NovelToon NovelToon
SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi / Permainan Kematian / Sistem
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: chiisan kasih

Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Waktuku… tinggal tujuh hari. Tujuh hari untuk menyelamatkan diri dari ancaman eksistensial, untuk mencegah nama Kinara yang bahkan belum sepenuhnya bangkit itu terkubur di bawah puing-puing citra Amara yang sudah luluh lantak.

Kopiku dingin, nyaris pahit tanpa sisa gula. Langit di atas kafe telah berganti warna dari jingga pucat menjadi biru kelabu yang dalam, menandakan senja kian menelan kota.

Di hadapanku, layar laptop memancarkan diagram kusut dari benang-benang sosial. ‘Deteksi Pola Sosial’ yang telah kuaktifkan secara terus-menerus sejak pagi, kini mulai terasa membebani indraku, mengubah setiap wajah menjadi algoritma, setiap interaksi menjadi aliran data.

Aku menarik napas panjang, mengusir lelah. Rendra. Dia adalah pusat dari simpul-simpul ungu struktural. Pemimpin BEM yang dikenal efisien, namun otoriter. Itu berarti, kekuasaan yang ia pegang bukan hanya tentang administrasi, tapi juga tentang kontrol narasi, tentang pembentukan persepsi, tentang bagaimana kebenaran dipilin sesuai kepentingannya.

Aku sudah melihat sekilas bagaimana benang-benang perundungan mengelilinginya, bagaimana ia menutup mata, bahkan mungkin membiarkan, para "parasit sosial" bergerak di bawah naungannya.

“Oke, Sistem,” bisikku, jari-jariku bergerak acak di permukaan meja.

“Bagaimana cara Rendra mengontrol narasi? Apa dia menyebarkan gosip, menekan media kampus, atau secara aktif mengintimidasi mahasiswa yang tidak sejalan?”

[$SYSTEM_KOREKSI_GENERASI_JALUR_FANA: OBSERVASI AKAN MENGHASILKAN DATA KUALITATIF YANG LEBIH AKURAT. JARINGAN KONTROL NARASI Rendra sangat canggih. Dia tidak mengandalkan intimidasi langsung. Dia menggunakan strategi yang lebih halus: 'pre-emption', 'discredit by association', dan 'pengendalian akses informasi'.]

Pre-emption, discredit by association, pengendalian akses informasi. Aku mengerutkan kening. Itu semua adalah istilah-istilah politik yang licik, tak jauh berbeda dengan taktik korporat kotor. Tidak mengherankan dia memiliki kekuasaan sebesar itu di usia semuda dirinya.

Ini menjelaskan mengapa BEM-nya, di permukaan, tampak sangat efisien dan terorganisir, sementara di bawahnya, jaringan perundungan dan gosip berbau busuk. Semua diselimuti dengan lapisan ‘kebenaran’ versi Rendra.

Aku kembali melirik laptop. Diagram 'Deteksi Pola Sosial'-ku kini tak lagi sekadar peta, tapi sebuah ekosistem. Benang-benang tipis berwarna biru kehijauan, yang menandakan komunikasi resmi BEM, terhubung kuat ke semua node mahasiswa. Namun, di baliknya, ada benang-benang merah pudar dari gosip dan kuning keemasan dari rumor yang lebih spesifik, mengalir tak terlihat. Semua benang ini bermuara pada satu simpul utama: BEM, dan secara tak langsung, pada Rendra.

Pagi berikutnya, aku memutuskan untuk tidak lagi bersembunyi di kafe. Ancaman 7 hari itu terlalu nyata untuk berdiam diri. Aku butuh data yang lebih detail, dan untuk itu, aku harus mendekat.

Aku mengganti pakaian Amara dengan salah satu baju paling ‘netral’ yang ada di lemarinya: kaus polos dan jeans. Aku menyisir rambut Amara, membuatnya tampak lebih rapi dan serius—sebuah penyamaran identitas, ironisnya, untuk mengungkap penyamaran yang lain.

