Alya, gadis kelas 12 yang hidup sederhana, terkejut saat mengetahui ayahnya terlilit hutang besar pada Arka Darendra — CEO muda paling berpengaruh di kota itu.
Saat debt collector hampir menyeret ayahnya ke polisi, Arka datang dengan satu kalimat dingin:
“Aku lunasi semuanya. Dengan satu syarat. Putrimu menjadi istriku.”
Alya menolak, menangis, berteriak—tapi ayahnya memaksa demi keselamatan mereka.
Alya akhirnya menikah secara diam-diam, tanpa pesta, tanpa cinta.
Arka menganggapnya “milik” sekaligus “pembayaran”.
Di sekolah, Alya menyembunyikan status istri CEO dari teman-temannya.
Di rumah, Arka perlahan menunjukkan sisi lain: posesif, protektif, dan… berbahaya.
Mereka tinggal seatap, tidur sekamar, dan gairah perlahan muncul—walau dibangun oleh luka.
Konflik berubah ketika masa lalu Arka muncul: mantan tunangan, dunia bisnis yang penuh ancaman, dan rahasia gelap kenapa ia sangat tertarik pada Alya sejak awal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Menjadi Istri CEO
Malam itu, Alya tidak pulang.
Setelah dokumen itu ditandatangani dan notaris serta asistennya pergi, Arka tidak memberikan waktu pada Alya untuk berpikir atau bahkan mengucapkan selamat tinggal yang layak kepada ayahnya. Ia hanya memberi perintah.
“Aku sudah meminta Jeevan mengurus semua yang kau butuhkan di sana. Kita pergi sekarang.”
Perjalanan dari Darendra Corp ke kediaman pribadi Arka terasa seperti melintasi ambang batas dunia lain. Alya duduk di jok belakang mobil sedan hitam mewah yang sunyi. Bau kulit mahal dan suasana interior yang terlalu gelap terasa menyesakkan. Arka duduk di sampingnya, fokus pada laptop di pangkuannya, mengabaikan Alya sepenuhnya.
Seolah Alya adalah barang bawaan yang baru saja ia beli dan belum sempat ia periksa.
Mereka tiba di sebuah area perumahan privat, jauh dari hiruk pikuk kota. Setelah melewati gerbang keamanan berlapis, mobil berhenti di depan sebuah bangunan yang Alya hanya lihat di majalah arsitektur: sebuah villa minimalis modern dengan dominasi kaca dan beton. Rumah itu tampak dingin, geometris, dan sangat mahal. Penerangan eksteriornya diset minimal, memberi kesan misterius dan sunyi.
“Ini tempatmu,” ujar Arka, tanpa menoleh, saat mobil berhenti.
Seorang pria berseragam hitam, Jeevan, yang Alya duga adalah kepala pelayan atau asisten pribadi Arka, membukakan pintu untuk mereka.
“Selamat datang, Nyonya Arka,” sapa Jeevan, membungkuk hormat. Suara hormat itu terasa aneh dan asing di telinga Alya.
Alya melangkah keluar, merasakan angin malam menusuk kulitnya. Ia menatap villa itu, yang terasa lebih menyerupai museum daripada rumah. Dingin, sempurna, dan tanpa jiwa.
Arka menyusul keluar. “Alya, ikuti aku. Jeevan akan mengurus sisanya.”
Di dalam, suasananya semakin terasa tidak nyaman. Interiornya didominasi warna monokrom—putih, abu-abu, dan hitam. Tidak ada foto keluarga, tidak ada pernak-pernik pribadi. Ruang tamu yang terbuka menyajikan pemandangan kolam renang panjang yang airnya memantulkan cahaya rembulan. Semuanya terasa bersih, rapi, dan menakutkan.
Arka berjalan ke lift yang tersembunyi, memberi isyarat agar Alya mengikutinya. Mereka naik ke lantai paling atas.
“Ini kamar tidur utama,” kata Arka, membuka pintu ganda besar.
Alya melangkah masuk. Kamar itu memiliki jendela kaca penuh setinggi langit-langit yang menghadap ke kota. Di tengah ruangan, terdapat ranjang king size yang dilapisi sprei sutra abu-abu gelap.
Arka berjalan menuju lemari pakaian yang pintunya menggunakan kaca es. Ia membuka pintu lemari, memperlihatkan tumpukan pakaian yang serba hitam, abu-abu, dan navy—semuanya untuk pria.
