Zara adalah gambaran istri idaman. Ia menghadapi keseharian dengan sikap tenang, mengurus rumah, dan menunggu kepulangan suaminya, Erick, yang dikenal sibuk dan sangat jarang berada di rumah.
Orang-orang di sekitar Zara kasihan dan menghujat Erick sebagai suami buruk yang tidak berperasaan karena perlakuannya terhadap Zara. Mereka heran mengapa Zara tidak pernah marah atau menuntut perhatian, seakan-akan ia menikmati ketidakpedulian suaminya.
Bahkan, Zara hanya tersenyum menanggapi gosip jika suaminya selingkuh. Ia tetap baik, tenang, dan tidak terusik. Karena dibalik itu, sesungguhnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Bersama Darren
Penyelidikan Emily berlanjut. Rasa penasarannya yang tidak terpuaskan oleh jawaban Budi, omnya Erick, mendorongnya untuk terus mencari tahu apa yang sebenarnya disembunyikan. Kini, ia tengah memantau rekaman CCTV rumah. Ia ingin melihat apa saja yang dilakukan Erick selama berada di rumah.
Semua tampak normal, tak ada yang aneh. Tidak ada orang asing yang datang, dan tingkah laku Erick pun terlihat biasa saja. Namun, saat rekaman menunjukkan moment ketika Erick memberikan ponsel kepada Emily, tetapi laki-laki itu sendiri masih memegang ponsel lain, seketika Emily berdecak kesal dan mengumpat.
"Kurang ajar! Punya HP dua, dia."
Tidak berhenti di situ, Emily lantas memanggil semua pekerja di rumahnya, termasuk mata-mata yang selama ini bekerja untuk Erick. Ia meminta kesaksian mereka, menanyakan apakah Erick menunjukkan gelagat aneh. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengaku melihat Erick berbuat macam-macam. Mereka bilang, semuanya tampak sebagaimana mestinya.
Akhirnya Emily mengambil keputusan. Ia menunjuk salah satu dari mereka, yang tak lain adalah mata-mata Erick selama ini, untuk menguntit laki-laki itu dan melaporkan setiap gerak-geriknya. Orang yang ditunjuk itu pun menyanggupi. Begitu Emily berlalu, tanpa membuang waktu, mata-mata itu langsung mengirimkan pesan kepada Erick.
Sementara itu, Emily sendiri memilih menunggu kepulangan Erick. Menurut penuturan pelayan, sepuluh menit lagi suaminya itu akan tiba di rumah, karena memang jam segitu Erick biasa pulang. Emily sengaja pulang lebih awal hari itu, ingin menginterogasi sekaligus melihat reaksi Erick setelah penghasilannya dialihkan.
Namun menit demi menit berlalu, batang hidung Erick tidak kunjung terlihat. Emily menelpon, tetapi nomornya tidak aktif.
"Sial!"
Rasa geram menguasai Emily, hingga benda-benda pajangan di dekatnya menjadi sasaran amarahnya, berhamburan ia serampangan.
Pagi hari berikutnya,
Saat terbangun, Emily mendapati sisi ranjang di sebelahnya kosong. Erick belum pulang. Ia mencari ke seluruh penjuru kamar, tetapi suaminya itu memang tidak ada. Semua pelayan langsung kena semprot amarahnya. Emily hendak memanggil mata-mata yang ia tugaskan semalam, ingin meminta laporan kerjanya. Baru saja ia hendak berteriak memanggil, tiba-tiba deru mesin mobil terdengar di beranda rumah.
Emily menuju ke depan, ternyata yang datang adalah Darren. Dulu ketika Erick masih berada di rumah, kedatangan Darren selalu disambut gembira oleh Emily. Ia bisa bersenang-senang dan dilayani oleh Erick bak pelayan. Erick selalu menuangkan anggur untuk mereka, padahal ada banyak pelayan di sana. Dan jika Erick menolak, Emily selalu mengancam menggunakan kekuasaan ayahnya. Alasan Emily selalu sama, yaitu Darren adalah rekan bisnis yang menjanjikan keuntungan. Erick hanya bisa mengurut dada waktu itu, memperluas kesabarannya.
Namun kini keadaan berbalik. Emily mengharapkan Erick, tetapi yang datang Darren. Perasaan senang itu hilang, berganti menjadi kekecewaan karena yang datang bukanlah Erick.
"Honey! I am coming."
Emily memaksakan senyum. Kepada Darren, ia masih bisa tersenyum meskipun enggan. Tetapi kepada Erick, ia tidak pernah bersikap demikian. Memang begitulah, kadang kekasih lebih diistimewakan daripada pasangan sah.
"Hai, Darren," sapa Emily, berusaha terlihat senang dengan kehadiran laki-laki itu.
"Sayang, tidak apa-apa kan aku datang ke rumah? Kamu sibuk banget akhir-akhir ini, jadi aku inisiatif datang ke kamu duluan. You okay? Aku datang ingin menghiburmu, aku merasa kamu tidak baik-baik saja."
Memang Darren yang selalu bisa diandalkan, batin Emily.
"Ya, begitulah hidup. Selalu ada rintangannya. Siapa yang kuat, dia yang akan selalu menang dan bersinar. Terima kasih sudah menjadi penguatku, Darren." Emily menyambut pelukan Darren. Laki-laki itu kemudian mengecup kening kekasihnya.
Darren berbicara panjang lebar, berusaha menghibur. Ia mengajak Emily sarapan bersama, bahkan sebelumnya mereka mandi bersama terlebih dahulu.
Setelah kegiatan intim itu selesai dan mereka sudah rapi mengenakan pakaian mahal dengan rambut yang masih belum kering sempurna, barulah mereka sarapan dan menikmati kopi pagi sebelum beranjak menuju kesibukan masing-masing.
"Baby," panggil Darren. l
"Aku membawa beberapa dokumen kerja. Ini terkait proyek yang akan sangat menguntungkan kita berdua. Aku tahu kamu sedang banyak pikiran, jadi aku sudah menyiapkan semuanya. Kamu hanya perlu tanda tangan di bagian ini, sebagai bentuk persetujuan kita untuk mulai menjalankan proyek tersebut. Ini kesempatan emas, Sayang, dan hanya perlu konfirmasi darimu."
Emily mengangguk. Ia memang sedang sibuk kepikiran Erick sekarang, dan Darren selalu bisa memberinya harapan keuntungan. Kepercayaan Emily pada Darren sudah mendarah daging. Ia meraih pulpen, tangannya menggantung di atas dokumen, siap membubuhkan tanda tangan.
Tiba-tiba, tangan Emily terhenti. Sebuah tangan kokoh mencengkeram pergelangan tangannya, menghentikannya tanpa sepatah kata pun.
Emily mendongak, terkejut menatap siapa yang datang. Seketika rasa suntuk di kepalanya menguap, Nah, ini dia yang aku tunggu.
Erick yang berdiri tegak di sana, membuang pulpen yang ada di tangan Emily, lalu tanpa ragu mengambil dokumen yang hendak ditandatangani istrinya tadi.
Dokumen itu memang terlihat seperti persetujuan bisnis biasa yang menjanjikan, sesuai dengan apa yang dikatakan Darren. Namun di antara deretan kalimat kontrak yang panjang, ada satu kalimat ambigu yang tersirat bahwa isi sesungguhnya yang mengikat ada di lembar lain yang tidak Darren tunjukkan. Ini adalah jebakan maut, di mana karena Emily terlalu terbiasa percaya pada Darren dan sedang diliputi kekesalan pada Erick, tidak akan berpikir dua kali untuk menekennya.
Tanpa memeriksa lebih lanjut, Erick langsung menyalakan korek api dan membakar habis dokumen itu. Melihat aksi tersebut, sontak Darren mendorong Erick dan membentaknya, bahkan hendak melayangkan tinju.
"Stupid!"
Seharusnya Erick yang melakukan itu kepada Darren yang sudah meniduri istrinya pagi-pagi, tetapi ini sebaliknya, Darren yang lebih garang.
Erick menangkis pukulan dari Darren. Merasa kalah, Darren serta merta meminta Emily untuk membereskan Erick. Emily pun langsung mengomel seperti biasanya, "Apa-apaan kamu, Rick! Stop it! Kamu gak berhak ikut campur apa yang aku lakukan. Ini hanya persoalan bisnis, tidak usah lebay seperti ini."
Erick belum menanggapi ocehan Emily. Dia hanya menatap Darren, tatapan yang datar, dan menyuruhnya pergi dari rumah itu. Darren malah tertawa, melirik Emily. Sebuah kode untuk mengajak Emily mem-bully Erick bersama-sama.
Tetapi kali ini berbeda. Emily justru meminta Darren pergi juga, karena Emily punya agendanya tersendiri, menginterogasi dan mengerjai laki-laki yang baru pulang itu. Darren tidak percaya dengan apa yang dilakukan Emily, tetapi mau tak mau dia pergi dari sana dengan perasaan yang dongkol.
Tersisalah Erick dan Emily. Dalam benak Emily, adegan Erick menyalakan korek api lalu membakar habis dokumen Darren, tayang kembali. Tindakan itu juga ternyata telah membakar api gairah Emily. Sikap Erick telah menumbuhkan kekaguman, di mana Erick tanpa basa-basi menghabisi milik orang lain tanpa babibu. Emily menyukai hal itu.
"Kamu pulang, karena tak ada duit ya?" Seru Emily, diujung kalimatnya, ia tertawa sembari mengibaskan tangan.
"Tidak. Aku pulang karena memang ingin pulang." Jawab Erick datar, sembari meraih obat lalu meminumnya.
"Tidak usah belaga pilon, memangnya apa yang bisa dilakukan dengan dompet kosong, selain memohon padaku untuk mengembalikannya?!"
"Anggap saja uang itu seluruhnya nafkah dari ku untukmu, Em." Erick banyak belajar dari Zara, meredam perdebatan dengan cara tak banyak membantah. Tapi juga tidak mengikuti keinginan sang pendebat.
Seperti Zara yang tak mau jika diminta meninggalkan Erick. Sebab jalan hidupnya bukan tergantung apa yang dimau orang, tapi diri kita sendiri yang menentukan. Pendapat orang hanya untuk bahan renungan diri dalam ambil keputusan. Kalau jalan tidak sesuai karena si pemberi nasihat tak tahu apa yang tengah dirasakan, maka kita berhak tak mengikutinya.
"Di dunia ini semua orang akan butuh uang, jangan harap aku akan kasih bagian bulananmu dari nafkah yang kau beri semuanya itu. Jangan merasa hebat. Kau uang darimana jika aku tidak memberikannya?"
"Jangan pikirkan aku, Em."
Dengan jawaban begitu saja, Emily geram bukan main. Ia melayangkan tangannya ke udara, lalu...
...****...
Di sisi lain,
Zara dan Mila tengah berjalan-jalan keluar. Seperti biasa, mengantar Mila untuk agenda acaranya.
Di kesempatan itu Mila bertanya hal dari kemarin ingin ia ketahui.
"Ra, kamu ketemu sama Erick itu di mana sih pertama kali? Terus ceritanya gimana bisa ketemu?"
"Aku ketemu pertama kali dia di rumah sakit, La. Secara enggak langsung, aku bertemu Mas Erick karena Mbak Emily."
"Emily?" Mila terkejut.
"Ya, jadi ceritanya itu begini--"
.
.
Bersambung.
Yaaa tapi kan hukum di negeri enih bisa dibeli 😌
jelas bikin perut keram
aku gak punya madu aja sering keram, gara dongkol hati ini 😁😁😁
jadi curhat nih