Ketika aku tiba di kampus, aku tidak langsung menuju kelas. Sebaliknya, aku berjalan santai, mengamati. Aku membiarkan ‘Deteksi Pola Sosial’ bekerja, seperti filter realitas di atas mataku. Aku melihat kelompok-kelompok mahasiswa, mendengar fragmen-fragmen percakapan. Yang paling menonjol, seperti dugaanku, adalah bagaimana citra BEM seakan membanjiri seluruh kampus.

Poster-poster kegiatan BEM, jadwal diskusi publik, pengumuman tentang beasiswa yang 'berkat BEM'. Semua seolah berteriak: Kami efisien. Kami ada untuk kalian.

Aku melihat beberapa mahasiswa menatapku dengan tatapan waspada, seolah menunggu ‘Amara yang lama’ untuk melakukan sesuatu yang aneh. Namun, sebagian lain menatap dengan tatapan penasaran, bahkan sedikit hormat. Efek nilai A dari Pak Arka dan kemenangan di kuis Sosiologi itu ternyata lebih besar dari dugaanku. Mereka bingung, dan kebingungan itu, adalah celah.

Aku berjalan ke arah gedung BEM, sebuah bangunan tua dengan cat kusam namun dengan panji-panji dan spanduk baru yang digantung rapi, menutupi keretakan. ‘Deteksi Pola Sosial’ menunjukkan benang-benang ungu struktural berdenyut paling kuat di sana, menjalar ke seluruh penjuru kampus, ke setiap departemen, setiap organisasi mahasiswa, bahkan kantin.

Di depan gedung BEM, ada sekelompok mahasiswa berkumpul. Salah satunya adalah Nila, si mahasiswi beasiswa dari fakultas sastra yang kuamati kemarin.

Ia tampak berbicara dengan gugup kepada seorang anggota BEM perempuan, yang dari benang-benang di mataku, adalah salah satu tangan kanan Rendra. Benang-benang merah pudar perundungan Nila, kini berkedip lebih cepat.

Aku memutuskan untuk mendekat, berpura-pura sedang melihat pengumuman di mading dekat sana. Percakapan mereka terdengar jelas. Aku menyadari, ini bukan hanya observasi. Ini adalah pendalaman konflik. Nila, dengan suara yang hampir tak terdengar, berusaha menjelaskan sesuatu.

“... tapi Bu dosen sastra itu bilang, skripsi saya perlu direvisi lagi. Padahal sudah tiga kali. Dan dia… dia selalu menyinggung kalau saya terlalu ambisius untuk ukuran mahasiswa beasiswa,” kata Nila, suaranya tercekat. Ia tampak memegang selembar kertas, mungkin draf skripsinya.

Anggota BEM itu, yang kuidentifikasi sebagai Seksi Akademik bernama Tania, menyilangkan tangannya, ekspresinya datar.

“Nila, kan sudah saya bilang. Masalah akademik itu urusan dosen dan mahasiswanya. BEM tidak bisa ikut campur terlalu jauh.”

“Tapi, ini rasanya seperti ada yang janggal, Kak Tania,” balas Nila, air mata mulai menggenang di matanya.

“Bu dosen itu dekat dengan dekan. Dan setelah kemarin saya sempat… sempat bicara soal usulan perubahan kurikulum bahasa untuk lebih ke literasi lokal, kok jadi begini ya?”

Benang-benang perundungan Nila berdenyut lebih keras, diwarnai sedikit benang ungu—menunjukkan adanya koneksi ke perundungan struktural, terkait dengan institusi. Dan tepat saat Nila menyebutkan usulan kurikulum itu, sebuah benang tipis berwarna hijau pudar, yang melambangkan ‘informasi sensitif’ di mataku, berkedip samar.

Tania tersenyum tipis, senyum yang tak mencapai matanya. “Nila, tolong ya. BEM sudah kerja keras untuk menjaga stabilitas kampus. Jangan karena kamu ada masalah pribadi, terus kamu mencoba mengaitkan dengan isu yang lebih besar. Perubahan kurikulum? Itu wewenang senat, bukan mahasiswa. Fokus saja skripsi kamu.”

Itu dia. Discredit by association. Mereka mengklaim Nila menghubungkan masalah pribadinya dengan isu besar untuk mendiskreditkan usulannya. Ini adalah salah satu taktik Rendra untuk mengontrol narasi: mereduksi masalah sistemik menjadi masalah personal, lalu membatalkannya sebagai ‘tidak relevan’ atau ‘sensitif’.

