bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ratakan saja
Miranda melangkah pergi meninggalkan mereka semua.
“hari ini aku di bully dua kali” gumam Miranda.
Sementara itu, Audy merasa puas sudah memojokan Miranda. Audy selalu memberikan barang barang mewah untuk sepupu Rian yang rata rata bekerja di Bascara Corporation. Audy tidak bisa masuk ke ring inti keluarga Baskara yang terdiri dari Santi, Reza, Mila dan Mili maka dia menggunakan jalur sepupu Rian.
Miranda terus berjalan menuju parkiran dengan wajah datar.
“sudah bertemu dengan tuan rian” tanya Yudi.
“tidak bertemu” ucap Miranda lalu masuk ke mobil.
“selanjutnya kita kemana nyonya” tanya Yudi.
“pulang ke rumah Baskara aku mau ketemu Mang Agus dan Bi Mirna” jawab Miranda.
“baik nyonya” sahut Yudi sambil menjalankan mobil.
Kendaraan melaju dengan kecepatan sedang. Angin sore menjelang malam terasa dingin, sedingin Miranda yang merasa sepi. Walau tampak tenang tetapi tangan Miranda gemetar.
“ternyata untuk berubah itu tidak mudah” gumamnya dalam hati.
Sesampainya di rumah besar Baskara, Miranda langsung disambut Mang Agus dan Bi Mirna.
“bagaimana malam pertama pengantin baru nih” tanya Bi Mirna antusias sambil menuntun Miranda ke paviliunnya yang diberikan khusus oleh Nyonya Kirana.
“ah belum terjadi apa apa” sahut Miranda.
“mau amang kasih pellet biar tuan rian kesemsem” ujar Mang Agus terkekeh.
“ga usah kata mamah kiran sabar dan santai saja” balas Miranda.
Mereka larut dalam pembicaraan hangat, bercerita tentang banyak hal terutama masa masa sulit yang pernah mereka alami. Miranda sama sekali tidak bercerita bahwa dia baru saja diperlakukan tidak baik.
Saat mereka asik mengobrol, ponsel Miranda tiba tiba berdering. Rian yang menelpon.
“dimana kamu” tanya Rian.
“aku di rumah” jawab Miranda.
“kenapa setiap jam ga ngasih tahu aku, kenapa ga wa sama aku, kenapa kamu ga berkabar padaku” ujar Rian yang membuat Miranda heran. Bukankah Rian irit bicara, tetapi di telepon jadi cerewet.
“aku takut ganggu suamiku makanya aku ga kirim pesan” tutur Miranda.
“alasan” balas Rian. “kamu ga ketemu Yoga kan” ucapnya ketus.
“apa suamiku cemburu” tanya Miranda.
“tidak” sahut Rian. “Yoga itu bukan anak baik kamu harus berhati hati.”
Miranda tersenyum sedikit. “hehe dia cemburu” batinnya.
“alah mas aja tadi sama Audy kan” ucap Miranda.
“tidak aku dari pagi sudah di luar kota sama Reza kalau ga percaya telpon saja dia” jawab Rian.
“oh gitu sekarang mas ada dimana” tanya Miranda pelan.
“ada di hotel bersama Reza” jawab Rian.
“oh aku ada di rumah mamah kiran” tutur Miranda.
Terdengar helaan napas lega dari Rian.
“ya sudah kalau ada di rumah istirahat jangan banyak pikiran” ucap Rian.
“terimakasih suamiku sayang aku rindu sama kamu” ujar Miranda lembut.
“ok” jawab Rian singkat lalu sambungan terputus.
Di seberang sana Rian yang jarang tersenyum tampak melengkungkan bibirnya sedikit.
Mang agus dan bi mirna tampak tersenyum melihat hal itu, dan malam itu ntah kenapa Miranda ingin tidur dengan pak agus dan bi mirna, seolah sedang reuni.
Pagi datang begitu cepat mirand bangun, tampak bi mirna sedang menyiapkan sarapan untuk Miranda sedangkan pak agus diberi sebidang tanah dalam mansion untuk menanam apa saja, pak agus terbiasa bekerja jadi kalau diam dia merasa ada yang aneh
“nyonya Miranda dipanggil nyonya kirana” ujar seorang maid dengan sopan.
Miranda mengerutkan alisnya, dada sedikit berdebar.
“bukankah beliau ada di luar negri” tanya Miranda pelan.
“baru sampai tadi dini hari” jawab maid.
“ok saatnya kita balas dendam aku ingin tahu tindakan nyoya kirana aku aka curhat” batin Miranda. Ia melangkah dengan hati berbunga bunga, rindu menyergap walau baru dua hari berpisah.
Di ruang utama, Nyonya Kirana duduk anggun sambil sarapan. Cahaya pagi memantul di perhiasannya, membuatnya tampak semakin berwibawa. Miranda hendak mengulurkan tangan, namun Nyonya Kirana tidak menoleh sedikit pun.
“duduklah” ucap Nyonya Kirana dengan suara datar yang menusuk.
Miranda mematung sejenak. Dadanya serasa turun. Lebih baik kemarin ia di bully dengan telur busuk daripada menerima jarak sedingin ini dari Nyonya Kirana.
Ia duduk perlahan. Tangannya bergetar halus di atas pangkuan. Air mata menggenang, tetapi tidak ia biarkan jatuh. Di dalam hati ia berbisik “bagaimana aku akan balas dendam terhadap para pembullyku kalau mamah mertuaku bersikap seperti ini”.
