Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 — Suara dari Masa Lalu
Shen Wuyan duduk bersila di tengah ruangan meditasi pribadinya. Lilin-lilin kecil di sekelilingnya menebarkan cahaya kuning lembut, menari di dinding batu yang dingin. Hujan tipis menempel di jendela, membentuk garis-garis air yang mengalir perlahan, seolah ikut mengiringi detak jantungnya yang tak menentu. Ia menutup mata, berusaha menenangkan Hun dan Po, tetapi udara di sekitarnya terasa berat, seakan memuat bisikan yang belum pernah ia dengar sebelumnya.
Bayangan samar bergerak di sudut ruangan. Wuyan tahu ia bukan sekadar imajinasi; sosok itu hadir sebagai pengamat sekaligus penguji. “Mereka semua ada di dalammu,” suara bayangan itu mengalun lembut, namun penuh ketegangan, “Apakah kau berani melihat mereka, atau lari dari diri sendiri?”
Wuyan menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi di dalam benaknya, satu suara muncul. Pelan, hampir seperti desiran angin di daun, tapi jelas. “Wuyan…”
Suaranya menggetarkan sesuatu yang lama tertutup. Ia mengenali nada itu. Liang Yu. Rasa sakit, ketakutan, dan sedikit kemarahan terperangkap di balik bisikan itu. Wuyan menelan ludah, jantungnya berdegup lebih cepat.
“Liang Yu…?” Wuyan berbisik dalam hati, bukan kepada bayangan, tapi kepada jiwa yang kini tersisa di dalam dirinya. Suara itu kembali: “Kau dengar aku? Kau harus mengakui kami.”
Rasa panik mulai menguasainya. Po bergelombang liar, energi jiwa bergetar, lilin-lilin menari lebih cepat, bayangan di sekitarnya tampak menekuk dan memanjang seiring denyut gelombang emosinya. Wuyan menutup mata lebih erat, mencoba menahan diri, tetapi setiap tarikan napas menghadirkan kilasan ingatan yang bukan miliknya. Ia melihat canda tawa, tangisan, kemarahan, ketakutan — wajah-wajah yang dulu ia serap dalam proses Hun–Po Refinement, kini muncul kembali dengan intensitas yang menekan.
Bayangan itu muncul lebih dekat, menatap Wuyan dengan mata yang seakan menembus seluruh jiwa. “Mereka menuntut pengakuan, Wuyan. Jika kau menolak, kau akan kehilangan diri lebih cepat daripada yang kau kira.”
Wuyan menggigit bibirnya. “Aku… aku tidak ingin mereka… menguasai aku.” Kata-kata itu nyaris terdengar seperti ratapan. Namun bayangan hanya tersenyum samar, seakan menunggu kegagalan atau keberanian untuk menghadapi.
Flashback singkat menyerbu pikirannya. Liang Yu berdiri di tepi sungai, memandang air dengan wajah hampa namun mata penuh dendam dan kesedihan. Ia memegang kalung patah yang dulu Wuyan lihat di masa lampau. Kemudian wajah lain muncul, murid-murid sekte yang pernah tersenyum padanya kini menatapnya dengan tatapan kosong dan menuntut, seolah meminjam suaranya untuk berbicara kepadanya.
“Setiap wajah yang kau serap adalah tanggung jawabmu,” bisik bayangan itu. “Mereka bukan sekadar kekuatan. Mereka hidup di dalammu.”
Wuyan menggigil. Hun dan Po berputar, saling tarik menarik, membuat tubuhnya bergetar. Ia membuka mata sedikit, melihat lilin-lilin yang tampak berdenyut mengikuti gelombang energi jiwa di dalam dirinya. Perlahan, suara-suara itu menjadi lebih jelas. “Kau harus mendengar aku. Jangan lari…”
Setiap kata menembus pikirannya, meninggalkan rasa sakit yang nyata. Wuyan menunduk, mencoba menahan gelombang itu. Ia merasakan kilasan ingatan lain: tawa anak kecil yang bukan dirinya, wajah seseorang yang berteriak kesakitan, hingga senyum samar yang tak bisa ia pahami. Semua bercampur menjadi satu, dan ia menyadari bahwa fragmentasi jiwanya bukan sekadar teori atau latihan — ia merasakannya secara langsung, mencekam.
“Mereka ada di sini… di dalamku,” gumam Wuyan, kepalanya menunduk, tangan mengepal di pangkuan. Rasa bersalah menggerogoti. Ia pernah berpikir bahwa menyerap jiwa lain hanyalah alat untuk bertahan hidup, untuk memperkuat diri. Sekarang, konsekuensinya terasa seperti luka yang tak tampak, merayap di setiap sel kesadarannya.
Bayangan menyentuh bahunya — atau setidaknya begitu rasanya. “Jangan menolak,” katanya lembut, tapi setiap kata terasa seperti perintah yang berat. “Mulailah menerima mereka, Wuyan. Ini satu-satunya jalan untuk menguasai dirimu sendiri.”
