Ariel tak menyangka pernikahannya dengan Luna, wanita yang sangat dicintainya, hanya seumur jagung.
Segalanya berubah kala Luna mengetahui bahwa adiknya dipersunting oleh pria kaya raya. Sejak saat itu ia menjelma menjadi sosok yang penuh tuntutan, abai pada kemampuan Ariel.
Rasa iri dengki dan tak mau tersaingi seolah membutakan hati Luna. Ariel lelah, cinta terkikis oleh materialisme. Rumah tangga yang diimpikan retak, tergerus ambisi Luna.
Mampukah Ariel bertahan ataukah perpisahan menjadi jalan terbaik bagi mereka?
Ikuti kisah mereka hanya di sini;👇
"Setelah Kita Berpisah" karya Moms TZ bukan yang lain.
WARNING!!!
cerita ini buat yang mau-mau aja ya, gaes.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4# Pilihan sulit
Ariel terdiam sejenak. Dia menghela napas pelan, dan menatap Luna dengan pandangan tak terbaca. Ada sebersit rasa kecewa dalam hatinya. "Sudah kuduga ia bersikap manis ternyata ada maunya," batinnya perih. Namun, dia berusaha untuk menutupinya.
Sementara itu, Luna harap-harap cemas, mungkin permintaannya akan menjadi masalah.
"Memangnya tas seperti apa yang kamu inginkan, Sayang?" tanya Ariel, walaupun dia tahu betul, tas yang diinginkan Luna pasti bukan tas sembarangan.
"Ehmmm...Tas branded, Mas. Limited edition kata Ita sama Runi, dan lagi hits sekarang ini," jawab Luna, dengan nada merengek. Ia menggenggam tangan Ariel erat-erat.
"Aku tuh, pengen banget punya tas kayak gitu, biar nggak malu-maluin di depan temen-temen, Mas. Apalagi bulan depan kantor ngadain acara gathering." Luna berkata disertai puppy eyes yang menggemaskan, tetapi kali ini terasa menyakitkan di mata Ariel.
Dia masih diam, menimbang antara mengabulkan permintaan Luna atau tidak. Pilihan yang sama-sama sulit. Di satu sisi, dia ingin membahagiakan Luna, memenuhi keinginannya sebagai seorang suami. Di sisi lain, kondisi keuangan mereka sedang tidak memungkinkan.
"Memangnya harganya berapa, Sayang?" tanya Ariel kemudian.
Luna tersenyum mendengar pertanyaan itu. Ia merasa senang, Ariel sudah mulai luluh. "Nggak mahal kok, Mas," jawab Luna, berusaha merendahkan harga tas tersebut. "Cuma... sekitar sepuluh juta."
Ariel terkejut mendengar harga tersebut. Sepuluh juta? Itu setengah dari gajinya sebulan!
"Sepuluh juta?" tanya Ariel, dengan nada tidak percaya. "Itu mahal banget, Sayang. Uang segitu bisa buat bayar cicilan mobil selama dua bulan."
Luna mengerucutkan bibirnya. Ia tidak suka mendengar Ariel membahas masalah keuangan.
"Tapi kamu sayang sama aku kan, Mas?" kata Luna merengek. Ia kembali memainkan perannya sebagai istri yang manja dan membutuhkan.
Ia menatap Ariel dengan tatapan memelas, berusaha menyentuh hatinya. "Masa sih, kamu nggak mau beliin aku sesuatu yang aku pengen banget? Sekali ini aja, Mas. Aku janji, aku nggak akan minta apa-apa lagi, deh."
"Sayang, aku bukannya nggak mau beliin kamu tas itu," kata Ariel, berusaha menjelaskan. "Tapi, kita harus realistis. Uang segitu kan, bisa buat kebutuhan yang lebih penting."
"Memangnya kebutuhan apa yang lebih penting daripada kebahagiaan istri?" tanya Luna, dengan nada sedikit menantang. "Kalau istri bahagia, suami juga pasti bahagia, kan? Lagian, aku nggak minta yang aneh-aneh. Aku cuma pengen tas baru doang."
Ariel menghela napas. Dia merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Dia ingin menyenangkan istrinya, tetapi tidak ingin menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak perlu.
"Aku janji deh, Mas. Kalau kamu beliin aku tas itu, aku akan jadi istri yang lebih baik lagi. Aku akan selalu nurut sama kamu, masakin makanan kesukaan Mas, dan..." Luna menggantungkan kalimatnya, menatap Ariel dengan tatapan menggoda. "...melayanimu dengan sepenuh hati."
Ariel seakan berada di persimpangan. Dia merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Dia ingin menyenangkan istrinya, tetapi tidak ingin menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak perlu.