Ruangan mendadak mencekam. Detingan sendok dan garpu terdengar jelas, seolah mengiris ketenangan Miranda. Nafasnya terasa berat.
Nyonya Kirana menghabiskan suap terakhir lalu mengangkat wajah. Tatapannya tajam seperti menembus dinding hati Miranda. Punggung Miranda merinding.
“hari ini kosongkan semua jadwal kamu hari ini kamu ikut aku” ucapnya dingin.
“baik mah” balas Miranda lirih, suaranya hampir tidak terdengar.
“sekarang bersiaplah” ujar Nyonya Kirana.
Suasana tegang itu menempel di kulit Miranda, membuat langkahnya terasa ragu. Ia belum tahu apa yang menantinya namun firasatnya mengatakan hari itu tidak akan mudah.
Miranda bersiap-siap akan pergi bersama Nyonya Kirana dengan hati yang penasaran. Para maid mempersiapkan baju, baju yang sederhana tapi jelas mahal, tetapi Miranda tahu baju itu bukan untuk pesta atau acara penting, lebih kepada untuk kuliah atau kerja. Miranda tidak banyak bertanya di rumah itu semua sudah teratur dan semua harus disetujui oleh Nyonya Kirana atau Mila dan Mili.
Miranda keluar dari kamar menuju ruang tengah, tampak sudah ada Mbak Santi istri dari Reza yang sedang berbicara dengan Nyonya Kirana, pembicaraan yang serius. Semua terhenti saat Miranda datang. Suasana kembali dingin. Nyonya Kirana dan Santi bangkit lalu berjalan, Miranda mengikuti dari belakang.
Mereka naik mobil yang sama, Santi berada di kursi depan sedangkan Nyonya Kirana bersama Miranda. Sikapnya masih saja dingin membuat Miranda tak enak hati. “sebenarnya apa salahku” gumamnya dalam hati. Miranda memperhatikan jalan, sebuah jalan yang tidak asing, jalan menuju Yayasan Cahaya Bangsa yang menaungi sekolah dari taman kanak-kanak sampai universitas. Saat memasuki area universitas ada beberapa alat berat di depan kampus.
Mobil mewah Nyonya Kirana memasuki area kampus. Ia turun dengan elegan diikuti Santi dan Miranda. Miranda masih heran sebenarnya mau apa dia kesini. Nyonya Kirana berjalan dengan elegan diikuti dua puluh pria kekar berseragam hitam. Ia langsung menuju bagian kemahasiswaan. Tampak ada pria berambut putih sedang menghadap monitor dan ada para staf juga. Aktivitas terhenti dengan kedatangan Nyonya Kirana.
“kamu kepala bagian disini” tanya Nyonya Kirana dingin.
“ya saya bu ada apa ya” ucapnya sopan.
Kirana memberi kode pada pengawal. Seorang pengawal memberikan kertas pada Nyonya Kirana.
“menantuku di bully oleh orang orang ini” ucapnya sambil melemparkan kertas, sungguh sangat arogan.
Pria itu tampak kesal namun membaca daftar nama itu.
“pecat mereka semua jangan kuliah disini lagi” tegas Kirana.
“anda bercanda nyonya, mereka itu anak-anak orang berpengaruh tidak semudah itu bu” ucap pria itu tampak tidak senang dengan sikap arogan Nyonya Kirana.
“santi dia bilang tidak bisa” ucap Nyonya Kirana.
Dengan malas Santi mengambil ponsel lalu menelpon seseorang.
“ratakan gerbang kampus” perintahnya.
Tak lama kemudian terdengar gemuruh suara alat berat, dan terdengar suara retakan reruntuhan
Staf itu mengintip lewat jendela. Wajahnya pucat.
“Pak, pagar kampus sedang dirubuhkan alat berat.” Suaranya bergetar.
Pria berkemeja rapi itu menelan ludah. “Ini tindakan kriminal, Nyony— ini bisa membuat Anda dihukum.”
Nyonya Kirana hanya memutar mata dengan malas. Aura bosannya justru membuat ruangan terasa lebih mencekam.
“Santi, kalau sepuluh orang yang membully Miranda tidak juga muncul, kerahkan sepuluh eskavator. Kita ratakan saja bangunan ini.”
Suara Nyonya Kirana tenang, namun mengiris seperti pisau dingin.
Di luar, gemuruh mesin makin keras. Tanah bergetar seolah kampus itu akan runtuh kapan saja.
Tidak ada yang berani mendekat. Akses menuju kampus Cahaya Bangsa diblokir total. Polisi dan tentara menjaga ketat sambil memasang papan bertuliskan sedang ada perbaikan jalan. Suasana berubah seperti zona darurat.
“Pak, petugas tidak berani masuk,” bisik seorang staf dengan wajah ngeri. “Katanya proyek ini tercatat sebagai proyek resmi pemerintah.”
Pria berkemeja itu mundur perlahan. Tubuhnya gemetar keras.
“Nyonya, tolong hentikan. Saya akan memanggil mereka. Saya mohon.”
Baru sekarang ia sadar. Wanita di depannya bukan hanya kaya dan berkuasa. Wanita di depannya sedikit gila
Kakak ga punya akhlak
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya