Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#16
Happy Reading...
.
.
.
Setelah dua hari terbaring di atas tempat tidur, pagi ini Naira bangun lebih awal. Ia ingin memasak untuk sarapan mereka sebagai ucapan terima kasih karena Raka benar- benar menemaninya selama ia sakit. Suasana rumah terasa lebih hangat dari biasanya. Aroma bawang putih yang ditumis bersama cabai dan kecap manis memenuhi udara. Itu adalah aroma yang tidak asing bagi Raka, aroma nasi goreng Jawa favoritnya.
Naira berdiri di dapur dengan celemek yang ukurannya sedikit kebesaran. Di sampingnya, Bi Sumi tersenyum kecil sambil memperhatikan gerak tangan Naira.
“Iya, Nak… aduknya pelan- pelan saja, biar bumbunya meresap.” ucap Bi Sumi lembut.
Naira mengangguk, wajahnya serius tapi ada senyum kecil yang tak bisa ia sembunyikan. “Beginikan, Bi?”
“Ya, begitu. Wah… kamu sudah mulai pintar sekarang.” ujar Bi Sumi sambil terkekeh.
Naira ikut tertawa kecil. “Aku hanya ingin membuat sesuatu untuk Raka. Aku tidak tahu apakah biasanya aku masak atau tidak.”
Bi Sumi menatapnya sebentar. Ada raut iba di sana yang Naira tidak mengerti. “Yang terpenting sekarang, kamu sedang berusaha. Den Raka pasti senang.”
Dalam hati Naira ia juga berharap begitu.
Setelah selesai, ia menata nasi goreng itu diatas meja makan dengan hati-hati. Ia meletakkan telur dadar yang dipotong tipis, kerupuk dan beberapa irisan mentimun agar terlihat lebih menarik.
“Cantik sekali,” gumamnya pelan, bangga pada dirinya sendiri.
Dan tepat ketika ia menyeka peluh di dahinya, terdengar langkah pelan di tangga.
Naira menoleh.
Raka sedang berjalan menuruni tangga sambil merapikan kemeja kerjanya. Namun langkah itu terhenti di tengah—seketika tubuh Raka membeku.
Matanya terpaku pada pemandangan yang jarang ia lihat. Naira berdiri di dapur dengan tatapan hangat, wajah lembut dan senyum kecil yang seolah sedang memanggilnya.
Untuk beberapa detik, dunia Raka terasa berhenti.
Raka melihat bayangan lain di wajah Naira, Nayla. Tapi bukan Nayla yang sakit dan pucat. Ini seperti… kemungkinan masa depan yang tidak pernah ia dapatkan.
“Andai…” gumam Raka dalam hati.
Andai tidak ada rencana balas dendam itu.
Mungkin—hanya mungkin—ia akan menjadikan Naira sebagai pengganti Nayla. Mungkin Jingga akan memiliki keluarga utuh yang mencintainya. Mungkin ia tidak akan terjebak dalam kebohongan seperti sekarang.
“Raka!” suara Naira memecah lamunannya.
Raka tidak menjawab. Ia bahkan tidak bergerak sedikit pun.
Naira memanggil lagi. “Raka? Kamu dengar aku?”
Tetap tidak ada respon. Raka hanya berdiri dengan tatapan kosong, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Naira mengernyit. “Raka?”
Ia pun membulatkan tekad dan melangkah menghampiri Raka.
Raka baru tersadar ketika merasakan sentuhan lembut di punggung tangannya.
“Kamu kenapa?” tanya Naira pelan, wajahnya penuh kekhawatiran. "Apa terjadi sesuatu?"
Raka menelan ludah. “Aku… hanya sedang memikirkan sesuatu.”
Naira melemparkan senyum tipis, berusaha tidak terlalu memaksa. “Kalau begitu, turun dulu. Sarapannya sudah siapkan. Aku… mencoba membuat nasi goreng.” Pipinya memerah malu. “Kata Bi Sumi, itu makanan favorit kamu.”
Raka menatapnya lama. Sangat lama.
Tatapan itu membuat Naira gelisah. “Apa ada yang salah dengan menu makanannya?”
“Tidak,” jawab Raka akhirnya, suaranya rendah. “Tidak ada yang salah.”
“Lalu kenapa menatapku seperti itu?” tanya Naira jujur.
Ia hanya berkata pelan, “Terima kasih. Karena sudah berusaha.”
Naira tersenyum lega. “Kalau begitu ayo makan.”
Raka menunduk sedikit, lalu menatap punggung Naira yang berjalan mendahuluinya. Dada Raka terasa sesak. Perempuan itu tidak tahu apa-apa. Tidak tahu bahwa lelaki yang ada di hadapannya adalah orang yang sedang memikirkan cara untuk menghancurkannya.
Tidak tahu bahwa ia sedang menjadi korban kebohongan terbesar dalam hidupnya. Dan yang paling menyakitkan,
Ia tidak tahu bahwa lelaki yang hidup bersamanya sedang mempertimbangkan untuk menggugurkan anak yang ada di dalam kandungannya.
.
.
.
Sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat pagi tadi, Raka akhirnya menjemput Naira sepulang ia mengurus beberapa pekerjaan di kantor yang selama dua hari ini ia abaikan. Meskipun pikirannya masih penuh dengan rencana- rencana yang akan ia lakukan, ia tetap menepati janji untuk mengantar Naira memeriksakan kandungannya. Perjalanan menuju rumah sakit berlangsung dalam keheningan. Naira hanya beberapa kali melirik Raka, namun tidak berani bertanya apa pun karena ekspresi laki-laki itu tampak sulit ditebak.
Sesampainya mereka di rumah sakit, dokter yang menangani Naira menyambut keduanya dengan senyum ramah. Senyum itu membuat Raka sedikit merasa tidak nyaman, seolah dokter memiliki pemahaman yang berbeda tentang situasinya.
“Silakan masuk.” ujar dokter Rendra lalu mempersilakan Naira berbaring di tempat pemeriksaan.
Raka berdiri di sisi ranjang, menundukkan kepala.
Dokter Rendra tersenyum puas saat melihat Naira datang bersama Raka, ia berfikir bahwa Raka mungkin saja mengurungkan niatnya untuk menggugurkan kandungan Naira. Padahal kenyataannya, Raka hanya belum melaksanakan niat yang sebelumnya sudah ia siapkan.
“Baik, kita mulai ya,” kata dokter Rendra sembari memulai pemeriksaan USG.
Detik berikutnya, ruangan dipenuhi suara lembut namun jelas, cepat dan menenangkan. Suara detak jantung kecil itu bergema memenuhi ruangan, membuat Raka spontan mengangkat wajahnya. Untuk sesaat, dunia seolah berhenti berputar.
Naira menoleh ke arah Raka. Ia melihat bagaimana mata laki-laki itu perlahan berkaca-kaca. Ada sesuatu yang berubah dari tatapan Raka. Bukan lagi dingin, bukan lagi penolakan sepenuhnya. Ada rasa yang sulit dijelaskan.
“Ini… suara detak jantungnya?” tanya Raka pelan, nyaris berbisik.
Dokter mengangguk sambil tersenyum kecil. “Iya, Pak. Detak jantung bayi Anda. Sangat kuat dan sehat.”
Raka menghela napas panjang, namun suaranya terdengar bergetar. Untuk sesaat ia tak mampu berkata apa pun. Seolah ditarik kembali pada masa ketika Nayla mengandung Jingga. Ia masih ingat betapa Nayla selalu tersenyum setiap kali memegang perutnya, betapa antusiasnya almarhumah istrinya itu menunggu kelahiran anak mereka. Rasa bahagia itu dulu pernah memenuhi hidupnya.
Kini, suara detak jantung itu menghadirkan rasa yang sama. Namun bersamaan dengan itu, muncul pula rasa bersalah yang begitu berat. Ia teringat rencananya- rencana yang kini terasa begitu jahat.
Naira memandang Raka dengan hati-hati. “Kamu tidak apa-apa?” tanyanya pelan.
Raka menelan ludah. “Aku… tidak apa- apa...”
Dokter menyudahi pemeriksaan dan memberikan beberapa catatan kesehatan untuk kehamilan Naira. Sementara Naira mengubah posisinya, Raka masih terpaku pada layar yang menampilkan gambar kecil itu, tanda kehidupan seorang anak yang tidak bersalah.
Saat mereka keluar dari ruangan, langkah Raka terasa berat. Suara detak jantung kecil itu masih terngiang jelas di telinganya, membuyarkan rencana yang selama ini ia genggam begitu erat.
Raka benar-benar merasa semakin ragu..
Bisakah ia tetap melanjutkan rencananya setelah mendengar suara detak jantung itu?
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak...