Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Ustadz Fathur menghela napas pelan. “Baik, Pak. Tapi mungkin Bapak perlu tahu dulu latar belakangnya.”
“Tadz… alasan tetap alasan,” potong Pak RW cepat. “Aturan dibuat supaya ditaati.”
Ustadz Fathur menatapnya langsung, suaranya tetap lembut namun tegas. “Saya paham, Pak. Tapi begini… menegur orang itu ada adab dan tahapannya. Aira baru datang beberapa hari lalu, Pak. Belum paham lingkungan sini, belum terbiasa dengan budaya kampung, dan dia sedang belajar.”
Pak RW mengernyit, tidak sepenuhnya setuju. “Kalau dibiarkan… nanti yang lain ikut-ikutan.”
“Tidak ada yang membiarkan,” sahut Ustadz Fathur. “Saya sudah menegur halus beberapa kali. Ibunya juga sudah memberi pengertian. Tapi perubahan itu tidak bisa dipaksa, Pak. Perlahan itu lebih baik daripada memaksa sampai akhirnya timbul rasa benci pada agama.”
Pak RW mulai gelisah. “Tapi tetap saja, Tadz… warga lain bisa salah paham.”
“Dan justru itu tugas kita, Pak,” jawab Ustadz Fathur tenang. “Tugas kita memberi contoh, bukan menghakimi. Kita dakwahkan dengan akhlak, bukan dengan emosi.”
Pak RW terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Tadz… saya tidak setuju. Kalau saya mah, peraturan ya peraturan. Kalau dilanggar, ya tegur keras. Kalau tidak mau, ya keluar dari kampung.”
Ustadz Fathur menahan diri agar tetap lembut. “Maaf Pak RW, tapi saya rasa itu tidak bijak. Rasulullah sendiri membimbing dengan kasih sayang. Dan perempuan yang baru datang itu… masih beradaptasi. Jangan kita menakut-nakuti orang dengan agama.”
“Pokoknya saya sudah sampaikan,” kata Pak RW sambil menepis udara dengan tangan. “Kalau besok-besok masih begitu, saya bertindak sendiri. Assalamu’alaikum!”
Ia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban.
Ustadz Fathur hanya bisa menatap punggungnya, wajahnya tampak sedih.
“Wa’alaikumussalam…” ucapnya lirih.
Ia menutup gerbang pelan.
Dalam hati ia bergumam,
Aira... Kamu bukan hanya jadi perhatian warga. Tapi juga ujian kesabaran banyak orang, termasuk saya.
Pak RW sudah hilang di ujung jalan, tapi suasana gelisah yang ditinggalkan masih menggantung di halaman rumah Ustadz Fathur.
Beliau berdiri beberapa detik di depan pintu, memejamkan mata pelan. Nafasnya ditarik panjang, mencoba menenangkan diri.
Masya Allah... ujian hari ini berat sekali.
Ia mengambil peci, mengenakannya, lalu mengambil kunci motor. Namun bahkan saat menghidupkan mesin, pikirannya tak kunjung tenang.
Di sepanjang perjalanan menuju pondok, jalan berkelok dan menanjak terasa lebih panjang dari biasanya. Pohon-pohon yang berjejer di kiri kanan jalan seolah ikut menjadi saksi kekhawatiran yang berputar di kepalanya.
Kenapa semua orang begitu mudah menuduh?
Padahal Aira baru datang… belum paham apa-apa.
Dan kenapa semua urusan—entah komentar ibu-ibu, santri, sampai Pak RW—selalu mengarah ke Aira?
Ia menghela napas lagi.
Yang paling mengusik hatinya adalah ucapan Pak RW: “Kalau masih begitu, saya bertindak sendiri.”
Ustadz Fathur mencengkeram stang motor, rahangnya mengeras.
Bukan karena marah... tapi karena cemas.
Bukan cemas untuk dirinya.
Tapi untuk Aira.
Dia itu anak kota… belum terbiasa lingkungan pesantren.
Omongan keras sedikit saja bisa membuat dia defensif atau sakit hati.
Ia memikirkan ekspresi Aira tadi pagi. Cara gadis itu menahan dongkol saat ditegur. Cara bibirnya manyun, tapi masih mencoba mendengarkan. Bahkan cara bar-bar-nya ketika membalas gadis kampung tadi.
Dia keras… tapi hatinya nggak jahat.
Dia itu… masih mencari bentuk dirinya.
Apalagi kejadian di warung tadi... berebut kue dengan Aira sampai tukang warung nyeletuk soal menikah.
Ustadz Fathur tiba-tiba memegang dadanya sendiri.
Astaghfirullah… kenapa jadi teringat itu lagi?
Wajahnya memanas ketika ingatan itu melintas.
Aira yang buru-buru menarik tangannya.
Kedua pipinya yang memerah.
Matanya yang tak berani menatap.
Ya Allah… kuatkan hati hamba…
Jangan biarkan fitnah tumbuh di mana-mana.
