“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MH 31
Tatapan Leo tajam seperti silet. Mata itu seperti ingin membunuh Mahira di tempat.
Tubuh Mahira seketika gemetar hebat.
Tanpa pikir panjang, Mahira melangkah mundur, lalu berbalik meninggalkan halaman sekolah. Ia tidak peduli lagi dengan tatapan orang orang. Yang ia inginkan hanya satu, pergi jauh dari sana.
“Sepertinya Nurma juga tidak ada di sini,” gumam Mahira dalam hatinya.
Langkahnya berubah menjadi setengah berlari. Ia menembus gerbang sekolah, menahan air mata, menahan panik. Napasnya memburu, seolah sekolah itu bukan lagi tempat kerja melainkan arena eksekusi yang siap menelan hidup hidup.
…
…
Sementara itu, Doni sedang kesal menghadapi ibunya.
“Mah, aku harus segera pergi,” ujar Doni ketus. Sudah dua hari ia menemani ibunya jalan jalan tanpa tujuan menurutnya, padahal pikirannya sedang kacau memikirkan Mahira.
“Apa kamu tidak merindukan ibumu ini ha,” ucap Lidia sambil merajuk.
“Merindukan. Aku sangat merindukan ibu. Tapi ada misi penting yang harus aku lakukan,” jawab Doni, mencoba bersabar.
“Ok. Tapi habis misi ini selesai kamu tinggalkan pekerjaan rendahan itu,” kata Lidia tegas.
“Mah, itu passion aku. Aku suka kerja itu,” jawab Doni.
Lidia menghela napas panjang. “Kamu masih bisa meneruskan pekerjaan kamu, asal kamu menikah dengan Jihan.”
Doni mengusap wajahnya frustasi. “Pilihan sulit, Mah. Dan aku sudah menikah.”
Empat detik berlalu dan Lidia mengangkat alisnya. “Empat kali kamu beralasan seperti itu terus. Kamu pikir Mama percaya?”
“Ayo dong, Mah,” ucap Doni manja mencoba meluluhkan hati ibunya.
Lidia hanya diam dia merasa sudah terlalu longgar sama Doni
Doni akhirnya mengambil keputusan. “Ya. Aku akan tinggalkan pekerjaanku asal aku tidak harus menikah dengan Jihan. Karena aku sudah punya istri.”
“Ya sudah, pergi sana!” ucap Lidia kesal sambil melambaikan tangan mengusir.
Doni mendekat dan mencium pipi ibunya. “I love you, Mamah.”
Lidia hanya mendesah panjang saat Doni bergegas keluar rumah.
Begitu pintu tertutup, wanita itu terpaku di tempat. Senyumnya jatuh, digantikan tatapan kosong yang menyimpan terlalu banyak takut.
“Maaf, Don…” bisiknya lirih. “Mamah cuma nggak mau nasib kamu kayak papah.”
Suara itu pecah. Air mata jatuh perlahan dari kelopak matanya, bukan karena amarah—tetapi ketakutan yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
…
Doni berjalan cepat menuju mobilnya. Wajahnya keras, fokus.
Harus cepat. Misinya tidak boleh berlarut-larut.
Ia mengeluarkan ponsel dan menekan nomor Saras.
Sambungan terhubung. “Halo Sayang?” suara Saras terdengar manja dan penuh antusias.
“Saras… bisa ketemu malam ini?” suara Doni tegas, tidak menyisakan jeda untuk rayuan.
“Bisa dong, sayang.”
Doni bisa merasakan senyum lebarnya walau hanya dari suara.
“Cafe Mahkota. Jam delapan.” Doni menutup telepon tanpa banyak basa-basi.
Ia menarik napas, menahan kekesalan yang tiba-tiba muncul begitu ia membuka kontak berikutnya.
Mahira.
Ia menekan tombol telepon.
Nada sambung… tidak aktif.
Doni mengepal tangannya di setir. “Kenapa sih nggak aktif?” geramnya, napasnya berat. Ada rasa panik kecil yang ia tekan dalam-dalam.
“Mahira, kamu ini kenapa…” gumamnya, kali ini bukan marah—melainkan cemas yang merayap pelan.
..
Mahira terus berlari. Napasnya tersengal sengal, langkahnya terasa berat, tetapi rasa takut membuatnya terus memaksa kaki untuk bergerak. Setiap bayangan di belakang terasa seperti seseorang yang mengikutinya. Setiap suara motor membuat jantungnya melonjak ke tenggorokan.
Hingga akhirnya ia memasuki jalan yang lebih sepi.
Sebuah mobil van berhenti mendadak di sampingnya.
Mahira tersentak. “Tolong jangan sakiti aku,” ucapnya gemetar. Suaranya hampir tidak terdengar.
Pintu mobil terbuka perlahan. Seorang pria turun, wajahnya datar seperti batu. “Makanya pikir dulu sebelum bertindak,” ucapnya dingin.
Mahira mundur, tetapi tubuhnya melemah oleh rasa panik. Ia ingin teriak, tetapi tenggorokannya membeku. Ketakutan menelan suaranya.
Dua pria lain muncul dari belakang. Gerak mereka cepat dan terlatih. Sebelum Mahira sempat menghindar, kain menutup mulut dan hidungnya. Bau menyengat dan manis menusuk masuk ke paru paru.
Mahira berusaha melawan, tetapi tubuhnya tak sanggup. Kakinya bergetar, pandangannya buram.
Dalam hitungan detik, ia terkulai.
“Bos, target sudah kami dapatkan,” ucap salah satu pria sambil mengangkat tubuh Mahira ke dalam van.
Suara lain terdengar dari ponsel. Tenang. Penuh kendali. Suara yang sangat Mahira kenal.
“Bagus. Bawa ke markas segera,” jawab Leo.
Tangan dan kaki Mahira diikat dengan kasar, tubuhnya dilempar ke bangku belakang seperti barang tak bernilai. Van langsung melaju cepat, menembus jalanan sempit menuju ujung kota.
…
Gudang tua itu lembap dan gelap. Bau karat dan tikus memenuhi udara.
“Byur!”
Air kotoran menyiram wajah Mahira.
Mahira tersentak bangun, napasnya memburu. Cahaya lampu sorot menyilaukan matanya, membuat wajah orang orang yang berdiri di depannya hanya tampak sebagai siluet hitam.
Kepalanya berat, tubuhnya kaku, dan kulitnya terasa lengket oleh air kotoran.
Mahira mencoba menggerakkan tangan, tetapi tali di pergelangan membuat perih membakar.
Dari balik cahaya, terdengar suara langkah perlahan. Mantap. Seperti seseorang menikmati setiap detik kepanikan yang ia ciptakan.
Suara itu mendekat.
Suara yang membuat Mahira tiba tiba menyesal telah berani melawan.
“Selamat datang, Bu Guru.”
Mahira terkulai di kursi besi, tali di pergelangan tangannya membuat kulitnya perih. Lampu sorot dari atas menusuk matanya. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dingin—tapi ketakutan yang perlahan mencekik napasnya.
Leo berjalan mendekat. Langkahnya santai, senyumnya dingin. Ia mencengkeram rahang Mahira kasar hingga kepala Mahira terdongak.
“Kenapa? Takut?” bisiknya, matanya menyipit penuh penghinaan.
Mahira meringis menahan sakit. Air mata menetes tanpa bisa dicegah. Bukan karena menyerah—tapi karena tubuhnya sudah lelah melawan.
Leo tertawa pelan. “Makanya, lain kali pakai otak. Kamu cuma semut yang sok melawan harimau.”
Mahira memaksa menatap balik, meski matanya berair. “Kalau mau bunuh… cepat saja,” ucapnya serak. “Aku tidak takut.”
Leo mendekatkan wajahnya, hingga Mahira bisa mencium bau napasnya yang menusuk. “Bunuh? Oh, itu nanti. Aku mau kamu menyesal… sebelum mati.”
Ia memberi isyarat dengan dua jari. Beberapa anak buahnya bergerak dari sudut ruangan. Mahira menegang, napasnya memburu.
“Pegang dia lebih kuat,” perintah Leo.
Mahira menggeliat, panik langsung menjalar dari ujung kaki sampai tengkuk.
Leo membuka sebuah kotak kecil. Di dalamnya, jarum suntik berisi cairan bening. Dia mengangkatnya tinggi ke cahaya. Cairan itu berkilat menyeramkan.
“Kenal ini?” Leo tersenyum dingin. “Serum yang bikin orang kehilangan akal. Bikin kamu lihat hal-hal yang tidak ada. Bikin kamu teriak minta mati.”
Tangan Mahira gemetar hebat. “Kamu… gila…” desisnya.
Leo tertawa, suara itu menggema di ruangan kosong. “Kamu sudah menyinggungku inilah balasannya"
Ia mendekatkan jarum itu ke kulit Mahira.
Mahira memejamkan mata. “Tuhan… lindungi aku…”
Mahira pingsan bahkan sebelum jarum itu menyentuh kulitnya. Tubuhnya limbung dan jatuh ke lantai.
Tiba-tiba salah satu anak buah Leo berlari masuk.
“Bos, markas diserang!”
Belum sempat Leo bereaksi, terdengar suara letupan kecil yang nyaris tak terdengar.
“Tuk.”
Anak buah itu terhuyung lalu jatuh. Darah menodai lantai. Dua letupan lain menyusul. Tiga orang anak buah Leo tumbang hanya dalam hitungan detik.
Di ambang pintu berdiri tiga sosok asing. Mereka memegang senjata api berperedam.
Satu bertubuh sangat tinggi dan kurus.
Satu lagi pendek dan gemuk.
Yang ketiga atletis dengan wajah dingin.
Leo melotot. “Siapa kalian?”
“Kami pembasmi kecoa,” jawab si pendek dengan nada santai seolah tidak sedang berdiri di atas tumpukan mayat.
Leo berteriak panik. “Wey! Serang mereka!” memanggil anak buahnya.
Belum sempat Leo bergerak lebih jauh, si tinggi melangkah dan menampar wajah Leo keras sekali sehingga kepala Leo terpelanting ke samping.
“Brisik sekali kamu,” ujar si tinggi. “Semua anak buah kamu sudah aku bereskan.”
anak buah doni kah?
sama" cembukur teryata
tapi pakai hijab apa ga aneh