Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Pagi itu, suasana di rumah besar milik Edward terasa berbeda dari biasanya. Tidak ada ketegangan, tidak ada teriakan perintah, tidak ada wajah masam Edward yang biasa menghantui setiap penghuni rumah.
Edward, pria yang dikenal dingin dan sulit tersenyum, pagi itu terlihat begitu tenang. Bahkan, ia bangun lebih awal dari biasanya, menatap wajah Ara yang masih terlelap di sampingnya.
Ada senyum kecil di sudut bibirnya saat melihat istrinya itu mengerutkan hidung karena cahaya matahari menembus tirai kamar.
Tanpa banyak bicara, Edward mendekat dan membopong tubuh Ara yang masih terbungkus selimut. Ara membuka mata perlahan, menatap wajah suaminya dengan bingung.
“Kau tidak perlu membopongku setiap pagi,” ucap Ara pelan, suaranya masih serak. “Aku bisa berjalan sendiri.”
Edward menatapnya sekilas, lalu menjawab dengan nada datar namun lembut, “Aku tahu. Tapi aku ingin melakukannya. Anggap saja ini olahraga pagi.”
Ara tersenyum geli. “Olahraga yang satu ini aneh sekali,” candanya sambil menatap wajah serius Edward.
Edward hanya mengangkat bahu. “Aneh tapi menyenangkan.”
Ia terus melangkah menuju kamar mandi dan menurunkan Ara dengan hati-hati. Tak lama setelahnya, terdengar suara air mengalir dan tawa kecil Ara yang jarang terdengar di rumah itu.
Beberapa saat kemudian, setelah keduanya selesai bersiap, Edward kembali membopong Ara menuju ruang makan. Aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi udara.
Di atas meja makan panjang yang elegan, sudah tersaji berbagai hidangan dari omelette, sosis panggang, hingga salad segar.
Ara melongo. “Wah, banyak sekali makanannya,” katanya kagum. “Siapa yang menyiapkan semua ini?”
Edward menarik kursi untuk Ara, lalu duduk di seberangnya. “Koki pribadi,” jawabnya singkat. “Kau pikir aku punya waktu untuk memasak?”
Ara tertawa kecil, menatap suaminya dengan tatapan hangat. “Tentu saja tidak. Kau kan seorang suami, bukan koki.”
Edward tersenyum tipis. Ada rasa senang yang aneh di dadanya saat mendengar tawa itu. Mungkin karena tidak pernah melihat Ara tertawa dengan begitu lepas.
“Silakan makan,” katanya sopan.
Ara mulai menyantap sarapan dengan lahap. Edward hanya memperhatikan dalam diam, melihat bagaimana setiap suapan tampak membuat wanita itu bahagia.
“Pelan-pelan saja,” ucap Edward lembut. “Kau bisa tersedak kalau terburu-buru.”
Ara menatapnya dan tersenyum. “Aku lapar sekali, Edward. Rasanya sudah lama tidak makan dengan tenang begini.”
Edward mengangguk pelan, tapi pikirannya sibuk. Ia masih memikirkan percakapannya dengan Alana kemarin. Tentang terapi itu. Tentang bagaimana ia harus mengatasi masalah yang selama ini ia sembunyikan dari siapa pun. Ia tahu cepat atau lambat, ia harus jujur pada Ara. Tapi bagaimana?
Setelah beberapa menit, ia memberanikan diri membuka suara.
“Ara,” panggilnya pelan.
Ara menatapnya dengan wajah lembut. “Ya?”
Edward meneguk air putih, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Bagaimana kalau setelah sarapan kita jalan-jalan? Di taman belakang.”
Ara terkejut. “Jalan-jalan?” Ia nyaris tak percaya. “Kau mau mengajakku jalan-jalan?”
Edward mengangguk singkat. “Ya. Aku ingin... menghabiskan waktu bersamamu.”
Kata-kata sederhana itu cukup membuat Ara terdiam sejenak sebelum tersenyum.
“Baiklah. Aku ikut.”
Beberapa saat kemudian, mereka berjalan di taman luas yang berada di belakang rumah. Taman itu sangat indah, dipenuhi bunga mawar, anggrek, dan air mancur kecil di tengahnya. Udara pagi masih segar, burung-burung berkicau di pepohonan.
“Indah sekali,” ucap Ara dengan mata berbinar. “Aku tak tahu taman ini sebesar ini.”
Edward menatap wajah istrinya yang tampak bahagia. “Kau menyukainya?” tanyanya lembut.
Ara menoleh dan mengangguk. “Aku sangat menyukainya. Rasanya seperti bukan di rumahmu yang dingin itu.”
Edward terkekeh pelan. “Mungkin karena aku baru belajar membuat rumah ini terasa hidup.”
Mereka berjalan perlahan hingga sampai di sebuah bangku kayu di bawah pohon sakura yang baru mulai berbunga. Edward menggenggam tangan Ara dan menuntunnya duduk.
Beberapa detik, hanya suara angin yang terdengar. Lalu, Edward menarik napas panjang.
“Ara… ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu.”
Tatapan Ara berubah serius. “Ada apa, Edward?”
Pria itu tampak gugup, jarinya menggenggam ujung celana.
“Aku…” suaranya terhenti. Kata-kata terasa sulit keluar. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia datang ke dokter kandungan hanya untuk menanyakan masalah kelelakian?
“Kau kenapa?” tanya Ara cemas. “Apa kau sakit?”
Edward buru-buru menggeleng. “Tidak, tidak. Aku baik-baik saja.” Ia tersenyum kaku. “Hanya... lupa apa yang mau kukatakan.”
Ara mengernyit curiga. “Kau yakin?”
Edward menatap matanya sebentar lalu mengalihkan pandangan. “Yakin. Sudahlah, lupakan saja.”
Ara terdiam, tapi dalam hatinya, ia tahu Edward sedang menyembunyikan sesuatu. Tatapan mata itu terlalu mudah terbaca bagi seorang wanita yang telah lama hidup di dekatnya.
Edward kemudian mengubah suasana dengan memeluk Ara dari samping.
“Ayo nikmati pagi ini,” bisiknya lembut. “Kau terlalu banyak berpikir.”
Ara bersandar di dadanya, mencoba menikmati momen itu meski pikirannya dipenuhi tanda tanya.
Sementara mereka larut dalam ketenangan taman, di tempat lain, beberapa kilometer dari sana, seorang pria berdiri di balkon tinggi, menatap foto Edward dan Ara di layar laptopnya.
Senyum sinis muncul di wajahnya.
“Jadi, Edward Frederick mulai jatuh cinta…” gumamnya pelan, nada suaranya penuh ejekan. “Si mafia dingin itu akhirnya punya kelemahan.”
Ia mengangkat ponselnya dan menekan satu nomor cepat. “Lakukan sesuai rencana,” perintahnya dingin. “Waktunya sudah tiba.”
Sambungan telepon berakhir. Di layar laptopnya, wajah Ara tampak membeku di tengah tawa. Pria itu menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menyipit penuh ancaman.
“Bersiaplah, Edward,” bisiknya licik. “Aku akan mengambil segalanya darimu, termasuk wanita cantik itu.”
pernah lihat film ga Thor
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul