidak akan bisa melupakan betapa hangatnya tubuh Fionn saat ia jatuh. Dan ia tahu, di balik obsesinya terhadap garis lurus, Fionn telah memperkenalkan kekacauan yang indah yang ia butuhkan, dan itu tidak ada dalam rencananya.

1
d_midah
ceilah bergantung gak tuh🤭🤭☺️
d_midah: kaya yang lebih ke 'sedikit demi sedikit saling mengenal, tanpa terasa gitu' 🤭🤭
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!