Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.
Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.
Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.
Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.
Genre : Romansa Gelap
Written by : Dana Brekker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 31
“Keluarga bukanlah sebuah benteng, melainkan hutang yang terus menagih bentuk kesetiaan baru.”
Jangan pernah katakan itu dihadapan Prince of Aksantara. Bahkan pangeran itu sendiri merasa konyol dipanggil begitu. Apapun yang berasal dari keluarganya terasa najis. Suka tidak suka, kenyataannya begitu. Selalu.
Seperti pada hari ini, ruang kerja Radmilo terasa membekukan tulang. Jika mengedarkan pandangan di ruangan yang layak disebut aula itu, akan terlihat barisan rak buku klasik yang dihiasi potret keluarga Aksantara tempo dulu di setiap ujung lorongnya, dan satu lukisan maha besar pria keturunan Italia bersetelan hitam yang konon kabarnya membangun separuh kerajaan bisnis itu hanya dengan “persetujuan” geng Sicilia.
Intinya tidak ada yang menarik di ruangan ini selain bau busuk yang hanya tercium oleh seorang pemuda yang barusan melenggang masuk tanpa mengetuk pintu.
Darren berjalan masuk seperti seseorang yang mengenal setiap inci ruangan dan setiap dosa yang pernah lahir di dalamnya. Nama Althea Rebecca muncul di benaknya saat itu juga.
Amplop diangkat, ancaman dia layangan.
Adapun di singgasananya, Radmilo urung memberikan respon yang berlebihan. “Jadi begitu,” tuturnya tanpa intonasi. “Kau benar-benar menolak perintah keluarga.”
Pintu yang ditutup dari luar bunyinya terdengar seperti kunci borgol kala pemuda itu berdiri tegap di depan meja ayahnya. Jaraknya tidak lebih dari tiga meter.
“Kalau perintah itu berarti menyerahkan Viena, ya. Aku menolak. Tapi kita bisa berdiskusi jika hanya membiarkannya pergi dariku, tapi tidak untuk menyerahkannya.”
Radmilo meletakkan cerutu di bibirnya. Asap naik perlahan, membentuk pita tipis nan meliuk-liuk di udara. Baunya begitu familiar.
“Kau selalu berbicara seolah dirimu bukan bagian dari Aksantara.”
“Aku memang bukan anjing penjaga,” tukas Darren. “Aku sudah terlalu sering menonton bagaimana kau melindungi kehormatan keluarga dengan mengorbankan orang lain.”
Senyuman kecil muncul di sudut bibir Radmilo, senyuman tanpa humor. Namun yang dikatakan pemuda itu barusan bukanlah bualan belaka. Darren melihat semuanya tanpa pernah benar-benar terlibat sebagai pelaksana. Tapi ia menyaksikan bagaimana uang dicuci melalui perusahaan sosial, bagaimana korban perdagangan manusia disamarkan sebagai pekerja magang, bagaimana senjata dirakit ulang dan dikirim dalam kotak bertulisan mesin pertanian, bagaimana para pejabat negeri tersenyum puas setelah menerima koper yang tidak pernah tercatat dalam anggaran. Semua itu “katanya” dilakukan demi keluarga. Tapi pada kenyataannya? Bisnis tetaplah bisnis.
“Itu kata-kata yang terlalu berbahaya dari bocah yang dulu meminta izin ayahnya untuk membawa pistol ke sekolah.”
“Bocah itu sudah mati,” timpal Darren. “Dan kau yang membunuhnya dengan aturan-aturan yang bahkan Tuhan pun tak sudi untuk ikut campur.”
“Jaga bicaramu.”
“Kenapa?” Darren mengangkat dagu. “Karena aku menyebut sesuatu yang terdengar terlalu dekat dengan kebenaran?”
Radmilo mencondongkan tubuh ke depan, pupilnya menyipit seperti predator yang kesabarannya telah usai. “Jangan bawa ibumu ke sini,” tegas pria yang bermata serupa seperti pemuda dihadapannya.
“Kenapa tidak?” Darren mengeluarkan kedua tangannya dari saku, bergerak bebas menjelaskan setiap maksud ucapannya. “Kau mengajarkanku menutup mata pada hal yang menyakitkan. Tapi tidak pernah berhasil.”
“Kau masih menyalahkanku?”
“Aku hanya mengingat,” Darren mengoreksi dengan tenang namun justru terdengar seperti mata pisau. “Sejak hari itu, di ruangan ini, aku berhenti percaya pada apa pun yang kau sebut keluarga.”
Radmilo menegakkan punggungnya. Ada ketegangan emosi, seperti singa yang akhirnya menyadari bahwa anaknya telah tumbuh dengan taring yang lebih tajam. Mau dibantah atau tidak. Mau percaya atau tidak. Kenangan Althea menjadi salah satu faktor yang merubah pandangan Darren terhadap dunia selain berpulangnya sang ibu.
Realita kehidupan Aksantara tidak pernah tampil dalam pesta gala yang sering ditayangkan media. Yang ditunjukkan hanyalah topeng filantropi, kontribusi ekonomi, dan jaringan bisnis global yang tampak profesional. Namun Darren tumbuh di antara lapisan-lapisan yang tidak pernah boleh disentuh cahaya. Sejak kecil ia diajak Radmilo melihat dunia, tapi definisi dunia dalam kamus Aksantara adalah neraka dengan struktur administratif yang rapi.
“Kau pikir kau sudah cukup kuat menentang tradisi yang membesarkanmu?”
“Omong kosong.” Darren tertawa dingin. “Yang kau maksud barusan itu tradisi atau sistem yang kau biarkan mengajari aku cara membungkam orang? Cara menyembunyikan mayat? Atau cara merapikan transaksi gelap yang biasa kita sebut bisnis?”
Radmilo menatapnya.
Dalam pandangannya, Darren bukan hanya seorang anak, melainkan sebilah pedang yang diasah terlalu baik.
“Jangan lupa,” ucap Radmilo, “siapa yang menarikmu keluar dari bawah tanah Palermo waktu kau hampir dibunuh oleh Brigata Sette. Tanpa aku, kau mungkin tidak akan berdiri di tempat ini.”
Darren merespons cepat, tanpa ragu. Dia justru sudah menanti-nantikan pernyataan barusan untuk keluar. “Aku yang menyelamatkan diriku sendiri. Kau hanya menjemput demi reputasi Aksantara.”
Untuk pertama kalinya, sorot mata Radmilo benar-benar berubah. Ada sesuatu yang terasa ngeri. Dia tahu betul power yang dimiliki putranya.
“Kalau begitu.” Radmilo menyandarkan punggung ke kursi kulit tua yang warnanya mengilap karena usia, “bersiaplah menebusnya. Satu bulan dari sekarang. Kau sudah tahu konsekuensinya jika menolak perintah ayahmu.”
Darren tidak langsung menjawab.
Ia mengedarkan pandangannya. Lukisan leluhur mereka menatap dari dinding, seolah ikut menyaksikan pertarungan generasi ini. Aroma cerutu menempel pada setiap sudut ruangan, lagi-lagi seperti sejarah busuk yang enggan menghilang.
“Aku sudah menyiapkan diri jauh sebelum amplop itu dikirim,” beber Darren kemudian. Ia menepuk sakunya, tempat amplop hitam bersegel lilin merah itu tersimpan.
Lantas Radmilo membuka mulut, nyaris melontarkan makian, itu terlihat jelas dari rahangnya yang mengeras. Namun ia menahannya lalu meraih cerutu lagi, menarik napas panjang, kemudian bersandar seperti seorang raja yang muak dengan istananya sendiri. “Darren… kau mengulang kesalahan yang sama. Kau terlalu berani.”
“Aku bisa memberikan semua yang kau butuhkan,” imbuhnya. “Uang. Wanita-wanita paling cantik. Kekuasaan yang membuat siapapun pun tunduk. Dan kalau kau benar-benar serius dengan band kecilmu itu—” ia tersenyum, sinis tapi menjanjikan, “—aku bisa membuatnya meledak hanya dalam satu minggu. Kau tahu seberapa jauh jangkauan namaku.”
Darren tidak berkutik. Hanya matanya yang bergerak, menatap ayahnya seperti menatap orang asing yang terlalu percaya diri.
Adapun Radmilo melanjutkan. “Kalau kau terus menghindar dariku hanya karena kematian ibumu, luka itu takkan pernah sembuh karena bukan aku pelakunya. Sudah waktunya kau mengerti itu.”
Ucapan itu menusuk. Bukan karena Darren percaya, melainkan karena kalimat itu terlalu sering diulang, seperti mantra busuk yang selalu dijejalkan masuk ke dalam kepalanya.
Sungguh, Darren benar-benar berkeinginan mengambil pulpen emas yang katanya pernah digunakan untuk menandatangani perjanjian dengan keluarga mafioso di Sicilia dan menancapkannya berkali-kali ke leher ayahnya. Benda itu tergeletak bebas di atas meja yang menjadi pembatas jarak mereka. Lantas darah, tinta, dan sejarah akan bercampur menjadi satu. Lalu apa? Nyatanya Darren Myles Aksantara tidak sebodoh itu.
“Luka itu akan sembuh bukan karena kau berkata demikian,” ujar Darren. “Aku juga tidak butuh uang, wanita, atau kekuasaan yang dibangun oleh tulang belulang orang tak bersalah. Kalau band-ku nanti besar, itu karena usaha orang-orangku, bukan karena bayanganmu yang membentang terlalu panjang. Kau bukan siapa-siapa.”
Myles maju setengah langkah. Setelan jas yang dia kenakan tampak begitu gagah kala tubuhnya berdiri tegap, kedua tangan kembali masuk ke saku celana. Kesannya meremehkan, tidak sopan, tapi Darren selalu begitu, terutama jika berhadapan dengan manusia bertangan besi seperti ayahnya. Dia jadi jauh lebih banyak berbicara.
“Soal Ibu… aku tidak menghindar darimu, Ayah.” Mata Darren meruncing, menatap Radmilo langsung. “Aku hanya sudah berhenti menunggu seseorang yang tidak pernah benar-benar ada untuk disalahkan atau pun dimaafkan.”
Ia berbalik hendak pergi, namun Radmilo bersuara lagi.
“Kau tak akan bisa melindungi gadis itu selama-lamanya. Kau tidak akan pernah bisa pergi dari dunia mafia. Tidak akan.”
Darren berhenti di depan pintu, tapi tidak menoleh.
“Satu-satunya hal yang tidak bisa kulindungi…” Suaranya turun menjadi bisikan tajam. “…adalah orang-orang yang berani memilih untuk menyentuh hidupnya dengan tangan kotor.”
Lalu meninggalkan ruangan tanpa menunggu izin.
Begitu pintu tertutup, Radmilo mengembuskan kepulan asap setelah batang cerutu tidak terasa ia hisap begitu kuatnya. Di matanya, bukan amarah yang tampak, melainkan kehampaan. Lelaki itu tahu, Darren yang dulu adalah anak kecil dengan krayon putih di ruang bawah tanah kini telah lama mati. Yang berdiri tadi hanyalah pemuda yang matang, dingin, dan terlalu sadar dunia untuk bisa kembali pulang. Radmilo sadar betul, Aksantara telah menciptakan monster yang bahkan Tuhan pun enggan ikut campur.