Motor melambat ketika pondok mulai terlihat. Gerbang tinggi berwarna hijau pastel tampak dari jauh.
Namun langkahnya masih berat.
Karena pikirannya masih pada satu nama.
Aira.
Sampai akhirnya ia berbisik, seolah menenangkan dirinya sendiri.
“Semoga Allah mudahkan hatimu, Neng… dan semoga semua ini enggak membawamu menjauh dari agama.”
Ia menepikan motor, turun, dan berjalan masuk ke halaman pondok dengan hati yang belum sepenuhnya tenang.
***
Ustadz Fathur berdiri lama di depan pintu rumahnya. Angin malam berdesir pelan, membawa suara jangkrik dan aroma tanah basah. Tangannya meraba tas kecil yang ia simpan di kantong celananya... tas peninggalan ayahnya. Di dalamnya, cincin milik ibunya tersimpan, terbungkus kain halus yang sudah mulai lusuh.
Sebelum berangkat, ia duduk di ruang tamu sebentar, mematikan lampu kecuali satu lampu kecil di sudut ruangan. Ia butuh hening. Di pondok tadi, pikirannya berkecamuk... tentang Aira, tentang adab, tentang masa depan, tentang keputusan yang tak boleh main-main.
Ia menggenggam cincin itu lama. Cincin kecil, namun memiliki berat sejarah dan amanah keluarga.
"Ummi… Abi… doakan aku. Semoga perempuan yang aku datangi malam ini memang yang terbaik untukku."
Ia menarik napas pelan. Keputusan itu ia ambil setelah shalat Isya tadi: ia harus menemui Pak Hadi dan Bu Maryam. Ia harus menyampaikan niat baiknya... meski baru mengenal Aira sebentar, ada sesuatu yang membuatnya mantap. Bukan sekadar ingin mendidik, tapi sebuah keyakinan halus yang terus muncul.
“Bismillah…” Ustadz Fathur berdiri, merapikan jubahnya.
Ia membuka pintu rumah dan melangkah keluar. Udara malam terasa dingin, tapi dadanya justru hangat oleh keberanian yang baru tumbuh. Setiap langkah ke depan terasa seperti langkah menuju takdirnya.
Sambil berjalan menuju rumah Aira, ia berbisik lirih, “Semoga Pak Hadi dan Bu Maryam menerima niat baikku. Semoga ini jalan yang Allah ridhoi.”
Tas kecilnya bergoyang pelan di kantong celananya, seolah ikut mengingatkan bahwa amanah orang tuanya sedang ia jaga.
Dan dengan penuh keyakinan… ia melangkah menuju rumah keluarga besar itu... siap menyampaikan keputusan yang sudah ia renungkan sepanjang malam.
Ustadz Fathur mengetuk pintu pelan.
Tok… tok… tok…
Tak butuh waktu lama, pintu dibuka oleh Pak Hadi yang mengenakan kaus oblong dan sarung, wajahnya ramah seperti biasa.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Ustadz. Ayo masuk, ayo masuk.” Pak Hadi mempersilakan dengan senyum lebar, seolah kedatangan tamu malam-malam sudah biasa.
Ustadz Fathur melangkah masuk, menunduk hormat. “Terima kasih, Pak.”
Suasana rumah hangat, diterangi lampu kuning yang temaram. Di ruang keluarga, Aira duduk menyamping ke arah TV, menikmati tontonan sambil ngemil kuaci.
Pak Hadi duduk duluan, “Bagaimana, Tadz? Dari sawah tadi ada masalah?”
“Alhamdulillah aman, Pak. Hanya bagian utara sedikit lembap, mungkin butuh dibersihkan sedikit. Saya sudah cek tanggulnya juga, masih kuat. Insha Allah pertumbuhannya bagus.”
Pak Hadi mengangguk puas. “Syukurlah, saya memang belum sempat turun lagi.”
Obrolan ringan terus mengalir. Tentang warga yang gotong royong tadi siang, tentang Pak RW yang agak keras kepala, sampai masalah langit mendung yang tak jadi hujan.
Aira dari ruang keluarga masih santai, tidak menyadari arah pembicaraan akan berubah drastis.
Ustadz Fathur meneguk air teh sebelum akhirnya menarik napas panjang. Dadanya berdegup... lebih kencang dari saat ia khutbah Jumat.
“Pak Hadi…” Suaranya merendah. “Ada yang ingin saya sampaikan.”
Pak Hadi menoleh, “Lho, kok serius sekali?”
Ustadz Fathur menunduk sedikit. “Iya, Pak. Ini… berkaitan dengan masa depan.”
Aira otomatis memalingkan kepala sedikit. Masa depan? Apaan sih? pikirnya, tapi ia tetap sok fokus ke TV.
Ustadz Fathur akhirnya berkata,
“Maaf sebelumnya, Pak Hadi. Emm… apa jika saya ingin menjadikan Aira sebagai istri… dibolehkan?”
Uhukk!!
Bersambung