"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Nenekku yang Menyebalkan
...୨ৎ E R N E S T જ⁀➴...
Enggak semua orang di Palomino menyukai keluargaku. Dulu, kakek membeli tanah di atas bukit yang menghadap langsung ke alun-alun kota, lalu membangun rumah besar di sana. Sejak saat itu, banyak orang mengira keluarga kami kaya raya. Padahal, enggak begitu.
Kakekku itu orang yang jujur, sayangnya, saudara laki-lakinya enggak demikian. Dan Rosina, sejak dulu memilih berpihak pada saudara kakekk itu.
Dulu, ayahnya Rosina ikut bekerja dengan saudara kakekku. Jadi, sejak kecil Rosina dekat banget sama saudara kakekku itu dan secara otomatis memusuhi kakekku.
Kakekku sudah lama meninggal, dan saudaranya kini menetap dengan tenang di Surabaya. Tapi, seperti kata Papa, mengubah pola pikir seseorang itu enggak mudah. Yang penting kita ingatkan saja, kalau mereka bisa mengerti, syukur. Kalau enggak, ya sudah.
Sekarang, aku lagi duduk bersama Papa di Gloria, restoran paling populer di Seven Hills. Sejak Mama meninggal, kami sering mengungsi ke sini biar enggak terus-menerus diganggu warga Palomino yang sok simpati itu.
Rosina membuka menu sambil melirik ke arah alun-alun. Sepertinya sedang ada persiapan parade, karena truk-truk mulai memasang spanduk.
“Palomino tetap yang paling indah,” kata Rosina dengan nada sok tahu.
Aku bersandar sedikit ke Papa. “Eh, pelatih sepak bolanya Baron tinggal di sini, lho. Dia nikah sama Miriam.”
Baron itu adikku paling kecil, anak kandung asli dari Papa dan Joshepine, Mama tiriku. Ketika Papa menikah dengannya, keluarga Sastrowardoyo jadi lebih ramai. Aku enggak bisa membayangkan, seandainya Maisie dan Leo ikut tinggal bersama Mamanya, bersama kami.
Apa jadinya ruang tamu kita?
Rosina hanya menggeleng, pura-pura enggak tahu siapa Miriam. Padahal semua orang di sini mengenal keluarga Miriam. Si sembilan bersaudara, orang tua mereka meninggal saat mereka masih kecil. Anak yang lebih tua akhirnya terpaksa membesarkan adik-adiknya. Cerita semacam itu langsung menyebar ke mana-mana, apalagi distrik kami yang kecil ini cuma terdiri dari tiga wilayah, Seven Hills, Palomino, dan Savana Grass.
“Hugo, pasti kamu tahu kan, kalau aku emang enggak pingin ngobrol di Palomino. Di sana, mata dan telinga orang-orang udah kayak cctv. Aku juga enggak mau Lavinia dengar percakapan ini.”
“Tapi kita juga enggak bisa terus-terusan nyembunyiin semuanya dari dia,” ujarku.
Papa mengangkat cangkir kopinya, kode keras agar aku diam.
Saat pelayan datang, ia langsung mengisi ulang kopi kami.
“Rosina, aku ngerti kamu mau ngelindungin Lavinia. Dia anakmu. Tapi dia juga udah dewasa, bahkan udah menikah dengan Ernest. Kalau kita mau bersikap adil—”
Rosina mengatupkan rahangnya, jelas menahan emosi. “Udahlah, Hugo. Langsung aja ke intinya.”
Dia pikir aku akan begitu saja membiarkan Lavinia kembali ke hidupku?
Lalu ketika ingatannya pulih, aku harus kembali ke titik nol seperti tahun lalu?
Enggak semudah itu.
“Kamu sendiri kan yang bilang Ernest itu bawa pengaruh positif buat dia,” kata Papa. “Kasih waktu sedikit lagi, lah. Siapa tahu ingatannya kembali.”
Aku hampir tersedak kopi, tapi untungnya masih sempat kutelan.
“Kamu tahu enggak, sejak kecelakaan itu, aku jadi sering bolos kerja. Posisiku di kampus masih belum jelas. Belum aman, Hugo!” ujar Rosina sambil mengaduk kopi. “Dan setelah kejadian semalam, aku makin enggak yakin kalau tempat ini baik buat dia.”
“Semalam kenapa memangnya?” tanya Papa, sambil melirikku.
“Oh, jadi keluarga Sastrowardoyo sekarang enggak saling cerita, ya?” sindir Rosina, menatap tajam ke arahku.
“Aku emang ke penginapan!” Aku mengaku.
Papa mengelus dadanya. “Haduh, udah Papa bilang, jangan kamu temui dia.”
Dia pikir aku akan meminta maaf?
Mimpi.
Aku punya banyak pertanyaan yang Rosina enggak akan jawab dengan jujur.
“Dia istriku!”
“Bukan itu yang kamu bilang semalam,” sergah Rosina, menyindir seperti anak kecil.
“Ma! Jangan sok tahu soal hubungan orang lain.”
Papa menarik lenganku, memberi isyarat agar aku tenang. Pelayan kembali datang. Sepertinya dia sudah terbiasa menghadapi drama keluarga semacam ini. Ia tersenyum sambil menyiapkan notes untuk mencatat pesanan.
“Aku mau roti bakar. Varian Matcha, boleh, deh,” kata Rosina.
Papa hanya memesan kopi.
“Aku mau Beef Patty, Wedges-nya digoreng kering, dan tambahan sosis sama Garlic Mayo.”
Pelayan pergi setelah mencatat semuanya.
“Kamu ... nanti suatu saat, kamu harus mulai hidup sehat, tahu!” ujar Rosina memberikan nasihat basi. Aku malas menanggapi, takut Papa mengira aku enggak sopan.
“Intinya, koperku udah siap. Dan kalau Lavinia ngikutin saranku, sekarang dia pasti lagi nunggu di penginapan sampai aku balik. Aku cuma mau bawa dia ke rehabilitasi. Lagian dari awal kita ke sini emang cuma pingin singgah sebentar.” Rosina terdengar sangat percaya diri, seperti sedang minum teh di acara kerajaan.
"Jangan ngerasa keren cuma karena kamu jadi dosen di Universitas Swasta, Ma. Itu bukan Harvard," pikirku dalam hati.
“Aku dan Joshepine enggak masalah kalau Lavinia tinggal bersama kami,” kata Papa tiba-tiba.
Aku sampai tersedak lagi. Kenapa, sih Papa harus menjatuhkan bom semacam itu saat aku lagi minum?
Pasti ini balasan karena aku membantahnya tadi malam.
“Eh, enggak, ah.” Rosina memasukkan lagi gula diet ke dalam kopinya dan mengaduk-aduknya terus seperti orang stres. Ingin rasanya sendok itu kulempar ke tembok.
“Dia bakal ikut ke Jogja sama aku.”
“Kamu yakin ini bukan cuma karena kamu pingin dia ngelupain hidupnya di sini? Termasuk Ernest?” Kali ini, suara Papa mulai terdengar tegas.
Aku sebenarnya ingin segera keluar dari sini. Anak-anak kecil yang bermain di gazebo terlihat lebih menyenangkan daripada drama ini.
“Anakmu yang acuh itulah alasan kenapa Lavinia ninggalin dia. Mereka udah selesai bahkan sebelum kecelakaan,” kata Rosina, masih mengaduk kopi.
“Dia cuma bilang 'enggak bahagia' … asal Mama, tahu!” Aku menyela.
Rosina enggak menjawab, hanya memutar bola matanya. “Kebetulan sekali, ya, kamu udah punya pacar baru.”
Aku berdiri. Niatnya, sih mau pergi supaya enggak terbawa emosi. Tapi saat sampai di ujung meja, aku enggak tahan lagi.
“Naomi itu ... aku sama dia tuh enggak serius. Setahun ini hidupku berantakan. Aku sebenarnya enggak mau cerita ini ke Mama, tapi aku terpaksa. Biar Mama berhenti sok tahu.”
Aku benar-benar lelah terus-menerus disalahkan. Padahal dia yang meninggalkanku. Bukan aku yang selingkuh, bukan aku yang kasar, apalagi bohong. Enggak ada alasan yang masuk akal buat dia pergi, tapi dia tetap pergi begitu saja. Lalu sekarang dia kembali ke Palomino, dan lupa alasan dia meninggalkan pernikahan kita.
Rosina bersandar ke belakang, melirik ke arah Papa, menyuruh beliau menegurku habis-habisan.
“Kamu ragu sama niatku buat bikin Lavinia sembuh?” tanyanya.
Aku mendengus. “Yang aku raguin itu niat Mama buat bantu dia ingat sama semua bagian pahit di masa lalunya. Mama aja benci keluargaku.”
“Ernest,” dengus Papa, menghela napas, hendak bicara, tapi aku memotongnya lebih dulu.
“Udahlah, jujur aja, Ma. Mama takut aku masuk lagi ke hati Lavinia, kan? Kalau dia enggak ingat alasan dia pergi, bisa aja dia balik lagi ke aku. Dan aku tahu, itu ancaman buat Mama, kan? Padahal aku yang udah merawat dia, menyayanginya sepenuh hati. Tapi Mama ... Mama kandung macam apa yang enggak datang ke pernikahan anaknya?”
“Ernest!” bentak Papa, memanggilku lagi.
Aku mendekatkan badan ke meja. Suaraku pelan, tapi tajam. Untung ini bukan Kafe di Palomino. Kalau iya, mungkin sudah jadi tontonan satu kota. “Tapi tenang aja. Kehilangan Lavinia bikin hatiku mati rasa. Aku enggak mau ngerasain sakit kayak gitu lagi. Jadi silakan aja Mama bantu dia kembalikan ingatannya. Dan Mama enggak perlu khawatir. Aku enggak akan mencintai Lavinia lagi. Aku enggak akan mencintai siapa pun lagi!”
Aku pergi sambil membanting pintu. Lonceng pintu berdenting, mengantar kepergianku.
Karena aku yang menyetir, akhirnya aku duduk di gazebo dekat Danau. Bengong sendirian di bangku kosong, menunggu mereka selesai sarapan.
Ada anak perempuan kecil bermain bola bersama adiknya sambil sesekali melirik ke arahku. “Eh, kamu kakaknya Baron, ya?” pekiknya.
Aku mengangguk. “Norah Miriam,” ujarku. Aku tahu dia, karena dia dan Baron ikut sekolah sepak bola bareng.
Dia melihat ke sekeliling. “Baron ada?”
Aku pun menggeleng. Gerakan kakinya mengingatkanku pada Baron. Kalian enggak akan pernah melihat adikku itu tanpa bola di kakinya. Dan setiap kali mereka latihan, gaya main mereka mirip sekali.
“Terus Kakak ngapain di sini?” tanya Norah.
Tiba-tiba seorang anak laki-laki mendekat dan merebut bola.
“Ih … Choco!” teriaknya.
Aku menunjuk ke arah restoran. “Sarapan.”
“Itu rumah Papa aku.” Norah menunjuk bangunan bertuliskan Manohara Seafood. Tempat paling mewah di Danau Seven Hills. Biasanya orang ke sana untuk acara spesial atau kencan. “Tapi Papa belum buka pagi-pagi.”
Aku mengangguk. “Papamu itu chef yang keren. Aku pernah makan di sana.”
Tiba-tiba Choco menendang bola ke arah Norah, mengenai pantatnya. Dia langsung mengejar sambil mengomel.
“Nanti aku bilangin ke Baron kalau kamu titip salam,” kataku sambil tersenyum.
Dia berhenti dan menoleh. “Aku enggak nyuruh Kakak ngelakuin itu.”
“Bukannya kalian temenan?”
Dia melotot. “Aku bukan temennya Baron Sastrowardoyo!”
Aku tertawa sambil mengangkat tangan. “Ya udah, santai. Aku bakal pura-pura enggak lihat kamu.”
“Bagus.”
Dia kembali bermain bola bersama adiknya. Enggak lama, Papanya keluar dari Manohara Seafood, mengambil bola mereka sambil tertawa. Papanya Norah memang chef di tempat itu.
“Ernest!” Papaku malah memanggil dari kejauhan.
Aku berdiri, berjalan ke arah beliau dan Rosina yang sudah duduk di mobil.
Sepanjang perjalanan ke penginapan, suasananya sangat canggung.
Begitu tiba, Rosina turun tanpa sepatah kata pun. Dulu, waktu aku masih bersama Lavinia, aku ingin sekali bisa diterima di keluarganya dan menganggap aku bagian dari mereka. Tapi semua itu sudah terlambat. Sekarang aku sudah mati rasa.
Aku hendak pergi dari parkiran penginapan, tapi tiba-tiba sebuah Cadillac memblokir mobilku. Aku melihat nenekku yang menyetir, dan Joanna, sahabatnya, duduk di samping. Dari belakang, Lavinia pun turun … penuh lumpur, berjalan ke arah Rosina dengan wajah kesalnya.
Aku mengelus dada, keluar dari mobil bersama Papa.
Kapan hidupku bisa normal lagi?
Kayaknya mustahil, deh. Siapa lagi yang bisa terima kalau mantan istrinya tiba-tiba kembali, tanpa ingat alasan kenapa dulu dia pergi?
Dan satu hal lagi … aku bohong kepada Rosina tadi di restoran. Aku masih mencintai Lavinia. Dan akan terus begitu. Tapi, enggak akan ada satu orang pun yang akan aku beri tahu.
lanjut kak