Aira Nayara seorang putri tunggal dharma Aryasatya iya ditugaskan oleh ayahnya kembali ke tahun 2011 untuk mencari Siluman Bayangan—tanpa pernah tahu bahwa ibunya mati karena siluman yang sama. OPSIL, organisasi rahasia yang dipimpin ayahnya, punya satu aturan mutlak:
Manusia tidak boleh jatuh cinta pada siluman.
Aira berpikir itu mudah…
sampai ia bertemu Aksa Dirgantara, pria pendiam yang misterius, selalu muncul tepat ketika ia butuh pertolongan.
Aksa baik, tapi dingin.
Dekat, tapi selalu menjaga jarak, hanya hal hal tertentu yang membuat mereka dekat.
Aira jatuh cinta pelan-pelan.
Dan Aksa… merasakan hal yang sama, tapi memilih diam.
Karena ia tahu batasnya. Ia tahu siapa dirinya.
Siluman tidak boleh mencintai manusia.
Dan manusia tidak seharusnya mencintai siluman.
Namun hati tidak pernah tunduk pada aturan.
Ini kisah seseorang yang mencintai… sendirian,
dan seseorang yang mencintai… dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tara Yulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serpihan Kaca
Malam itu, Aira terus terbayang wajah Aksa. Bibirnya tak henti tersenyum, seolah ada kehangatan yang menenangkan di dadanya.
“Terima kasih, Tuhan. Kau telah menghadirkan seseorang di hidupku. Dia selalu ada untuk melindungiku, menjagaku agar tetap aman,” gumamnya lirih.
Di tempat lain, Aksa pun mengalami hal yang sama. Ia melamunkan wajah Aira—mata indah yang selalu menjadi pusat pandangannya. Tanpa sadar, senyum merekah di wajahnya.
“Dorr!”
Aksa tersentak. Azura berdiri di depannya sambil terkikik puas.
“Hei! Kamu ngagetin abang aja,” ujar Aksa kesal.
“Lagian, abang kenapa sih ngelamun sambil senyum-senyum gitu?” tanya Azura penuh selidik.
“Kepo, anak kecil,” balas Aksa singkat.
“Hah! Azura tahu! Abang pasti lagi mikirin Kak Aira, kan? Ciee… ciee… abang mulai suka ya?” ledek Azura semakin semangat.
Aksa memberi isyarat agar Azura diam, tapi justru itu membuat adiknya semakin senang menggoda. Ia belum pernah melihat Aksa sebahagia ini hanya karena seorang perempuan.
“Ibuu… ibu harus tahu! Abang Aksa ngelamunin Kak Aira sambil senyum-senyum!” teriak Azura mengadu.
“Hei! Kamu ngapain bilang ke ibu?” ujar Aksa sambil mengejar Azura kecil-kecilan.
“Aksa, Azura, duduk. Ibu bawain pisang goreng panas,” ujar Elara dari dapur.
Azura langsung berhenti berlari dan duduk manis.
“Aksa, ibu mau ngobrol sebentar berdua,” lanjut Elara.
“Iya, Bu.”
“Azura, kamu di sini saja. Jangan ikut ke depan.”
“Oke, Bu,” jawab Azura patuh.
Elara menatap Aksa dengan serius.
“Ibu mau bicara soal kamu dan Aira.”
“Ada apa, Bu?”
“Ibu dengar dari Azura. Kamu senyum-senyum mikirin Aira. Itu tandanya hatimu mulai merasakan sesuatu yang berbeda.”
Aksa terdiam sejenak. “Bu, seandainya Aksa sadar kalau Aksa suka sama Aira, Aksa nggak akan pernah bilang ke dia. Aksa nggak akan mengungkapkan perasaan itu.”
“Bohong,” potong Elara tegas. “Kamu nggak bisa memegang kata-kata hari ini untuk besok dan seterusnya. Perasaan bisa berubah kapan saja, tanpa disadari.”
“Terus ibu mau Aksa apa?” tanya Aksa pelan.
“Jauhi Aira sebelum perasaan itu semakin dalam,” ujar Elara lirih namun tegas. “Semakin dalam perasaan tumbuh, semakin pahit saat harus melepaskan. Dan itu akan jauh lebih menyakitkan untuk kalian berdua—terutama Aira. Dia tidak tahu apa-apa tentang identitasmu.”
