NovelToon NovelToon
Terjebak Takdir Keluarga

Terjebak Takdir Keluarga

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:44
Nilai: 5
Nama Author: Siti Gemini 75

Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan di Pusara

Eri akhirnya tiba di pemakaman, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh bapak yang tadi ia temui di pinggir jalan. Begitu memasuki area pemakaman, ia langsung berusaha mencari makam Dea. Namun, pencarian itu tidak semudah yang dibayangkan. Bapak itu tidak memberikan detail spesifik mengenai letak makamnya, dan Eri pun merasa enggan untuk bertanya lagi, mengingat pengalaman kurang mengenakkan dengan ibu-ibu yang cerewet sebelumnya.

Eri tidak menyerah. Ia menyusuri setiap lorong di antara nisan-nisan, matanya bergerak cepat mencari petunjuk. Ia berjalan perlahan, mencoba membaca nama-nama yang terukir di batu nisan, berharap menemukan nama Dea di salah satunya. Rasa cemas dan sedih bercampur aduk dalam hatinya, membuatnya semakin sulit untuk fokus.

Setelah beberapa saat mencari tanpa hasil, Eri mulai merasa putus asa. Ia berhenti sejenak, menghela napas panjang, dan mencoba menenangkan diri. Ia memejamkan mata, membayangkan wajah Dea, mencoba mengingat percakapan terakhir mereka. Tiba-tiba, ia teringat bahwa Dea pernah bercerita tentang sebuah area pemakaman baru di ujung desa.

Dengan harapan baru, Eri kembali melanjutkan pencariannya. Ia berjalan menuju area yang dimaksud, melewati makam-makam tua yang tampak usang dan terlupakan. Akhirnya, di ujung area pemakaman, ia menemukan sebuah makam yang tampak masih baru. Tanah di sekitarnya masih merah, dan bunga-bunga segar menghiasi pusaranya.

Eri mendekat dengan langkah gemetar. Ia membaca nama yang terukir di nisan: "Dea Andini." Air mata langsung membanjiri matanya. Ia tidak bisa menahan kesedihannya lagi. Ia bersimpuh di samping makam itu, menyentuh nisan dengan lembut, dan berbisik, "Maafkan kakak, Dek. Gara-gara kakak, kamu memilih mengakhiri hidupmu seperti ini. Seharusnya kamu masih di sini, menikmati dunia bersama teman-temanmu. Tapi karena kenyataan pahit ini, kamu memilih pergi bersama anak kita," ucapnya dengan suara bergetar, air matanya jatuh membasahi tanah.

Kenangan tentang Dea kembali berputar di benaknya. Ia teringat senyum manisnya, tawanya yang renyah, dan segala hal yang membuatnya jatuh cinta pada gadis itu. Ia juga teringat malam kelam yang mengubah segalanya, malam di mana mereka melakukan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan.

Tangannya mengepal erat saat ia teringat pada Pak Prasetyo, papanya sekaligus ayah Dea. "Seandainya papanya tidak selingkuh, tidak akan pernah ada Dea Andini yang menjadi kekasihku, yang tidak mungkin bisa kunikahi karena dia adikku. Semua ini gara-gara Prasetyo!" geramnya dalam hati, amarahnya membara seperti api yang tak terkendali.

Saat Eri larut dalam perasaan dan pikirannya, tiba-tiba seseorang memegang pundaknya. Ia terkejut dan menoleh ke belakang. Di sana berdiri seorang pria dengan wajah penuh penyesalan.

"Maafkan Papa, Er, Papa memang salah!" ucap pria itu dengan suara lirih, matanya berkaca-kaca.

Eri menatap pria itu dengan tatapan dingin dan penuh kebencian. Ia mengenal suara itu, suara yang selalu ia hindari selama bertahun-tahun. Pria itu adalah Pak Prasetyo, ayahnya yang telah lama menghilang dari kehidupannya.

"Mudahnya Pak Prasetyo minta maaf. Kalau saja dulu Bapak tidak selingkuh, tidak akan ada Dea Andini yang menjadi kekasihku, yang tidak mungkin aku kunikahi karena dia adikku. Sekarang, gadis itu memilih mengakhiri hidupnya karena tidak kuat menanggung malu akibat dosa ayahnya!" balas Eri dengan nada berapi-api, tanpa memanggil "Papa" pada pria di hadapannya.