“Ini kamar kita,” tegas Arka, menoleh ke Alya. “Kau tidak akan tidur di kamar tamu, Alya. Kau adalah istriku. Kau akan tidur denganku.”
Alya menegang. Matanya membelalak. Ini adalah titik di mana ketakutan dan harga dirinya bertabrakan. Ia sudah siap secara mental untuk menjadi sandera Arka, tapi tidur satu ranjang dengan pria asing yang ia takuti… itu melewati batas keberaniannya.
“Tunggu, Tuan Arka,” Alya memaksakan suaranya. “Saya setuju untuk menikah, tapi saya tidak setuju untuk… untuk hal itu. Kita bisa tidur di ranjang yang sama, tapi kita bisa pasang batas. Saya tidak akan menyentuh Anda, dan Anda tidak akan menyentuh saya. Saya masih sekolah, Tuan.”
Arka menatap Alya lama. Matanya gelap, sulit dibaca, seolah ia baru saja mendengar lelucon yang kurang lucu.
“Batas?” Arka mengulang, nadanya dipenuhi sarkasme. Ia melangkah perlahan ke arah Alya. Setiap langkah itu adalah penciutan ruang bagi Alya.
“Kau menandatangani perjanjian pranikah, Alya. Perjanjian co-habitation. Dan aku adalah suamimu, yang melunasi lima miliar hutang ayahmu.” Arka kini berdiri sangat dekat, bayangannya menyelimuti Alya.
“Aku tidak membelimu untuk menjadi pajangan, Istriku.”
Tangan Arka yang besar dan kuat bergerak cepat, meraih pergelangan tangan Alya. Sentuhan itu bukan kasar, tetapi final—sebuah cengkeraman yang menunjukkan tidak ada ruang untuk perlawanan.
Ia menarik Alya sedikit maju, lalu memiringkan kepala Alya dengan jari telunjuknya, memaksanya untuk mendongak menatap matanya.
“Aku tahu kau masih polos. Aku tidak butuh drama masa remaja,” bisik Arka, suaranya kini serak dan lebih intim. Aroma maskulinnya kembali menyeruak, dan Alya merasakan gairah yang tebal menguar dari tubuhnya yang panas.
“Tapi dengar baik-baik: Kau sudah resmi menjadi milikku. Aku bisa melakukan apa saja padamu, kapan saja, dan di mana saja. Itu adalah hak yang sudah kau bayarkan untuk kebebasan ayahmu.”
Jantung Alya berdentum keras. Ia merasakan ketakutan membakar di perutnya. Ia menutup mata rapat-rapat, mencoba menghindari tatapan membunuh Arka.
“Buka matamu,” perintah Arka, suaranya mendominasi.
Alya, tanpa sadar, menuruti. Matanya yang ketakutan kini bertemu dengan mata Arka yang penuh hasrat tersembunyi.
Arka menunduk. Ia tidak mencium Alya—belum. Ia hanya mendekatkan bibirnya ke telinga Alya.
“Malam ini, aku akan memberimu waktu beradaptasi. Aku tidak ingin memaksamu,” bisik Arka, dan Alya merasakan napasnya yang hangat menggelitik kulit lehernya. “Tapi kau tidur di sisiku. Dan jangan coba-coba lari atau pasang batas. Itu adalah penghinaan.”
Arka kemudian menarik dirinya menjauh. Ia melepaskan pergelangan tangan Alya, lalu berjalan ke kamar mandi yang dindingnya terbuat dari kaca buram.
Alya terhuyung mundur selangkah, napasnya memburu. Ia menyentuh pergelangan tangannya yang masih terasa panas bekas genggaman Arka. Sentuhan itu tidak melukai, tetapi terasa mengancam.
Setelah Arka masuk ke kamar mandi, Alya bergegas ke sisi lain kamar itu, mencari tempat untuk bernapas. Ia menemukan sebuah pintu yang mengarah ke walk-in closet. Di dalamnya, beberapa koper baru sudah tertata rapi.
“Jeevan sudah menyiapkannya,” bisik Alya pada dirinya sendiri.
Ia membuka salah satu koper. Isinya adalah pakaian baru—baju tidur sutra, pakaian kasual, dan bahkan beberapa seragam sekolah cadangan. Semuanya dibeli tanpa persetujuannya, tanpa ukurannya. Tapi semuanya mahal dan pas dengan seleranya. Arka memang perfeksionis, bahkan dalam hal yang paling sepele.
