Revan adalah pria tampan dan pengusaha muda yang sukses. Namun di balik pencapaiannya, hidup Revan selalu berada dalam kendali sang mama, termasuk urusan memilih pendamping hidup. Ketika hari pertunangan semakin dekat, calon tunangan pilihan mamanya justru menghilang tanpa jejak.
Untuk pertama kalinya, Revan melihat kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Bukan sekadar mencari pengganti, ia menginginkan seseorang yang benar-benar ingin ia perjuangkan.
Hingga ia teringat pada seorang gadis yang pernah ia lihat… sosok sederhana namun mencuri perhatiannya tanpa ia pahami alasannya.
Kini, Revan harus menemukan gadis itu. Namun mencari keberadaannya hanyalah langkah pertama. Yang lebih sulit adalah membuatnya percaya bahwa dirinya datang bukan sebagai lelaki yang membutuhkan pengganti, tetapi sebagai lelaki yang sungguh-sungguh ingin membangun masa depan.
Apa yang Revan lakukan untuk meyakinkan wanita pilihannya?Rahasia apa saja yang terkuak setelah bersatu nya mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Noda Coklat
Subuh menjelang. Seperti biasa, sebelum memulai aktivitas, Eliana dan Nadia menunaikan kewajiban mereka untuk beribadah. Setelah itu, keduanya keluar menuju taman apartemen untuk berlari pagi. Udara segar dan embun yang masih menempel di dedaunan menjadi rutinitas sederhana yang mereka nikmati setiap hari.
Usai olahraga, mereka kembali ke apartemen. Mulai bersiap untuk melanjutkan rutinitas selanjutnya. Aroma nasi goreng buatan Nadia memenuhi ruang makan kecil itu. Kini keduanya sedang sarapan sambil menyusun kegiatan hari ini.
“Kita ke butik dulu ya. Nanti sekitar jam sepuluh, kita harus ke tempat yang sudah ditentukan Nyonya Rika,” ujar Nadia sambil menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.
“Iya, kamu atur saja,” jawab Eliana singkat. Pandangannya kosong, pikirannya seperti melayang entah ke mana. Sejak malam tadi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, meski ia sendiri tak tahu itu apa.
“Kamu kenapa, El? Sepertinya kamu tidak bersemangat,” tanya Nadia, memperhatikan perubahan raut wajah sahabatnya.
Eliana menghela napas. “Aku nggak apa-apa, kok. Hanya saja… entah kenapa sejak tadi malam aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Tapi aku benar-benar tidak tahu apa itu.” Ia mengaduk-aduk makanan di piringnya tanpa niat untuk menyantapnya.
“Mungkin kamu kecapekan. Lebih baik istirahat saja hari ini. Untuk urusan butik, biar aku yang tangani,” ujar Nadia, penuh perhatian.
Eliana tersenyum tipis. “Terima kasih, Nad. Tapi aku sungguh tidak apa-apa. Kalau kamu sudah selesai makan, ayo kita berangkat sekarang.”
Mereka pun segera bersiap, meninggalkan apartemen menuju butik sebelum nantinya bertemu dengan pelanggan mereka.
---
Sementara itu, di sebuah rumah besar nan mewah, kesibukan pagi sudah dimulai. Para pelayan hilir mudik, ada yang membersihkan ruang tamu, ada yang merapikan tanaman di taman, dan sebagian lagi menyiapkan sarapan di ruang makan utama.
Revan turun dari kamarnya dengan setelan rapi, bersiap untuk berangkat ke perusahaan. Revan terlihat tenang, namun dalam hatinya, ia berharap, semoga takdir segera mempertemukannya dengan wanita misterius yang telah hadir dalam pikirannya.
Di meja makan, hanya terdengar dentingan sendok dan piring. Suasana hening itu pecah ketika Miranda akhirnya angkat bicara.
“Re… apa tidak sebaiknya kamu mencari Celin? Mama rasa dia hanya pergi untuk menenangkan diri. Bagaimanapun juga, hanya dia yang pantas menjadi pendamping mu. Dia juga dari keluarga terpandang Re. Dia putri pengusaha. Mama yakin Celin pilihan yang tepat,” ucap Miranda dengan suara penuh harap.
Revan mendadak menghentikan gerakan tangannya. Ia meletakkan sendok begitu saja, seakan selera makannya lenyap.
“Terserah apa kata Mama. Tapi aku tetap pada pendirianku. Dan ingat, Mama… jangan sekali-kali berusaha mencarinya,” tegas Revan. Tanpa menunggu jawaban, ia berdiri, lalu melangkah meninggalkan ruang makan dan segera berangkat ke kantor.
Miranda hanya bisa terdiam, wajahnya memerah oleh amarah yang tertahan.
“Kamu ini kenapa sih, Mir? Jelas-jelas wanita pilihanmu itu pergi begitu saja, padahal pertunangan tinggal beberapa hari lagi. Tapi kamu masih juga tetap mengharapkannya. Ingat, yang akan menikah itu anak mu. Jadi biarkan dia yang menentukan pilihannya,” suara Sonya, ibunda Miranda, terdengar tajam.
Surya, ikut menimpali. “Aku sudah berulang kali mengingatkannya ma. Tapi tetap saja dia menutup mata atas sifat Celin yang sebenarnya.”
Miranda terdiam, merasa disudutkan oleh dua orang sekaligus. Namun dalam hatinya, ia tetap bersikeras. Baginya, hanya Celin yang pantas menjadi menantunya, entah apapun yang dipikirkan orang lain.
---
Revan tiba di perusahaan dengan perasaan campur aduk. Sejak tadi, pikirannya terus bergejolak. Namun satu hal yang pasti, kali ini dan seterusnya ia tidak akan lagi menuruti keinginan mamanya. Ia akan menentukan pilihannya sendiri.
Sesampainya di ruang kerja, Revan menjatuhkan diri ke kursi kebesarannya. Ia menyandarkan punggung, menutup mata sejenak, dan menarik napas dalam-dalam, seolah ingin melepas beban berat yang menekan pikirannya.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. “Masuk,” ucap Revan singkat.
Dion, asistennya, masuk sambil membawa tumpukan berkas. “Maaf, Tuan. Ini laporan untuk minggu ini,” katanya sopan, sambil meletakkan dokumen di meja kerja.
“Apa jadwalku hari ini, Dion?” tanya Revan sambil mulai membuka berkas.
“Hari ini jadwal Anda kosong, Tuan. Hanya memeriksa berkas-berkas itu saja,” jawab Dion singkat.
“Baiklah. Kamu boleh keluar.”
“Baik, Tuan. Saya permisi.” Dion menunduk hormat lalu meninggalkan ruangan.
Di sela-sela memeriksa berkas, Revan mengambil ponselnya. Ia mengirim pesan pada Riki, sahabatnya, untuk bertemu siang ini di tempat biasa.
---
Jarum jam hampir menunjukkan angka sepuluh ketika Eliana dan Nadia tiba di lokasi pertemuan dengan Nyonya Rika. Mereka sengaja datang lebih awal agar tidak membuat klien menunggu. Ternyata, kedatangan mereka berbarengan dengan Nyonya Rika yang ditemani putrinya, sang calon pengantin.
“Kalian sudah datang,” sapa Nyonya Rika ramah.
“Iya, Nyonya. Kami baru saja sampai,” jawab Eliana sopan.
“Ayo kita masuk. Kita bicarakan di dalam,” ajak Nyonya Rika.
Mereka pun duduk di meja yang sudah disiapkan. Pembicaraan dimulai, membahas bahan kain terbaik untuk gaun para bridesmaid. Eliana dan Nadia menunjukkan beberapa sampel kain sambil menjelaskan kelebihan dan kekurangannya. Setelah berdiskusi, akhirnya Nyonya Rika dan putrinya sepakat memilih satin silk premium, kain mahal dengan tekstur lembut, jatuh dan sangat cocok untuk gaun pesta.
“Nanti para bridesmaid bisa langsung datang ke butik kalian untuk pengukuran, ya,” ujar Nyonya Rika.
“Tentu saja. Terima kasih, Nyonya, sudah mempercayai butik kami. Kami akan berusaha memberikan hasil terbaik,” ucap Eliana dengan senyum tulus.
“Sama-sama. Saya percaya pada kalian. Pasti hasilnya bagus,” balas Nyonya Rika dengan ramah.
Pertemuan selesai. Setelah berpamitan, mereka kembali ke mobil.
“Nad, kamu langsung ke butik ya. Aku mau mampir cari barang dulu. Nanti aku pulangnya pesan taksi online aja,” kata Eliana, saat mobil mereka keluar dari area parkir
“Baiklah, hati-hati ya, El. Aku tunggu di butik,” jawab Nadia lalu fokus pada jalan.
Mobil pun melaju pergi. Eliana turun di depan sebuah mall besar dan segera masuk untuk membeli perlengkapan jahit di toko langganannya.
---
Di sisi lain, sesuai janji, Revan juga menuju mall yang sama. Ia hendak bertemu dengan Riki di sebuah restoran favorit mereka. Tubuhnya tegap, langkahnya gagah, tanpa menoleh kiri-kanan. Padahal banyak mata wanita yang diam-diam memperhatikannya.
Ponselnya berdering. Nama Riki tertera di layar. “Re, gue udah sampai nih.” “Iya, sebentar. Gue lagi jalan ke sana,” jawab Revan sebelum menutup panggilan.
Sementara itu, Eliana yang sudah membeli barang-barang keperluan menjahit berjalan hendak pulang menuju butik. Tangannya sibuk, sebelah memegang kantong belanjaan, sambil mengetik pesan untuk Nadia. Di tangan sebelah nya ada es krim yang mulai meleleh.
Karena terlalu fokus ke ponsel, Eliana tidak memperhatikan arah jalannya. Hingga…
Bruk!
Ia menabrak seseorang dengan cukup keras.
“Hei! Kalau jalan lihat ke depan dong. Jangan asyik main HP!” suara seorang pria terdengar tegas, dan sedikit kesal.
Eliana terperangah. Matanya langsung membesar begitu melihat jas pria itu kotor oleh es krim yang tadi ia pegang. Toping cokelatnya menodai kain jas yang jelas bukan sembarangan.
“Mati aku…” gumam Eliana panik. Wajahnya pucat, sementara tangannya refleks mencoba membersihkan noda di jas mahal itu.