Winter Alzona, CEO termuda dan tercantik Asia Tenggara, berdiri di puncak kejayaannya.
Namun di balik glamor itu, dia menyimpan satu tujuan: menghancurkan pria yang dulu membuatnya hampir kehilangan segalanya—Darren Reigar, pengusaha muda ambisius yang dulu menginjak harga dirinya.
Saat perusahaan Darren terancam bangkrut akibat skandal internal, Winter menawarkan “bantuan”…
Dengan satu syarat: Darren harus menikah dengannya.
Pernikahan dingin itu seharusnya hanya alat balas dendam Winter. Dia ingin menunjukkan bahwa dialah yang sekarang memegang kuasa—bahwa Darren pernah meremehkan orang yang salah.
Tapi ada satu hal yang tidak dia prediksi:
Darren tidak lagi sama.
Pria itu misterius, lebih gelap, lebih menggoda… dan tampak menyimpan rahasia yang membuat Winter justru terjebak dalam permainan berbeda—permainan ketertarikan, obsesi, dan keintiman yang makin hari makin membakar batas mereka.
Apakah ini perang balas dendam…
Atau cinta yang dipaksakan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 — “Pertengkaran di Teras Langit”
Darren memimpin Winter menjauh dari keramaian ballroom, melewati koridor yang sunyi, dan membawanya ke teras langit yang luas di lantai eksekutif hotel. Udara malam Jakarta yang dingin dan berangin menyambut mereka, kontras tajam dengan panas yang membara di dalam diri Winter. Lampu-lampu kristal ballroom jauh di bawah, dan di hadapan mereka terbentang panorama gemerlap ibu kota.
Begitu mereka berada di balik pilar besar, Winter menarik diri dari Darren dengan kekuatan.
“Jangan pernah menyentuhku seperti itu lagi,” desis Winter, suaranya rendah dan berbahaya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan.
Darren bersandar di pagar teras, tampak tenang, tetapi matanya berkilat-kilat. Gaun merah marun Winter berkibar ditiup angin, mempertontonkan siluetnya di bawah cahaya bulan.
“Kau menikmati setiap detik dari itu, Winter,” balas Darren, suaranya tenang, menantang. “Kau menikmati tatapan Wray, kau menikmati sentuhanku di punggungmu, kau menikmati perasaan menjadi objek yang diinginkan semua orang—terutama aku.”
“Aku tidak menikmati apa pun. Aku adalah CEO Alzona Group. Aku sedang melakukan taktik untuk menyelamatkan perusahaanku,” balas Winter. “Dan kau melampaui batas. Kau mengumumkan tuntutan balik kita di depan umum! Kau memelukku, mencium tanganku—itu terlalu jauh dari ‘sandiwara yang meyakinkan’!”
“Oh, itu perlu,” balas Darren. Ia mendorong dirinya dari pagar, melangkah mendekat. Angin malam menerbangkan helai rambutnya. “Kau tahu kenapa aku harus melakukannya? Karena Wray berani menyentuhmu! Dia datang ke Gala dan bertanya apakah kau butuh ‘perlindungan’ dariku, dari masa lalumu. Dia menantang hakku di depan mataku.”
Winter menyipitkan mata. “Wray hanya bermain-main dengan pikirannya. Itu bisnis. Aku tidak butuh perlindunganmu.”
“Bukan bisnis yang ada di matanya, Winter. Itu nafsu. Sama seperti cara dia menatapmu di restoran tempo hari, dan sama seperti cara dia menatapmu malam ini!” seru Darren. Nada suaranya sedikit meninggi. Ini bukan lagi tentang taktik; ini adalah cemburu yang telanjang.
Winter terkejut melihat ledakan emosi itu. “Kau cemburu?”
“Tentu saja aku cemburu!” Darren mengakui, suaranya keras. “Aku menikahimu. Aku tidur di kamar sebelahmu, aku melihatmu setiap pagi, aku tahu betapa kau membenciku, dan betapa kau membutuhkan kontrol. Dan kemudian kau membawa pengacaramu, Adrian, ke kantor, dan kau tersenyum padanya, seolah dia adalah satu-satunya yang kau percaya!”
“Adrian adalah profesional! Dia tidak pernah melanggarku!” balas Winter, melangkah mundur.
Darren maju, menutup jarak di antara mereka, wajahnya kini hanya berjarak beberapa inci dari Winter.
“Aku juga tidak melanggarmu, Winter!” Darren berbisik, suaranya kembali menjadi serak dan mengancam. “Aku hanya jujur. Aku tidak bisa berpura-pura bahwa ini hanya tentang Alzona dan Reigar. Aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku tidak menginginkanmu di bawah gaun sutra itu, di ranjang di kamar sebelah!”
Winter merasakan kakinya gemetar. Emosi Darren begitu kuat, begitu panas, hingga ia merasa terancam untuk tenggelam.
“Kau adalah kelemahan, Darren. Kau adalah pria yang meninggalkanku dan menghancurkanku. Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya lagi,” desis Winter, matanya dipenuhi air mata amarah yang ia tahan.
“Kau pikir aku tidak tahu itu? Kau pikir aku kembali ke kandang singa ini untuk apa? Untuk uang? Aku bisa mendapatkan uang itu sendiri!” tantang Darren. “Aku kembali karena aku tidak bisa melepaskanmu, Winter! Dan kau juga tidak bisa melepaskanku!”
