Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.
Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.
Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Pengakuan di Meja Keluarga
Rumah keluarga Maheswara itu tampak gemerlap. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya lembut ke seluruh ruangan, membuat suasana makan malam terasa hangat namun sarat gengsi. Para tamu keluarga telah berkumpul, suara tawa dan obrolan memenuhi udara, dan di tengah semua kemewahan itu , berdirilah Alya Nur Zahra, sederhana dalam balutan aura yang begitu tenang dan memikat.
Di sampingnya, Arga Maheswara berdiri gagah dalam jas abu tua. Tatapannya lurus, tapi kali ini tidak setegang biasanya. Ada sesuatu yang lain di matanya setiap kali melihat istrinya berbicara dengan ramah dan santun kepada para tamu.
“MasyaAllah, ini menantumu, ya? Cantik dan berwibawa sekali,” ujar Tante Mira sambil menepuk lembut tangan Alya.
Mama Retno tersenyum bangga. “Iya, Mira. Lembut tapi teguh. Arga beruntung punya istri seperti Alya.”
Alya hanya menunduk sedikit. “Terima kasih, Tante.”
Jawabannya singkat, tapi mengalir halus, menunjukkan kedalaman yang tak semua orang bisa pahami.
Arga melirik sekilas. Ia tahu betul, pujian seperti itu sering memancing perbandingan di keluarganya. Namun, yang membuatnya kagum, Alya tidak goyah sedikit pun.
Arga pun dengan gaya khasnya memperkenalkan Alya sebagai istrinya di setiap obrolan dengan orang-orang yang baru Alya temui. Dia memainkan perannya sebagai suami dengan baik
Makan malam pun dimulai. Aroma makanan menggoda indera penciuman. Ruangan itu kini dipenuhi suara piring dan sendok yang beradu, sesekali diselingi tawa ringan.
Alya duduk di samping Arga, menjaga postur tubuh dan tutur kata dengan anggun. Ia menjawab setiap pertanyaan dengan sopan, tanpa berlebihan.
Namun, di antara kehangatan itu, terdengar suara seorang wanita yang duduk di seberang mereka.
Nada suaranya halus, tapi tajam seperti ujung pisau yang disembunyikan di balik senyum manis.
“Wah, ini istri Arga. Gue kira lo masih sama Dinda, Ga,” ujar Nadia, sepupu Arga, dengan tawa kecil.
Beberapa orang di meja menatap ke arahnya, sebagian terdiam, sebagian pura-pura sibuk memotong daging.
Alya menoleh dengan pelan, menatap perempuan itu tanpa kehilangan ketenangan sedikit pun. Ia tahu nama Dinda, mantan kekasih Arga. Perempuan berpendidikan luar negeri, berpenampilan modern, dan tentu saja… jauh dari sosok dirinya yang sederhana.
Senyum tipis menghiasi wajahnya, bukan senyum menantang, tapi senyum yang membuat lawan bicaranya merasa kecil tanpa perlu kata kasar.
"Alya lebih dari itu, Nad." Jawab Arga.
"Dan mungkin Allah punya rencana lain untuk Mas Arga.”
Nadia mengerling, tidak menyerah. “Rencana lain? Hmm, ya mungkin. Tapi, ya… lo tahu sendiri, beda banget ya, Ga. Dinda itu... modern, berwawasan luas, dan lo tahu kan, sepadan banget sama lo.”
Kali ini, Alya meletakkan sendoknya perlahan, menatap Nadia tanpa amarah, tanpa gugup, justru dengan keteguhan yang menenangkan.
Nada suaranya rendah, tapi jelas, mengandung kekuatan iman yang tak tergoyahkan.
“Setiap orang punya nilai dan tempatnya masing-masing, Mbak.”
Ia menegakkan punggungnya, suaranya tenang tapi tegas.
“Allah berfirman dalam Al-Qur’an, ‘Laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik, dan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik.’”
Suaranya berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan tenang, “Jadi, kalau Allah mempertemukan aku dengan Mas Arga, mungkin karena di mata-Nya, kami punya hal baik yang bisa disempurnakan satu sama lain.”
Hening.
Bahkan suara sendok pun berhenti.
Arga menatap Alya dalam diam, hatinya berdentum aneh. Ia tidak menyangka kalimat lembut itu mampu menampar kesombongan Nadia dengan elegan tanpa satu pun nada tinggi.
Senyum sinis di bibir Nadia perlahan memudar.
“Tapi ya, mungkin memang cocok-cocokan, ya. Kadang laki-laki juga butuh sosok yang nurut dan nggak banyak menuntut. Betul, Ga?” gumamnya.
Nada menggoda itu membuat beberapa orang menatap Arga dengan campuran rasa ingin tahu dan canggung.
Alya menelan ludah, mencoba menjaga sikapnya. Ia tahu, dalam situasi seperti ini, diam adalah yang paling bijak. Tapi Sebelum ia sempat mengalihkan pembicaraan, suara Arga terdengar, datar tapi jelas.
Arga meletakkan sendoknya perlahan.
“Nadia cukup,” katanya datar tapi tegas. “Kalau kamu tidak bisa bicara sopan kepada istriku, lebih baik diam saja.”
Arga menatap langsung ke arah sepupunya itu. Tatapannya dingin tapi tegas, tak memberi ruang untuk dibantah.
“Alya memang tidak seperti Dinda,” lanjutnya pelan, namun tajam. “Dia lebih dari itu.”
Semua mata kini tertuju padanya.
Arga melanjutkan dengan suara sedikit lebih lembut, tapi tetap berwibawa.
“Dia tidak hanya pintar, tapi juga tahu bagaimana menjaga diri dan keluarganya. Dan itu jauh lebih penting bagiku dibanding sekadar gaya atau penampilan.”
Tatapan Arga membuat Nadia menunduk.
Pak Damar hanya menghela napas pelan, sementara bu Retno menatap putranya dengan kebanggaan yang sulit disembunyikan.
Alya menunduk lagi, kali ini untuk menyembunyikan rasa haru yang tiba-tiba muncul di matanya.
Sebuah kalimat pembelaan sederhana, tapi terasa seperti pelukan di tengah dinginnya sikap Arga selama ini.
Sisa makan malam berlalu lebih tenang. Beberapa kali, Arga bahkan tampak melirik Alya saat istrinya berbicara dengan keluarga yang lain. Ia mulai memperhatikan cara Alya menunduk setiap kali berbicara, cara ia mendengarkan orang lain tanpa memotong, cara ia menyentuh sendok dengan hati-hati, seperti wanita yang setiap geraknya adalah cermin dari adab.
Setelah acara selesai, keluarga besar mulai berpamitan satu per satu.
Bu Retno menghampiri mereka, tersenyum lembut.
“Arga, Alya, malam ini kalian menginap saja di sini, ya. Kamar lamamu sudah Mama siapkan.”
Alya sempat hendak menolak, tapi Arga menatapnya lembut dan berkata, “Tidak apa-apa, Al. Lagipula sudah malam.”
Nada suaranya menenangkan,
Akhirnya Alya hanya mengangguk pelan. “Baik.”
Kamar itu masih sama seperti dulu, luas, elegan, dengan nuansa abu dan putih.
Arga masuk lebih dulu, melepaskan jasnya dan menaruhnya di kursi.
Alya mengikuti perlahan, berjalan menuju jendela besar dan membuka tirai. Cahaya bulan menembus masuk, membuat ruangan tampak lembut.
“Terima kasih, Mas,” ucap Alya pelan.
Arga menoleh sekilas. “Untuk apa?”
“Untuk membelaku tadi.”
Arga diam sejenak, lalu duduk di tepi ranjang.
“Aku cuma nggak suka orang bicara sembarangan,” jawabnya datar. Tapi nada suaranya tak sekeras biasanya.
Alya tersenyum kecil. “Apapun alasannya, terima kasih.”
Keheningan menggantung di antara mereka.
Arga memperhatikan wajah Alya yang diterpa cahaya bulan. Lembut. Tenang. Tapi matanya menyimpan sesuatu, kekuatan yang tidak pernah ia temukan di wanita manapun sebelumnya.
“Kenapa kau tidak marah?” tanya Arga tiba-tiba.
Alya menoleh, kaget. “Marah untuk apa?”
“Dibandingkan, direndahkan…”
Alya menggeleng lembut. “Mas, kalau aku marah, apa mereka akan berhenti merendahkan? Tidak. Justru mereka akan menemukan alasan baru untuk menghina.”
Ia berjalan perlahan ke meja, menutup Al-Qur’an kecil yang tadi dibawanya.
“Cukup Allah yang tahu siapa aku sebenarnya. Aku tidak butuh pembuktian di depan manusia.”
Arga terdiam lama. Ada sesuatu di dada yang terasa berat, bukan marah, bukan heran, tapi semacam rasa kagum yang pelan-pelan tumbuh dan menyesakkan.
“Tapi Mereka harus tahu siapa kau sebenarnya.”
Alya menoleh perlahan, menatap profil wajah suaminya yang masih datar.
“Siapa aku sebenarnya, Mas?” tanyanya pelan.
Arga menatapnya sekilas, lalu kembali fokus ke jalan.
“Istri Arga Maheswara.”
Kalimat itu keluar tanpa emosi berlebihan, tapi bagi Alya, itu cukup untuk membuat dadanya terasa sesak.
Kalimat itu terdengar bukan seperti kalimat formal tanpa makna, tapi seperti pengakuan.
Kecil, sederhana, namun terasa begitu dalam.
“Tidurlah, Mas,” kata Alya akhirnya. “Besok pagi Mama bilang mau sarapan bersama.”
Alya beranjak ke arah sofa kecil, mengambil selimut tipis.
Namun, saat ia hendak membaringkan diri, suara Arga terdengar pelan.
“Tidur di sini saja. Biar aku yang di sofa."
Alya menatapnya sejenak, ragu.
“Tapi—”
“Aku nggak akan ngapa-ngapain,” potong Arga cepat, sedikit risih dengan dirinya sendiri.
Alya hanya tersenyum kecil, lalu duduk di sisi ranjang yang berjarak darinya.
Malam itu hening.
Namun, di tengah diam yang panjang, Arga beberapa kali melirik Alya yang terpejam damai.
Diam-diam, dia baru menyadari bahwa baru saja dia mengobrol dengan "aku", " kamu"?
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