Wuyan menutup mata lebih erat lagi, mencoba mengatur napas, tetapi ketenangan itu rapuh. Ia mulai melihat cahaya tipis di benaknya, garis-garis yang menyala di antara retakan kesadarannya — masing-masing menyimpan wajah, emosi, dan ingatan yang bukan miliknya. Ia tahu, jika ia gagal mengatur Hun dan Po sekarang, fragmentasi itu bisa melahap dirinya sepenuhnya.
Suara Liang Yu kembali, kali ini lebih mendesak, lebih tajam: “Wuyan, kau mendengar aku. Jangan pura-pura tidak ada kami.” Kata-kata itu menembus kesadarannya seperti belati, menusuk hati dan pikirannya. Wuyan menelan ludah, gemetar, namun untuk pertama kali ia mencoba menjawab. “Aku… aku melihatmu. Aku akan mencoba memahami.”
Bayangan mengangguk perlahan, ekspresinya samar tapi penuh persetujuan. “Langkah pertama adalah pengakuan,” katanya. “Tanpa itu, Hun dan Po akan terus bertarung, dan kau akan kehilangan dirimu lebih cepat dari yang kau kira.”
Wuyan menarik napas panjang, merasakan Po mulai mereda sedikit, energi jiwa berputar lebih stabil. Suara-suara wajah yang diserapnya mulai menenangkan diri, bukan sepenuhnya hilang, tapi tidak lagi menyerang kesadarannya. Ada jeda di antara bisikan itu, dan ia merasakan sesuatu yang baru: koneksi. Bukan sekadar kekuatan atau fragmentasi, tapi kesadaran bahwa semua yang ia serap hidup di dalamnya, menuntut pengakuan dan penghormatan.
Ia menunduk, menatap bayangan di sisinya. “Aku akan mencoba… menahan semuanya.”
Bayangan itu tersenyum samar, hampir tidak terlihat, tetapi matanya menegaskan sesuatu yang lebih dalam. “Ini baru permulaan, Wuyan. Mereka semua ada di sini… tapi perjalanan panjang dan berbahaya menunggumu.”
Hujan di luar jendela terus menetes perlahan, suara tetesannya seperti detak jantung dunia. Wuyan duduk bersila, Hun dan Po berputar lambat, kali ini lebih seimbang, meski masih rapuh. Suara-suara wajah lain berbisik di kejauhan, tetapi ia tidak lagi panik. Ia mulai belajar menerima mereka, memahami bahwa fragmentasi bukan sekadar risiko, tapi tanggung jawab.
Bayangan itu mundur satu langkah, membiarkan Wuyan sendirian dengan pikirannya. Lilin menari, menimbulkan bayangan yang menekuk dan bergerak mengikuti gelombang jiwa yang stabil namun rapuh. Wuyan menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, merasakan setiap wajah, setiap ingatan, dan setiap emosi asing sebagai bagian dari dirinya yang kini harus diatur, dipahami, dan diterima.
Dan untuk pertama kali sejak ia mulai menyerap jiwa lain, Wuyan merasa bahwa meski perjalanan ini berbahaya, ia mungkin mampu melaluinya. Tetapi ancaman kehilangan identitas masih mengintai, bersembunyi di sudut retakan jiwa yang belum tersentuh.
Wuyan tetap duduk bersila, mata tertutup, tetapi bayangan itu kini tampak lebih nyata di sudut matanya. Ruangan meditasi terasa sempit, hampir menekan, sementara aroma lilin bercampur dengan udara lembap hujan di luar. Suara-suara yang sebelumnya samar kini bergemuruh di kepalanya — tawa, tangisan, teriakan — semua bersatu menjadi simfoni emosi asing yang memaksa Wuyan menelan ketakutan dan rasa bersalahnya sendiri.
“Kenapa kalian menatapku seperti itu?” bisiknya pelan, suaranya nyaris hilang di antara bisikan lain. Ia menekuk badan, menahan gelombang energi Po yang tiba-tiba naik. Kilasan wajah Liang Yu muncul lagi, kali ini lebih jelas, matanya menatap langsung ke dalam jiwanya, penuh kemarahan sekaligus kesedihan.
Bayangan itu muncul di sampingnya, lembut namun menekan: “Mereka menuntut pengakuanmu. Setiap jiwa yang kau serap tidak hanya memberi kekuatan. Mereka juga memberi tuntutan.”
Wuyan menggigit bibir, jantungnya berdebar. “Aku… aku mengerti. Aku mencoba, tapi…” Kata-katanya tersendat. Gelombang energi di tubuhnya berputar liar, membuat seluruh tubuhnya bergetar. Setiap wajah yang muncul dalam pikirannya seakan menyalakan bara baru dalam kesadarannya, memunculkan emosi yang bukan miliknya sendiri.