Alya memilih piyama katun berlengan panjang berwarna abu-abu muda, yang ia temukan di bagian bawah koper. Ia bergegas masuk ke kamar mandi yang terpisah, cepat-cepat berganti pakaian. Ia ingin membersihkan aroma Arka dari kulitnya.
Ketika Alya keluar, Arka sudah selesai mandi. Pria itu berdiri di depan jendela, hanya mengenakan celana boxer hitam. Postur tubuhnya yang tinggi dan atletis, yang biasanya tertutup jas, kini terekspos dalam pencahayaan kamar yang remang-remang.
Alya merasakan wajahnya memanas. Ia menundukkan pandangannya. Meskipun ia takut, ada sensasi lain yang muncul di perutnya—sesuatu yang dilarang, sesuatu yang sensual. Ia baru 17 tahun, naif, tapi ia tidak buta terhadap daya tarik fisik.
Arka berbalik, dan menyadari bahwa Alya memperhatikannya—atau lebih tepatnya, mencoba untuk tidak memperhatikannya.
“Tidak perlu malu,” kata Arka, suaranya tenang. “Sebentar lagi, kau akan terbiasa dengan pemandangan ini, Istriku.”
Arka berjalan ke ranjang. Ia menarik selimut sutra abu-abu, lalu naik ke sisi kiri ranjang. Ia menepuk tempat kosong di sebelahnya.
“Kemarilah.”
Itu adalah perintah terakhir yang tidak bisa Alya tolak. Dengan kaki yang terasa berat, Alya berjalan ke sisi kanan ranjang. Ia naik ke ranjang, berusaha menjaga jarak sejauh mungkin dari tubuh Arka.
Selimut itu terasa halus dan dingin di kulitnya. Arka mematikan lampu meja. Kamar itu kini hanya diterangi oleh lampu-lampu kota dari jendela.
Mereka berbaring di bawah selimut yang sama. Alya tidur menyamping, memunggungi Arka, berusaha mengendalikan napasnya agar tidak terdengar panik. Ia bisa merasakan kehangatan punggung Arka yang berjarak hanya beberapa inci darinya.
Lima menit. Sepuluh menit. Waktu terasa lambat, diisi oleh detak jantung Alya yang keras.
Tiba-tiba, Arka bergerak.
Tangannya bergerak, besar dan berat, melingkari pinggang Alya. Alya terkesiap, tubuhnya menegang seperti papan. Ia merasakan dada Arka menempel pada punggungnya, menariknya ke belakang, menghilangkan semua jarak yang telah ia coba ciptakan.
“Jangan menjauh,” bisik Arka. Suaranya kini terdengar mengantuk, tapi perintahnya tetap mutlak. “Tidur di sini. Posisimu adalah di sisiku, Alya. Tidak lebih, tidak kurang.”
Alya menahan napas. Arka tidak melakukan hal lain—hanya memeluknya dari belakang, menjadikannya seperti bantal guling yang bernapas. Alya merasakan kehangatan tubuh Arka, detak jantungnya yang stabil, dan bau parfum mahal yang kini berbaur dengan bau sabun.
Alya menangis tanpa suara. Air matanya merembes ke bantal sutra yang mahal. Ia tidur di pelukan pria yang ia benci, ia takuti, dan ia tidak kenal.
Tangan Arka yang melingkari pinggang Alya tiba-tiba mengencang sedikit, seolah ia merasakan getaran tangis Alya. Jari-jari panjangnya membelai lembut pinggang Alya. Sentuhan ringan, tapi kuat dan intim.
“Tidur, Alya,” bisik Arka, suaranya kini terasa lebih lembut—tetapi Alya tahu, kelembutan itu adalah jebakan.
Alya tidak tahu apa yang lebih menakutkan: ketakutan akan pemaksaan fisik, atau rasa aneh yang muncul saat ia merasakan tangan Arka yang protektif memeluknya dari belakang.
Malam itu, Alya tidak tidur. Ia hanya berbaring, terperangkap, dalam pelukan suaminya yang dingin dan dominan, mendengarkan detak jantungnya sendiri yang kacau di tengah keheningan sangkar emas Arka Darendra.