"Ya sudah, gini aja," kata Ariel, akhirnya menemukan solusi. "Aku akan membelikan kamu tas itu, tapi dengan satu syarat."
Luna menatap Ariel dengan penuh minat. "Syarat apa, Mas?" tanyanya, penasaran.
"Kamu harus janji, setelah aku membelikan tas itu, kamu nggak akan minta apa-apa lagi selama tiga bulan," jawab Ariel, dengan nada tegas. "Kamu harus belajar untuk hidup hemat dan menghargai uang yang kita punya."
Luna terdiam sejenak. Ia menimbang-nimbang tawaran Ariel. Tiga bulan tanpa meminta apa-apa? Itu waktu yang lama. Akan tetapi, demi menginginkan tas itu ia pun setuju.
"Oke deh, aku janji," kata Luna, akhirnya mengalah. "Aku janji nggak akan minta apa-apa lagi selama tiga bulan. Tapi kamu beneran beliin aku tas itu, ya."
"Oke, deal," kata Ariel, sambil mengulurkan tangannya. "Tapi ingat ya, kamu harus tepati janji kamu."
Luna menjabat tangan Ariel dengan erat. "Siap, Bos!" jawabnya, dengan nada riang. Ia sudah tidak sabar untuk segera memiliki tas baru yang ia impikan.
"Tapi, ada satu hal lagi," kata Ariel, tiba-tiba.
Luna mengerutkan kening. "Apa lagi, Mas?" tanyanya, curiga.
"Aku nggak mau kamu ngutang atau nyicil tas itu," kata Ariel, dengan nada tegas. "Aku akan beliin tas itu secara tunai. Tapi, kita harus nabung dulu. Gimana?"
Luna terdiam. Ia tidak suka dengan ide menabung. Ia ingin segera memiliki tas itu. Namun, ia juga tidak punya pilihan lain.
"Ya udah, deh, terserah kamu, aja," kata Luna, dengan nada kecewa. "Asal aku tetap bisa memiliki tas itu."
Ariel tersenyum lega, berharap Luna akan benar-benar menepati janjinya. Setidaknya dia sudah berusaha untuk mengendalikan pengeluaran istrinya dan mencegahnya berbuat boros.
"Oke, gajian bulan besok kita akan mulai menabung," kata Ariel, sambil memeluk Luna dengan erat. "Aku janji, dalam waktu tiga bulan, kamu pasti akan punya tas yang kamu inginkan."
Luna membalas pelukan Ariel dengan mesra. Ia sudah membayangkan akan menjadi wanita yang paling bahagia dengan tas baru di tangannya. Meskipun ia harus sedikit bersabar dan menahan diri.
*
Keesokan harinya, Luna berangkat ke kantor dan bertemu kembali dengan Ita dan Runi. Keduanya mendekati Luna yang sedang duduk di kubikelnya.
"Hai, Lun?" sapa Ita dengan tersenyum ramah.
"Sudah bilang sama suami kamu? Gimana, dia setuju, kan?" tanyanya sembari melirik ke arah Runi.
"Pasti boleh, dong? Apa sih, yang nggak buat istri tercinta? Ya nggak, Lun?" timpal Runi.
Wajah Luna tampak mendung. Ia menggeleng pelan. "Bulan ini pengeluaran aku banyak, jadi Mas Ariel bilang aku harus menabung kalau aku pengin punya tas itu," sahutnya pelan.
Ita dan Runi saling berpandangan sembari mengangkat sebelah alisnya. "Yaah, sayang banget, Lun," kata Runi.
"Tiga bulan mah, tasnya sudah habis. Kalaupun masih ada pasti harganya sudah melambung tinggi," imbuhnya.
"Itu berarti kamu nggak bisa kembaran sama kita dong, saat acara gathering nanti," sahut Ita dengan wajah sedih.
Luna merebahkan kepalanya di atas meja. Dia merasa frustasi.
"Atau gini aja deh, Lun. Gimana kalau kamu kredit aja? Pakai kartu kredit aku." Ita memberi solusi.
Luna langsung mengangkat kepalanya tegak. "Emang bisa?"
"Bisa, dong. Kita juga kaya' gitu, kok," kata Runi. "Yang penting kita bisa gaya."
Luna tersenyum dengan mata berbinar. Ia sudah termakam omongan kedua temannya. "Ah, bodo amat lah, aku nggak peduli!" batin Luna, dengan nada egois.
"Yang penting aku senang, urusan Mas Ariel pikir belakangan. Toh, dia nggak akan bisa menolak kalau barang sudah di tangan."
.
.
.
tapi seru 😂👍