Kilasan ingatan lain menyerbu: seorang gadis muda menangis di tengah hujan, seorang pemuda berteriak menahan sakit yang tak terlihat, dan Liang Yu tersenyum samar, tetapi senyum itu diselimuti kesedihan. “Kau harus mengakui kami,” suara itu kembali terdengar, kali ini serempak dengan wajah-wajah lain, membentuk chorus batin yang menusuk.
Wuyan menunduk, tangan mengepal. Po bergelombang lebih kuat, energi jiwa seperti memutar tubuhnya dari dalam. “Aku… aku akan mencoba mengendalikan kalian semua. Aku tidak ingin hilang… tapi aku juga tidak ingin kalian menderita.”
Bayangan tersenyum samar, melayang sedikit lebih dekat. “Ini bukan hanya tentang mengendalikan, Wuyan. Ini tentang menerima. Setiap wajah, setiap ingatan, setiap emosi asing — mereka adalah bagian darimu sekarang. Menghindarinya hanya akan membuatmu kehilangan diri sebelum kau siap.”
Wuyan menarik napas panjang, menutup mata lebih erat. Ia mencoba menyeimbangkan Hun dan Po, memusatkan energi yang berputar liar itu. Perlahan, gelombang Po mulai menenangkan diri, sementara Hun memantau dengan seksama. Suara-suara itu masih ada, tetapi tidak lagi menyerang. Ada jeda, ruang di antara bisikan, dan Wuyan menangkap nada persetujuan samar di dalam bayangan.
Ia merasakan kehadiran Liang Yu di dalam pikirannya, bukan sebagai musuh, bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai cerminan emosi yang pernah hilang. Wuyan menekuk badan lebih dalam, merasakan setiap gelombang kesedihan, kemarahan, dan ketakutan yang muncul, mencoba merangkulnya daripada menolaknya. “Aku melihatmu… dan aku akan memegang kalian semua. Aku tidak akan membiarkan kalian hilang begitu saja.”
Bayangan mengangguk, matanya yang samar menatap penuh penilaian dan persetujuan. “Langkah pertama diambil. Kau telah mulai menerima fragmentasi. Ini baru permulaan. Setiap wajah yang kau serap akan menuntut bagian dari dirimu. Setiap kali kau menolak, Po akan menuntut lebih keras.”
Wuyan menunduk, menarik napas, dan merasakan cermin realitas di dalam pikirannya mulai stabil sedikit demi sedikit. Wajah-wajah yang sebelumnya menekan kini tampak lebih jelas namun lebih tenang, seolah menunggu pengakuannya. Ia memahami bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Ia tidak hanya mempraktikkan Hun–Po Refinement; ia sedang belajar menyeimbangkan kehidupan dan kematian, kekuatan dan tanggung jawab, identitas dan fragmentasi.
Di ujung kesadaran itu, suara Liang Yu terdengar sekali lagi, lembut namun tegas: “Terima kami. Hanya dengan itu kau bisa menjadi apa yang seharusnya kau jadi.”
Wuyan menelan ludah, napasnya berat. “Aku… aku mengerti. Aku akan belajar menahan kalian semua. Aku tidak akan lari.” Kata-katanya keluar dengan keteguhan baru, bukan sekadar keberanian, tapi juga penerimaan. Ia merasakan bayangan di sisinya tersenyum samar, tidak menekannya lagi, tetapi tetap mengawasi, mengingatkan bahwa setiap langkah membawa risiko dan kekuatan.
Gelombang energi di dalam dirinya mulai stabil. Hun dan Po berputar seiring, tidak sempurna, tetapi cukup untuk Wuyan menyadari bahwa fragmentasi ini bukan sekadar kutukan, melainkan bagian dari perjalanan. Setiap wajah yang ia serap memberi kekuatan, tetapi juga tanggung jawab yang tidak bisa dihindari.
Hujan di luar menetes perlahan, seiring napas Wuyan yang mulai lebih tenang. Bayangan di sudut ruangan mundur sedikit, membiarkan Wuyan sendiri dengan pikiran dan ingatan yang kini mulai terintegrasi. Ia menutup mata, merasakan tubuhnya rileks meski hati tetap waspada.
Untuk pertama kali sejak jiwa-wajah itu menyatu dengannya, Wuyan merasa kontrol atas dirinya sedikit lebih mantap. Ia masih rapuh, masih rentan, tetapi ia telah belajar satu hal: fragmentasi bukan musuh, melainkan cerminan kekuatan yang harus diterima dan diolah.
Dan di kejauhan, di antara bisikan yang semakin tenang, Wuyan mendengar suara samar yang menembus lapisan batinnya: “Ini baru permulaan. Setiap wajah menunggu langkahmu berikutnya.”
Ia membuka mata perlahan. Lilin masih menari, bayangan masih ada, tetapi aura ketegangan telah sedikit mereda. Ia tahu, perjalanan untuk menguasai semua wajah yang diserapnya masih panjang, berbahaya, dan penuh godaan. Namun, untuk pertama kali, Wuyan tidak lari. Ia duduk diam, menenangkan diri, dan memandang retakan di kesadarannya sebagai jalur menuju penguasaan, bukan ancaman.