Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 5.
Langkah mereka berhenti. Suara itu terdengar lagi, lebih keras dan tergesa.
“Yem! Nyi Kodasih!”
Suara itu begitu akrab di telinga Tiyem. Ia segera menoleh.
“Si Mbok... ada apa panggil panggil begitu? Apa Kang Pono sudah pulang?”
Padahal Kang Pono dan Arjo masih di kota. Mereka kini masuk asrama. Kabar yang beredar, para pasukan PETA akan diseleksi menjadi Tentara Republik.
Dari kejauhan, tampak Si Mbok tergopoh gopoh mendekat. Wajahnya pucat, keringat menetes di pelipis nya.
“Ada apa, Mbok?” tanya Tiyem dan Nyi Kodasih hampir bersamaan.
“Nyi... tolong... kepala saya pusing sekali...” ucap Si Mbok dengan suara lemah.
“Mbok, Nyi Kodasih masih lelah. Kan sudah aku kerik dan pijeti,” sahut Tiyem, sedikit sungkan pada Nyi Kodasih.
“Masih pusing, Yem... Nyi, tolong pegang saja kepala saya. Pasti sembuh kalau disentuh tangan Nyi Kodasih,” pinta Si Mbok lirih namun memohon.
Kodasih tersenyum kecil.
“Mari, Mbok...”
Ia mengulurkan tangan, memegang punggung dan leher belakang Si Mbok dengan lembut. Sentuhannya pelan, namun berisi tenaga halus yang sulit dijelaskan. Dalam beberapa menit, wajah Si Mbok mulai berubah. Pucatnya menghilang, matanya kembali jernih, bibirnya tersenyum lebar
“Sudah kepenak, Nyi... matur nuwun sanget...” katanya penuh rasa lega.
Si Mbok menghela napas lega, bibir masih tersenyum lebar, lalu berucap, “Nyi .. Mari mampir rumah dulu minum teh dan makan pisang goreng.”
Kodasih menatapnya dengan pandangan teduh.
“Terima kasih Mbok. Namun Pusingmu itu belum benar benar pergi, Mbok. Itu hanya ditenangkan sebentar.”
Si Mbok menatap heran. “Lho, lah ini rasanya langsung enteng, Nyi...” ucap Si Mbok sambil menggeleng geleng kan kepala nya yang sudah tidak terasa sakit.
Kodasih tersenyum tipis. “Iya, tapi akar sakitnya masih di dalam. Badanmu dingin karena angin malam dan pikiran yang kebanyakan resah.”
Ia menunduk sejenak, lalu melanjutkan dengan nada lembut, “Nanti sore, rebuslah beberapa daun kelor. Satu genggam saja cukup. Campur sedikit garam dan minumlah air rebusannya selagi hangat.”
“Daun kelor, Nyi?” tanya Si Mbok ragu.
“Iya,” jawab Kodasih pelan. “Daun itu bukan hanya untuk menolak hal hal halus. Ia juga menolak yang kau simpan terlalu lama di dalam. Rasa takut, rasa cemas, semua yang membuat darahmu berat mengalir.”
Tiyem tersenyum sambil menatap ibunya. “Dengar itu, Mbok jangan terlalu banyak pikir. Nanti aku petikkan dari kebun. Daun kelor di dekat sumur masih banyak.”
Si Mbok mengangguk, wajahnya kini lebih tenang.
“Matur nuwun, Nyi... memang akhir akhir ini pikiran saya gampang bingung. Mungkin kepikiran Pono ... takut dia tidak lulus dan saya juga kangen..”
Kodasih menepuk pelan punggung Si Mbok. “Rindu juga bisa jadi angin yang nyasar di kepala, Mbok.”
Tiyem tertawa kecil,..
”Kangen e Si Mbok ke Kang Pono malah ngalahke kangen ku.” suasana yang tadi tegang kini terasa hangat. Kodasih menatap keduanya, lalu berkata pelan, “Sudah... aku pulang dulu. Kalau nanti pusingmu kembali, cukup pegang kendi air dan ucapkan doa dalam hati: semua yang berat kembali ke tanah.”
Si Mbok menunduk hormat. “Inggih, Nyi... matur nuwun sanget.”