Pak Prasetyo semakin terdiam, menyadari bahwa semua yang terjadi adalah akibat dari perbuatannya. Ia merasa bersalah dan menyesal telah menghancurkan hidup banyak orang, termasuk putranya sendiri.

"Maafkan Papa, Er, Papa memang salah!" Hanya itu yang bisa diucapkannya berulang kali, berharap putranya bisa mengerti dan memaafkannya.

"Apakah semudah itu meminta maaf? Apa dengan Bapak meminta maaf, Dea bisa hidup kembali? Apa dengan Bapak meminta maaf, semua penderitaan ini bisa hilang?" tanya Eri dengan nada sinis, air matanya kembali menetes.

Pak Prasetyo tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia tahu bahwa kata maaf tidak akan bisa mengembalikan Dea, tidak akan bisa menghapus semua luka yang telah ia torehkan.

"Tapi Papa sudah minta maaf, dan bagaimanapun aku tetap Papamu. Kenapa sikapmu begitu?" tanya Pak Prasetyo, mencoba mencari pembenaran atas tindakannya.

"Papaku? Papaku sudah mati sejak aku berumur 2 tahun. Yang menyayangiku hanya Mama. Mama selalu berjuang untuk mencukupi kebutuhanku, tidak seperti Anda, Pak Prasetyo, yang meninggalkan anak istri demi wanita lain tanpa peduli nasib kami. Sekarang, dengan mudahnya Anda meminta maaf!" Eri semakin emosi. Emosinya tak terkendali, dan tanpa sadar, sebuah pukulan melayang ke wajah Pak Prasetyo.

Pak Prasetyo terhuyung ke belakang akibat pukulan itu. Ia memegangi pipinya yang terasa sakit. Ia tidak menyangka bahwa putranya akan memukulnya.

"Pantas saja kamu tega pada Mamaku! Ternyata ini sifat aslimu, Prasetyo!" teriak Eri dengan amarah yang meluap-luap.

Tanpa menunggu jawaban, Eri kembali menyerang Pak Prasetyo. Ia melayangkan pukulan demi pukulan ke tubuh ayahnya, melampiaskan segala amarah dan kebencian yang selama ini ia pendam.

Pak Prasetyo tidak melawan. Ia hanya bisa pasrah menerima pukulan-pukulan itu, merasa bahwa ia pantas mendapatkan semua ini.

"Eri, hentikan!" Tiba-tiba sebuah suara menghentikan aksi Eri. Suara itu adalah suara Ryan.

Ryan berlari mendekat dan menarik Eri menjauh dari Pak Prasetyo. Ia berusaha menenangkan temannya yang tampak sangat marah.

"Tenang, Er, tenang! Jangan lakukan ini! Kamu tidak akan menyelesaikan masalah dengan kekerasan," kata Ryan dengan nada khawatir.

Eri mencoba memberontak, tetapi Ryan berhasil menahannya. Ia menatap Ryan dengan tatapan bingung dan marah.

"Ayo pulang, Er. Kasihan Tante Henny. Dia pasti cemas karena kamu pergi tanpa pamit," kata Ryan, mencoba mengalihkan perhatian Eri.

Eri terdiam. Ia teringat pada mamanya yang selalu menyayanginya. Ia tidak tega jika mamanya khawatir karena dirinya.

"Kita pulang dulu, Er. Kasihan Tante Henny. Dia menyusulmu ke sini, tapi dia pergi ke rumah Pakde Herman dan Bude Hera. Lagi pula, hari sudah hampir gelap, tidak baik jika kita tetap di sini," jelas Ryan, membujuk Eri.

Eri akhirnya luluh. Ia menghela napas panjang dan mengangguk setuju. Ia tahu bahwa ia tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini dengan kekerasan.

Eri mengikuti langkah Ryan meninggalkan pemakaman. Namun, sebelum pergi, ia sempat menengok ke belakang dan melihat Pak Prasetyo masih terdiam di dekat makam Dea.

Ia menatap ayahnya dengan tatapan penuh kebencian dan jijik. Ia tidak tahu apakah ia bisa memaafkan pria itu atas semua yang telah terjadi.

Dengan langkah berat, Eri meninggalkan pemakaman itu, meninggalkan segala amarah dan kebencian yang masih membara di dadanya. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang, dan ia harus menemukan cara untuk mengatasi semua luka dan trauma yang telah ia alami.

\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!