Darren mengangkat tangannya. Angin meniup gaun Winter, menampakkan belahan pahanya. Darren memegang pinggang Winter yang telanjang, di atas gaun sutra. Sentuhannya panas, kuat, dan penuh tuntutan.
“Kau bisa menolakku di ruang rapat, Winter. Kau bisa mengunciku. Kau bisa menggunakan Adrian, kau bisa menggunakan Wray,” katanya, menarik tubuh Winter mendekat. “Tapi kau tidak bisa menolak ini. Rasa di antara kita. Sentuhan ini!”
Winter terperangkap. Ia bisa merasakan setiap otot di tubuh Darren menegang karena hasrat. Ia menatap mata Darren, dan ia melihat kegelapan yang penuh keinginan, tetapi juga sedikit kesakitan.
“Kau menipu dirimu sendiri,” bisik Winter, mencoba memenangkan perang kata-kata ini.
“Mungkin. Tapi aku akan menipu diriku sendiri sampai aku bisa memilikimu lagi,” balas Darren.
Ia mencondongkan tubuhnya ke bawah. Winter memejamkan mata. Ia menyerah pada panasnya emosi yang meledak itu. Hasrat itu terlalu kuat, terlalu mendominasi. Ini adalah balasan atas semua sentuhan, bisikan, dan tatapan intens di ballroom.
Bibir Darren menyentuh bibir Winter. Bukan ciuman yang mengintimidasi seperti yang ia lakukan di masa lalu. Ini adalah ciuman lembut, penuh rindu, seolah ia sedang meminta izin.
Namun, hanya sepersekian detik sebelum ciuman itu dalam, Winter teringat pada kontrak, pada dendam, dan pada rasa sakit sembilan tahun lalu.
Ia mendorong Darren dengan semua kekuatan yang tersisa.
“Tidak!” seru Winter, mendorong bahu Darren dengan kuat.
Darren mundur, terhuyung, terkejut. Gaun Winter berdesir ditiup angin.
Winter mengatur napas, wajahnya pucat. “Kau melanggar klausul 10. Kau melanggar. Kita hanya punya satu tujuan. Aku bukan milikmu.”
Darren menatapnya. Matanya yang baru saja dipenuhi hasrat kini terlihat kosong. Kecewa. Dan yang paling mengejutkan Winter: terluka.
Winter pernah melihat Darren marah, dingin, dan sinis. Tapi ia belum pernah melihatnya terlihat sesakit ini. Seolah penolakan Winter itu menghancurkan sesuatu yang rapuh di dalam dirinya, sesuatu yang Winter pikir tidak ada.
“Kau melakukannya lagi,” kata Darren, suaranya hampir tidak terdengar, dipenuhi kekecewaan yang mendalam. “Kau menolakku lagi. Bahkan setelah semua yang kita lalui malam ini, kau menolakku.”
“Aku menolak kontrak, Darren. Aku menolak kelemahan,” balas Winter, mencoba memaksakan keyakinan.
Darren menggelengkan kepalanya perlahan, menatap Winter seolah dia adalah makhluk asing.
“Kau tidak menolak kelemahan, Winter. Kau menolak kebahagiaanmu sendiri. Kau terlalu takut untuk mengakui bahwa dendam ini tidak pernah sebanding dengan rasa yang kau rasakan saat aku menyentuhmu.”
Ia berbalik, memunggungi pemandangan kota yang gemerlap, bahunya terlihat kendur.
“Pergilah, Winter. Pulang. Aku akan kembali nanti.”
“Kau tidak boleh tidur di hotel. Kau harus tidur di penthouse,” kata Winter, kembali ke mode CEO yang keras.
“Aku tidak peduli di mana aku tidur,” balas Darren, suaranya datar. “Pergilah. Aku butuh waktu untuk mengingatkan diriku sendiri bahwa ini semua hanyalah kontrak. Karena jujur, Winter, aku lupa.”
Winter berdiri mematung di teras langit. Ia seharusnya merasa menang. Ia telah menolak Darren, ia telah mempertahankan batasnya. Tapi yang ia rasakan hanyalah kekosongan dan kekacauan.
Ia memandangi punggung Darren yang terlihat sangat rapuh di tengah angin malam, dan ia merasa bingung. Rasa sakit itu, keputusasaan yang nyata itu… apakah itu juga bagian dari sandiwara yang ia ciptakan? Atau apakah Darren benar-benar mencintainya, dan ia baru saja menghancurkan hatinya lagi?
Perasaan bersalah yang aneh menusuk Winter. Ia adalah CEO yang kejam. Ia tidak seharusnya merasa bersalah.
Winter berbalik, langkahnya tergesa-gesa. Ia harus meninggalkan Darren di sana, sebelum kebingungannya mengubah pikiran dan ia kembali ke pelukan pria yang ditakdirkan untuk ia hancurkan.
Ia meninggalkan Gala, meninggalkan Darren di teras dingin itu, dan meninggalkan hatinya yang mulai retak di bawah kilau lampu kaca.
Ia tahu, malam ini ia tidak hanya menolak Darren. Ia menolak semua yang ia yakini tentang dirinya sendiri. Dan itu adalah kekalahan yang paling menyakitkan.