Aksa terdiam. Kata-kata ibunya terasa seperti beban berat yang perlahan menekan dadanya.
Keesokan harinya, Aira berdiri di tempat biasa. Ia menunggu Aksa menjemputnya seperti hari-hari sebelumnya. Tatapannya berkali-kali menoleh ke arah jalan, berharap sosok itu muncul.
Namun menit demi menit berlalu, Aksa tak kunjung datang.
Yang muncul justru Rayhan.
Rayhan menghentikan motornya di depan Aira, menatapnya dengan senyum yang selalu sama—tenang, penuh harap. Ia tahu perasaannya tak pernah benar-benar terbalas, tapi itu tak membuatnya mundur.
Rayhan bukan tipe yang menyerah.
Selama Aira masih ada di hadapannya, selama ia masih diberi kesempatan untuk menemani, Rayhan akan tetap bertahan—meski cintanya harus bertepuk sebelah tangan.
Sesampainya di kampus, mood Aira benar-benar hilang. Bukan karena Rayhan, tapi karena orang yang menjemputnya hari ini bukan Aksa.
Langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok Aksa yang berdiri tak jauh dari mereka. Jantung Aira berdegup lebih cepat, seolah kakinya refleks ingin mendekat. Namun sebelum sempat melangkah, Aksa justru berbalik pergi—seakan tahu Aira akan menghampirinya.
Perasaan Aira semakin sesak.
“Mm… Ra, lo beneran udah jadian ya sama Aksa?” tanya Rayhan pelan, berusaha terdengar biasa meski ada nada yang sulit disembunyikan.
“Nanti aja ya bahasnya. Gue mau ke toilet dulu,” jawab Aira singkat.
Aira melangkah cepat, menahan kecewa yang menumpuk di dadanya. Sikap Aksa yang tiba-tiba berubah terasa menyakitkan—tak menjemput seperti biasa, dan kini bahkan menjauh saat bertemu di kampus.
Aira tak mengerti apa yang terjadi. Yang ia tahu, perubahan itu membuat hatinya perlahan retak.
Dinding kamar mandi terasa dingin saat punggung Aira menempel di sana. Ruang sempit itu seakan menyusut, menelan napasnya perlahan. Gina berdiri terlalu dekat—cukup dekat hingga Aira bisa mencium bau lelah dan amarah yang belum reda.
“Lihat lo sekarang,” ucap Gina pelan, nyaris seperti bisikan. Tapi justru itu yang membuatnya lebih menakutkan.
Jari Gina terangkat, menyentuh dagu Aira. Bukan sentuhan lembut—melainkan tekanan kasar yang memaksa Aira mendongak. Lehernya menegang, rahangnya terasa nyeri.
“Kenapa selalu lo?” lanjut Gina. “Kenapa tiap gue jatuh, lo yang berdiri paling bersih?”
Aira mencoba menepis, tapi tubuhnya lemah. Tangannya gemetar, napasnya tak beraturan. Kata-kata ingin keluar, tapi tenggorokannya terkunci oleh rasa takut.
“Gina… gue nggak ngelakuin apa-apa,” ucapnya lirih, suaranya pecah di tengah kalimat.
Gina tertawa kecil—dingin, tanpa humor. “Justru itu masalahnya. Lo nggak perlu ngelakuin apa-apa buat bikin gue hancur.”
Tekanan di dagu Aira semakin kuat. Air mata jatuh satu per satu, membasahi pipinya. Aira merasa kecil. Tak berdaya. Seolah semua yang ia rasakan—takut, sakit, bingung—tak berarti apa-apa di mata Gina.
Pintu kamar mandi berderit terbuka.
“Gin?” suara Rosa masuk dengan ragu.
Harapan sempat menyala di mata Aira. Sangat kecil, tapi nyata.
Namun Gina menoleh cepat. Tatapannya tajam, menusuk Rosa tanpa perlu teriak. “Kunci pintunya.”
Rosa terpaku. Matanya menangkap Aira yang terpojok, wajahnya basah oleh air mata, tubuhnya gemetar menahan isak.
“Gin… ini kebangetan,” bisik Rosa.
Gina mendekat satu langkah. “Lo mau ikut terlibat, atau mau pura-pura nggak tahu?”
Hening. Detik terasa panjang.
Aira menggeleng kecil, matanya memohon. Tapi Rosa menunduk—dan pintu itu pun ditutup.
Klik.
Suara kunci itu terdengar terlalu keras di telinga Aira. Seperti keputusan yang tak bisa ditarik kembali.
“Nah,” ucap Gina pelan, kembali menghadap Aira. “Sekarang kita berdua aja.”
Tubuh Aira mulai bergetar hebat. Napasnya pendek-pendek, dadanya terasa sesak. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tak keluar. Ingin lari, tapi kakinya tak bergerak.
“Tenang,” kata Gina dingin. “Gue cuma mau lo ngerasain… gimana rasanya terjebak. Kayak gue.”
Aira menutup mata. Air mata jatuh tanpa suara. Di ruang sempit itu, ia merasa sendirian—terlalu sendirian.
Dan waktu seakan berhenti, membiarkan ketakutan itu tumbuh… semakin dalam.
Lengan Gina menahan Aira di antara tubuhnya dan dinding. Telapak tangannya menempel di dinding tepat di samping kepala Aira, mengurung ruang geraknya. Aira tak punya celah untuk menghindar.
“Gue suka sama Aksa,” ucap Gina tajam, tanpa ragu. “Dan gue udah berkali-kali bilang ke lo buat ngejauh.”
Jari Gina kembali mencengkeram dagu Aira, kali ini lebih kasar. Kepala Aira terangkat paksa.
“Tapi lo apa?” lanjutnya dengan suara bergetar oleh amarah. “Lo malah makin dekat.”
Air mata Aira jatuh tanpa bisa dicegah.
“Dan sekarang,” suara Gina meninggi, “lo berani-beraninya ngejebak gue di sini.”
Napas Gina berat. Kata-katanya keluar seperti tusukan.
“Gue nggak makan. Nggak mandi. Nggak tidur di kasur. Semalaman dingin. Sendirian.” Tatapannya mengeras. “Mau lo apa, Aira? Lo mau gue ngabisin lo, iya?”
Tubuh Aira gemetar hebat. “Gin… gue nggak ngejebak lo,” ujarnya lirih, hampir tak terdengar.
“Sok polos,” potong Gina dingin.
Tanpa memberi kesempatan, Gina menarik pergelangan tangan Aira dan memaksanya masuk ke dalam bilik toilet. Aira terdorong hingga jatuh duduk di lantai, punggungnya bersandar ke dinding keramik yang dingin.
Tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Kepalanya terasa ringan. Ia menurut—bukan karena mau, tapi karena takut.
Gina menunduk, meraih keran air toilet, lalu menunjukkannya tepat di depan wajah Aira.
“Lo tahu ini apa, kan?”
Aira menelan ludah. Kenangan lama menyambar—dinginnya air yang pernah disiramkan Gina ke tubuhnya dulu. Jantungnya berdegup tak karuan.
“Gina… jangan. Gue mohon,” suaranya pecah.
Senyum Gina terangkat perlahan. Licik. Kosong.
“Kalau lo nggak bisa ngerasain apa yang gue rasain semalam,” ucapnya pelan, “cara ini cukup buat ngebalesnya.”
Tangan Gina bersiap menarik.
Detik terasa membeku.
Lalu—
Bugh!
Pintu bilik terbuka dengan keras. Pegangan keran terlepas dari genggaman Gina dan jatuh ke lantai. Gina tersentak, berbalik dengan napas tertahan.
Di ambang pintu berdiri Aksa.
Tatapannya gelap. Rahangnya mengeras. Dan untuk pertama kalinya, Gina mundur satu langkah.
Sementara Aira—masih duduk di lantai, tubuhnya gemetar—akhirnya bisa menarik napas panjang yang tertahan sejak tadi.
Ia tidak sendirian lagi.
Gina panik. Aira masih berada tepat di belakangnya. Dengan tangan gemetar, Gina merogoh saku dan mengeluarkan kaca kecil, lalu memecahkannya.
Ia mengambil serpihan kaca yang tajam dan mengarahkannya ke Aira.
“Jangan mendekat,” ancamnya pada Aksa. “Atau Aira celaka.”
Aksa terdiam. Satu langkah saja bisa jadi kesalahan fatal.
Momen itu membeku—dan tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi setelahnya.