Kodasih melangkah perlahan pergi, ditemani Tiyem. Sinar matahari menimpa punggungnya. Bayangannya memanjang di tanah, diiringi desiran daun kelor yang bergoyang pelan di kebun belakang.
🌸🌸🌸🌸
Beberapa hari setelah kejadian di rumah Sarinah, kabar tentang Nyi Kodasih menyebar seperti angin di lembah. Dari mulut ke mulut, dari kebun kopi sampai pasar kecil di ujung kampung, semua membicarakan hal yang sama. Tentang Nyi Kodasih meskipun sudah terusir dari loji, tapi masih mau menolong . Tentang seorang perempuan istri perampok yang selamat melahirkan, berkat pertolongan Nyi Kodasih. Tentang bayi yang seharusnya dikutuk, tetapi malah menjadi membawa ketenangan.
“Dia bukan hanya Nyi Pangruwating, penenang dan penyembuh. Tapi juga penggampun..”
Orang orang terus berdatangan ke rumah Mbok Piyah. Dari dusun Akar Wangi juga dusun sebelah. Seperti waktu waktu kemarin saat Nyi Kodasih masih di loji. Ada yang membawa anaknya yang demam tak kunjung sembuh. Ada yang minta air doa untuk sawah yang kekeringan. Ada yang hanya datang untuk duduk diam di serambi, berharap sisa ketenangan dari tatapan Kodasih.
Kodasih tak menolak siapa pun. Ia menerima mereka semua dengan senyum yang lembut, tanpa bertanya masa lalu.
Di halaman rumah Mbok Piyah tak pernah sepi. Ada yang datang membawa buah tangan; pisang, ketela, kain batik.. sebagai tanda terima kasih.
Anak anak kecil berlari lari di jalan, memanggil nama Kodasih sambil tertawa penuh kekaguman dan hormat.
“Nyi Kodasih… penyembuh! Nyi Kodasih… pengampun yang baik hati!.. Nyi Kodasih penyelamat.”
Kodasih, yang tengah menjemur kain di halaman rumah, hanya tersenyum samar...
“Jangan dilebih lebihkan,” ujarnya. “Aku hanya menolong, bukan menyelamatkan.”
Tapi Mbok Piyah tahu, Nyi Kodasih tak sekadar menolong. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kasih. Sesuatu yang seperti tumbuh dari luka lama yang ia pendam sendiri.
Waktu pun terus berlalu. Kodasih tidak sampai satu bulan tinggal di rumah Mbok Piyah. Dia menjual perhiasan pemberian Tuan Menir untuk membeli rumah..
Masih ditemani oleh Mbok Piyah, Pak Karto dan keluarga kecil Pardi., juga Pak Sastro. Kodasih naik ke lereng atas gunung Merapi.
Jalan setapak berkelok, diapit rumpun bambu dan semak kopi liar yang tumbuh tanpa terurus. Dari punggung bukit, loji terlihat kecil, seperti kenangan yang sudah disimpan di dalam dada, jauh tapi belum hilang.
Di lereng itu berdiri sebuah rumah joglo tua. Atap sirapnya miring ke satu sisi, tiang kayunya kusam tapi kokoh. Konon rumah itu dulu milik seorang dukun tua yang meninggalkan dusun sebelum perang. Namun bukan Mbah Jati. Anak cucunya tidak mau menempati rumah itu.
Sekarang, rumah itu menjadi tempat tinggal baru Kodasih. Jauh dari jalan, dekat dengan angin.
Sore itu, ia duduk di beranda menghadap barat. Dari sana, seluruh kebun kopi terlihat seperti lautan hijau yang beriak perlahan. Asap tipis dari dapur loji masih kadang tampak di kejauhan, tanda ada kehidupan baru di bawah sana. Loji itu kini menjadi kantor Komite Rakyat.
“Dari sini, aku bisa mendengar dunia tanpa harus ikut ribut di dalamnya,” kata Kodasih pada Mbok Piyah, sambil menyalakan kemenyan di atas anglo kecil.
Mbok Piyah tersenyum, tangannya sibuk menata perkakas rumah.
“Anginnya lebih kencang di sini, Nyi. Tapi hawanya bersih. Seperti mulai dari awal.”
“Awal selalu datang dengan sunyi, Mbok,” jawab Kodasih pelan. “Tapi sunyi juga bisa jadi tempat tumbuh.”
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