Aku merasa amarah Amara yang lama, yang benci akan ketidakadilan, mendidih. Aku pernah jadi Nila. Aku pernah dituduh merusak citra kampus hanya karena kelemahan pribadiku. Aku tahu bagaimana rasanya terpojok seperti itu. Tapi Kinara juga tahu, kemarahan Amara tak akan menyelesaikan apa-apa. Ini butuh strategi.

“Nila,” kataku tiba-tiba, melangkah mendekat. Aku menyadari aku mengambil risiko, tapi melihat benang-benang di sekitar Nila yang hampir putus, aku tahu ini bukan lagi pilihan. “Ada apa? Kelihatannya kamu butuh bantuan.”

Nila mendongak, matanya yang sembap bertemu mataku. Ia tampak terkejut. Tentu saja, Amara tak pernah bicara dengannya. Bahkan, Amara yang lama mungkin salah satu yang mengabaikannya.

Tania melirikku dengan tatapan tajam. “Amara? Ngapain kamu di sini? Bukannya kamu seharusnya...” Ia tidak melanjutkan kalimatnya, mungkin teringat status ‘Amara yang baru’ yang sudah mulai menarik perhatian Pak Arka. Sebuah tanda waspada, tetapi belum menjadi ancaman langsung.

“Aku lagi cari informasi beasiswa,” kataku santai, berbohong. Aku tersenyum pada Tania. “Oh, ini Nila? Tadi aku dengar sedikit soal skripsi dan Bu Dosen. Kenapa memangnya, Tania?”

“Bukan apa-apa, Amara. Masalah akademik pribadi Nila saja. Tidak usah ikut campur,” balas Tania, nadanya sedikit ketus. Benang di sekelilingnya, yang mengindikasikan koneksinya ke BEM dan Rendra, berkedip, menunjukkan sinyal peringatan. ‘Deteksi Pola Sosial’ menunjukkan bahwa Tania merasa terganggu, terancam oleh kehadiranku.

“Pribadi?” Aku menoleh pada Nila, mengabaikan Tania. “Sepertinya tidak begitu pribadi kalau sampai bikin nangis begitu. Atau… Bu dosen itu yang sengaja bikin masalah jadi personal biar bisa mendiskreditkan Nila? Biasanya kalau di fakultas, skripsi direvisi terus karena mahasiswanya kurang riset, bukan karena beasiswa atau usulan kurikulum, kan?”

Aku membiarkan kalimatku menggantung. Kata-kataku tepat mengenai sasaran, karena Nila sontak mengangkat wajahnya, menatapku dengan tatapan kaget sekaligus harapan. Kata-kata itu juga berhasil menusuk Tania. Wajahnya langsung mengeras. Pre-emption dan discredit by association bekerja, tapi Amara membalas dengan kritik sosiologis yang tersembunyi. Taktik Kinara.

“Amara, saya harap kamu tahu batasan,” ucap Tania, suaranya rendah dan penuh peringatan. “Kamu jangan ikut campur urusan yang bukan urusanmu.”

“Kenapa tidak?” Aku mengangkat bahu, berlagak polos. “Saya kan juga mahasiswa. Kalau ada mahasiswa yang merasa tidak adil, kenapa tidak boleh dibantu? Bukannya BEM seharusnya melayani mahasiswa, ya?” Aku menekan kata ‘melayani’.

Tania terlihat semakin tidak nyaman. Aku bisa melihat benang-benang ungu yang mengikatnya ke jaringan BEM, berdenyut keras, seolah dia sedang memancarkan sinyal ‘masalah’ ke pusat. Aku telah menantang narasi yang ingin dibangun BEM secara terbuka, tepat di depan Nila.

“Nila, sudah ya. Nanti BEM coba tanyakan ke dekan soal prosedur revisi skripsi yang standar. Tapi ingat, jangan ada isu macam-macam keluar. Jangan sampai kamu salah paham,” Tania beralih pada Nila, mencoba meredakan situasi, tapi jelas sekali itu adalah ancaman halus.

Aku tersenyum simpul. Ancaman ini tidak akan berhasil padaku. “Bagaimana kalau kita bicarakan ini nanti, Nila? Aku ada beberapa ide soal gimana caranya menanggapi dosen yang seperti itu. Siapa tahu bisa membantu.” Aku sengaja melirik Tania, yang terlihat semakin kesal.

Nila, yang semula pucat, kini memancarkan sedikit harapan. “B-baik, Amara. Kalau kamu tidak keberatan…”

“Tidak sama sekali,” kataku, menyela. “Nanti aku hubungi. Atau, kamu ada waktu kapan?”

Sebelum Nila sempat menjawab, Tania memotong. “Amara, apa kamu tidak ada kelas? Sepertinya sudah waktunya kamu masuk.”

Aku melirik arlojiku. “Oh, ya, ada. Sampai jumpa nanti, Nila. Tania.” Aku menyingkir dari hadapan mereka, meninggalkan Tania yang tampak gelisah dan Nila yang kini sedikit terinspirasi. Aku berhasil membuka percakapan, itu kuncinya.

Aku berjalan santai menjauhi gedung BEM, menuju perpustakaan, tempat yang kuduga menjadi ‘sarang’ bagi banyak mahasiswa idealis atau korban ketidakadilan. Jaring-jaring ‘Deteksi Pola Sosial’-ku masih bekerja, memetakan setiap reaksi dari interaksi barusan. Aku telah menarik perhatian BEM, perhatian Tania. Dan kemungkinan besar, Rendra.

“Oke, Sistem. Itu barusan sudah sesuai target, kan? Aku mengobservasi cara Rendra mengontrol narasi lewat tangan kanannya, dan sekaligus mendekati korban perundungan,” gumamku.

[$SYSTEM_KOREKSI_GENERASI_JALUR_FANA: BENAR. Intervensi Anda mengonfirmasi metode ‘discredit by association’ yang diterapkan BEM. Data mengenai kerentanan Nila, terkait dengan isu kurikulum dan administrasi, kini menjadi lebih spesifik. Namun, pendekatan ini menimbulkan risiko ‘backlash’ dari BEM.]

Aku menghela napas. Risiko memang selalu ada. Tapi dengan ancaman 7 hari itu, aku tidak punya pilihan lain. Aku butuh leverage. Kasus Nila, dengan benang ungu perundungan strukturalnya, bisa jadi kunciku untuk mengidentifikasi celah dalam sistem Rendra.

Di perpustakaan, aku sengaja memilih tempat duduk yang strategis, dekat dengan rak buku-buku sosiologi dan politik. Aku membuka laptop, berpura-pura mengerjakan tugas. Namun, fokus utamaku adalah ‘Deteksi Pola Sosial’ dan mengamati arus informasi di dalam perpustakaan itu sendiri.

Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk ke ponsel Amara. Itu dari Nila. Dia bertanya apakah aku benar-benar bisa membantunya. Aku membalas dengan ramah, memintanya bertemu setelah jam kuliah terakhir, di sebuah kafe yang berbeda dari kemarin, yang lebih sepi.

Sementara itu, aku mengalihkan fokus ‘Deteksi Pola Sosial’-ku. Aku ingin memahami Rendra lebih dalam. Aku menyaring data, mencari pola-pola spesifik dalam benang-benang yang terhubung dengannya. Bagaimana dia memastikan keputusannya selalu terlihat sebagai yang terbaik? Bagaimana dia menyingkirkan lawan politiknya tanpa jejak?

Aku melihat beberapa benang biru kehijauan, melambangkan rapat BEM, memancarkan gelombang aneh. Mereka berkedip dengan frekuensi yang terlalu teratur, terlalu sempurna. Tidak ada dinamika atau konflik internal yang berarti yang tercatat di sana. Semua keputusan BEM, semua diskusi, selalu berakhir dengan kesimpulan yang mulus, sejalan dengan visi Rendra.

Ini bukan efisiensi. Ini adalah… sterilisasi. Rendra membersihkan setiap percakapan, setiap argumen, dari elemen-elemen yang tidak diinginkan, menciptakan ilusi konsensus. Itulah bagaimana dia mengontrol narasi mahasiswa. Bukan hanya dengan menekan, tetapi juga dengan ‘membersihkan’ informasi di akarnya.

Aku melihat sebuah benang lain, berwarna perak, mengalir dari BEM ke akun-akun media sosial kampus, termasuk beberapa akun ‘informasi’ yang tampak independen, namun secara halus menggemakan sentimen yang menguntungkan BEM. Itu adalah bentuk pre-emption, menenggelamkan isu yang merugikan dengan membanjiri narasi dengan berita positif tentang BEM.

Pikiranku berpacu. Jika Rendra begitu terampil dalam sterilisasi narasi, maka harus ada bukti ‘kotoran’ yang ia singkirkan. Bukti dari dissenting opinion, dari usulan yang ditolak, dari proyek yang dibatalkan tanpa alasan jelas. Jika aku bisa menemukan salah satunya, mungkin itu akan memberikan celah, memberikan leverage yang kucari untuk menghadapi ancaman finansial.

Aku memfokuskan ‘Deteksi Pola Sosial’ pada periode waktu beberapa bulan ke belakang, mencari benang-benang komunikasi yang tiba-tiba terputus, atau topik diskusi yang tiba-tiba menghilang dari peredaran. Dan aku menemukan satu pola yang menarik perhatianku.

Sekitar dua bulan lalu, ada serangkaian diskusi daring tentang ‘Transparansi Dana BEM’, yang secara aneh, tiba-tiba berhenti. Semua jejaknya seolah dihapus, tidak ada lagi benang percakapan, hanya simpul-simpul kosong.

Itu bukan hanya menghilang. Itu ‘dihilangkan’.

Dan di ujung benang yang terputus itu, aku melihat sebuah nama kecil, samar, terhubung dengan forum tersebut: sebuah nama yang juga muncul di jaring Eros—Eros, si pelaku cyberbullying dan penghubung jaringan keuangan ilegal.

Aku merasakan adrenalin mengalir deras. ‘Deteksi Pola Sosial’ bukan hanya tentang mengamati perundungan, tapi juga tentang menelusuri kebohongan yang terhapus, kebenaran yang dipendam.

Ada koneksi langsung antara sterilisasi narasi BEM di bawah Rendra, dan jaringan ilegal yang diwakili Eros. Mereka menekan informasi tentang transparansi dana, yang kemungkinan melibatkan aliran dana ilegal itu sendiri.

Itu dia. Titik di mana moralitas BEM dan ancaman keuanganku bertemu. Aku hanya perlu bukti. Bukti bahwa dana BEM itu memang tidak transparan, dan bahwa penekanannya berkaitan dengan Eros dan jaringannya. Dan Nila, mungkin, bisa menjadi kunci, mengingat ia berbicara tentang ‘perubahan kurikulum’ yang tak jauh dari masalah anggaran fakultas.

Aku mengecek ponsel Amara. Ada pesan lagi dari Nila. Kali ini, sebuah alamat kafe dan waktu pertemuan. Aku harus mengambil langkah selanjutnya. Waktuku... terus berputar, dan kini, aku punya ide.

Aku akan bertemu Nila, bukan hanya untuk membantunya, tetapi untuk membuka pintu menuju rahasia dana BEM, menuju akar kekuasaan Rendra, dan pada akhirnya, untuk mendapatkan uang yang kucari dari ketidakadilan yang merajalela ini.

Aku menyimpan laptop, berdiri, dan mengunci pandanganku pada jendela perpustakaan. Langit senja telah berubah sepenuhnya menjadi gelap. Lampu-lampu kampus mulai menyala, menerangi bangunan-bangunan tua yang menyimpan begitu banyak rahasia.

Aku akan masuk lebih dalam ke dalam jaring ini. Aku harus mencari bukti tentang dana BEM yang ditutup-tutupi, mencari tahu sejauh mana Rendra tahu atau terlibat, dan membalikkan keadaan. Entah itu dengan mencari celah dalam narasi BEM, atau bahkan…

1
Tara
ini system kok kaga bantuin. kasih solusi kek bukan cuman ngancam aja🤭😱🫣
Tara: betul betul betul...baru kali ini ada system absurd😱😅🤔🫣
total 2 replies
Deto Opya
keren sekali
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!